Tradisi Mudik dan Bayangan ”Ruang” dalam Benak Manusia
Tren mudik terus meningkat. Tahun ini diperkirakan 193,6 juta penduduk Indonesia akan mudik, naik 45 persen.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·4 menit baca
Fenomena mudik menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan aspek sosial dan budaya seakan menjadi menu wajib tiap tahun yang harus dipenuhi warga urban di kampung halaman. Tak hanya wajib, bahkan belakangan trennya terus meningkat. Mudik, sebagai fenomena sosial, tidak terlepas dari bagaimana struktur sosial itu dibangun.
Setelah manusia mengenal sistem pengaturan sosial yang terstruktur, setidaknya peradaban ditandai oleh dua hal, yakni batas wilayah dan batas sosial. Bagaimana struktur ini terbentuk membuat manusia, bahkan sejak lahir, mulai mengenali titik-titik yang menjadi batas sosialnya hingga batas wilayah.
Berbicara soal batas ini, manusia dari hari ke hari dalam kehidupannya terus-menerus melakukan bongkar pasang di benaknya soal mana wilayah aman dan tidak aman. Bayi yang baru lahir mulai mengenali wilayah amannya di sekitar pelukan ibunya, kemudian ayahnya, lalu bergeser ke anggota keluarga yang lebih besar.
Dalam perkembangan berikutnya, anak kecil mulai mengenali rumah beserta orang dan apa pun yang ada di dalamnya sebagai tempat yang aman (safe place). Artinya, dalam benak seorang anak mulai terbangun konsep rumah yang melampaui dimensi fisik. Di dalam rumah itu sendiri pun, baik anak kecil maupun orang dewasa di dalamnya memiliki wilayah aman dan nyamannya sendiri.
Berikutnya, secara natural tanpa harus disepakati secara eksplisit, rumah mulai terbagi menjadi ruang-ruang khusus untuk melakukan aktivitas. Ada ruang untuk tidur, makan, bercengkerama hingga menerima tamu. Tamu, sebagai orang dari luar rumah, pun biasanya memiliki gradasi masing-masing.
Ada tamu yang sangat asing hanya diberi ”izin” mengakses bagian-bagian terluar dari rumah. Ada tamu yang sesekali, karena kedekatan dengan tuan rumah, bisa masuk ke bagian-bagian terdalam dari sebuah rumah.
Apa yang terjadi dalam pembagian ruang di dalam rumah sebuah keluarga ini lebih lanjut bergeser ke struktur sosial yang lebih luas, yakni desa, kampung, atau kelurahan. Karena itu, secara fisik selalu ada batas atau patok yang melingkupi sebuah wilayah ini untuk membedakannya dengan wilayah di luarnya.
Tak hanya batas fisik, setiap orang yang menjadi warganya pun terdaftar secara administrasi di salah satu kampung. Dengan begitu, menjadi umum disebut dalam obrolan sehari-hari istilah akamsi atau anak kampung sini. Istilah slang ini menjadi penanda secara implisit dalam benak orang bahwa ada pula yang disebut anak kampung sana.
Akan tetapi, bagaimana manusia membangun konsep ruang di benaknya tampak lebih banyak dimensinya. Batas administratif yang disepakati hanya menyentuh dimensi fisik. Padahal, ruang di benak manusia juga meliputi dimensi sosial, psikologis, budaya, teknologi, dan lain-lain.
Dengan demikian, menjadi tidak mengherankan bahwa bongkar pasang konsep ruang terus terjadi di benak manusia. Pasalnya, sumber daya yang dimiliki tiap kampung berbeda. Hal ini membuat mobilitas warga antarkampung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menjadi sangat wajar. Batas-batas menjadi sangat cair, tidak seketat pencatatan administratif.
Apa yang tergambar mulai dari keluarga hingga desa atau kampung di atas pun terjadi dalam konteks yang lebih luas, yakni kabupaten atau kota, provinsi, hingga negara. Dalam konteks tertentu, batas bisa sangat tegas. Namun, dalam benak manusia, batas-batas itu bisa saja cair dengan satu alasan: bertahan hidup (survive).
Setidaknya hal ini pula yang menjelaskan fenomena urbanisasi yang terjadi ketika mobilitas manusia terjadi dari perdesaan menuju perkotaan. Dengan kesadaran sumber daya yang lebih menjanjikan di kota, warga desa ingin bekerja merantau dengan harapan mendapatkan penghidupan yang lebih layak.
Akan tetapi, konsep tentang ”rumah” terus dibawa sebab ada dimensi sosial dan budaya di sana. Karena itu, seberapa pun lama seorang perantau datang ke kota, romantisisme tentang kampungnya tak pernah dihilangkan. Bahkan ketika secara adminitratif warga urban telah ber-KTP wilayah rantaunya, dalam benaknya, rumahnya tetap di kampung halaman.
Apalagi, alasan untuk berpindah tempat tinggal adalah faktor ekonomis, yakni bertahan hidup untuk lalu terus meningkatkan kapital ekonominya jika memungkinkan. Dalam situasi yang demikian, menjadi terjelaskan mengapa mudik kala Lebaran menjadi hal yang wajar terjadi pada warga urban.
Di tengah kehidupan yang secara emosional kering dan kaku tatkala mencari nafkah di tanah rantau, perlu setidaknya setahun sekali untuk pulang kampung dan menikmati wilayah ”aman”-nya yang paling primitif, dengan mudik.
Jika menengok ke belakang, dari sejumlah hasil survei Kementerian Perhubungan dari tahun ke tahun, jumlah pemudik terus meningkat. Pada tahun 2014, sepuluh tahun lalu, jumlah pemudik sekitar 23 juta orang. Jumlah ini sedikit meningkat setahun berikutnya menjadi 23,3 juta pemudik pada tahun 2015. Jumlah yang berkisar di angka 20 jutaan ini berlangsung hingga tahun 2019.
Setelah menurun drastis pada tahun 2020 dan 2021, jumlah pemudik kembali meningkat pada tahun 2022 menjadi 85,5 juta dan puncaknya pada tahun 2024 diperkirakan mencapai titik tertingginya sepanjang masa, yakni mencapai 71,7 persen penduduk Indonesia.
Masih dari survei Kemenhub, calon pemudik tahun 2024 didominasi oleh mereka yang bekerja sebagai karyawan swasta, yakni 29,79 persen. Berikutnya ibu rumah tangga sebesar 14,44 persen. Kemungkinan besar mereka adalah istri dari para karyawan swasta tersebut.
Selanjutnya, sebanyak 9,37 persen pemudik merupakan wirausaha atau pedagang dan 9,06 persen adalah pelajar atau mahasiswa. Sementara itu, ada kurang lebih 8,34 persen ASN yang juga akan pulang kampung, disusul pekerja harian sebanyak 6,11 persen.
Data di atas menguatkan bahwa para pekerja di tanah rantau merupakan masyarakat yang ingin memperbaiki kualitas hidupnya dengan mencari kesempatan di perkotaan. Terlihat pula, ”kue” terbesar didominasi oleh sektor industri swasta.
Tingginya keinginan para pekerja swasta untuk pulang kampung menguatkan pula bahwa kampung tetap menjadi rumah yang nyaman di benak mereka.
Bahkan, mungkin saja seberapa lama pun warga urban tinggal di kota, hidup di perantauan adalah sementara, yang menunggu waktu paling tepat untuk kembali menetap di tanah lahir sebagai ruang paling aman dan nyaman. Kapan itu terjadi tergantung pada setiap warga urban. (LITBANG KOMPAS)