Fenomena Jastip dan Minat Konsumen terhadap Produk Asing
Fenomena jasa titip cenderung melemahkan daya saing produk lokal akibat membanjirnya komoditas impor.
Oleh
AGUSTINA PURWANTI
·5 menit baca
Fenomena jasa titip atau jastip yang kian menjamur perlu mendapat pengawasan ketat. Jika dibiarkan, akan cenderung melemahkan daya saing produk lokal akibat membanjirnya komoditas impor. Di lain sisi, jastip menjadi refleksi, apakah Indonesia mampu menghadirkan produk yang diminati konsumen luas? Atau, Indonesia akan terus-menerus menjadi pasar bagi produk-produk asing?
Akhir pekan lalu pemusnahan sekitar 1 ton Milk Bun dari Thailand menjadi sorotan publik. Pemusnahan dilakukan oleh Bea dan Cukai Soekarno-Hatta bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di instalasi karantina hewan Bandara Cengkareng.
Tindakan tersebut merebut perhatian publik lantaran roti sobek dingin itu tengah digemari sebagian masyarakat setelah beberapa waktu lalu viral di media sosial. Sejumlah artis dan selebgram memberikan testimoni lembutnya Milk Bun seharga ratusan ribu itu yang kemudian membuat publik tergiur.
Terlepas dari cita rasa roti atau sekadar FOMO (fear of missing out), minat publik cukup tinggi pada makanan tersebut. Meskipun tidak terdapat data spesifik yang menunjukkan seberapa besar permintaan akan Milk Bun Thailand itu, animo peminatnya tampak cukup besar. Indikasinya terlihat dari banyaknya produk bersangkutan yang diupayakan masuk ke Indonesia. Salah satunya melalui jasa titipan atau dikenal dengan jastip.
Pihak Bea dan Cukai Soekarno-Hatta menyebutkan, selama Februari 2024 terdapat 2.564 bungkus Milk Bun senilai sekitar Rp 400 juta yang disita dari 33 penumpang untuk keperluan jastip. Jumlah ini hanya kelebihan dari jumlah yang ditentukan oleh regulasi.
Bentuk lain impor
Dalam Peraturan BPOM Nomor 28 Tahun 2023 diatur bahwa besaran produk olahan yang diizinkan untuk dibawa oleh penumpang hanya 5 kilogram per orang. Jika lebih dari ketentuan tersebut, pihak berwajib akan melakukan penegahan terhadap kelebihan barang yang dibawa. Apalagi, jika yang membawa barang itu tidak memiliki izin edar. Dalam kasus Milk Bun Thailand yang dimusnahkan, setiap satu penumpang kedapatan membawa puluhan hingga ratusan kilogram roti sobek dingin itu.
Dapat dibayangkan bahwa Milk Bun yang diupayakan masuk ke Indonesia tentunya lebih banyak. Dari 33 penumpang yang melanggar aturan pun dapat dipastikan membawa 165 kilogram, sesuai yang diperbolehkan. Ditambah lagi, wisatawan Indonesia lainnya yang datang dari Thailand kemungkinan juga membawa pulang Milk Bun meskipun dengan bobot yang aman secara hukum.
Merujuk data Kementerian Pariwisata dan Olahraga Thailand, sebanyak 70.785 orang Indonesia berkunjung ke Thailand pada Januari 2024. Boleh jadi tidak semua wisawatan yang kembali ke Indonesia juga membawa pulang roti yang tengah digemari itu. Namun, jika diasumsikan sekitar 10 persen saja yang membawanya ke Indonesia dengan batas maksimal, lebih dari 30.000 kilogram Milk Bun bisa masuk ke Indonesia sepanjang Januari 2024.
Merujuk pada aturan yang berlaku, memasukkan barang bawaan dari luar negeri tidaklah dilarang. Sebagaimana halnya membawa oleh-oleh sepulang dari berwisata. Hanya saja, jika melebihi batas yang ditentukan akan merugikan Indonesia. Pasalnya, fenomena jastip yang berlebihan dapat dikatakan bentuk lain dari impor, hanya berbeda dalam metode membawa atau mengirimkannya. Jastip dibawa langsung oleh penumpang yang kembali dari luar negeri, sedangkan impor biasanya melalui shipping.
Menyitir hasil survei Lembaga Jajak Pendapat (Jakpat) bertajuk ”Shopping Entrusted Goods Service”, setidaknya ada dua faktor yang mendorong seseorang terpikat pada jastip. Pertama, karena tidak tersedianya toko atau store yang menyediakan barang atau produk tertentu di lokasi tempat tinggalnya. Kedua adalah mudahnya mendapatkan produk hanya dengan menunggu di rumah. Dari sisi harga pun biasanya cenderung lebih murah. Pertimbangan ini tidak berbeda jauh dengan keputusan seseorang menggandrungi produk impor.
Kedua metode itu menjadi ancaman besar bagi Indonesia lantaran daya pikatnya yang cukup kuat. Kementerian Keuangan pun berupaya membendungnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203 Tahun 2017. Beleid tersebut mengatur tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut.
Kemenkeu mengatur, nilai maksimal barang yang dapat dibawa oleh penumpang yang datang dari luar negeri adalah 500 dollar AS, atau sekira Rp 7,5 juta. Jika barang yang dibawa lebih dari ketentuan tersebut, maka penumpang wajib membayar Bea Masuk dan Pajak Impor atas kelebihannya. Tarif bea masuk ditetapkan sebesar 10 persen.
Refleksi
Sebagaimana pemusnahan terhadap produk Milk Bun Thailand, ketegasan perlu dilakukan pada segala jenis barang yang masuk ke Tanah Air. Terutama jika produk tersebut berupa makanan dan minuman. Data BPS dan Kementerian Perdagangan menunjukkan, impor produk makanan dan minuman untuk rumah tangga baik utama maupun olahan mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir.
Tahun 2019, misalnya, impor makanan dan minuman olahan yang dikonsumsi langsung oleh rumah tangga berkisar 1.347 ribu ton. Impor ini terus meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 1.951,7 ribu juta ton di tahun 2022. Begitu halnya dengan makanan dan minuman utama, dari 1.603,6 ribu ton menjadi 1.852,3 ribu ton. Kenaikan tersebut menunjukkan makin tingginya permintaan masyarakat Indonesia pada produk impor, terutama komoditas makanan dan minuman.
Hal tersebut dapat menyebabkan kompetisi yang tinggi karena produksi komoditas tersebut di Indonesia juga cukup tinggi. Sebagian besar industri dan juga UMKM di Indonesia menjajakan produk makanan dan minuman. Jika produk serupa membanjiri Indonesia, maka berpotensi menggerus pendapatan industri dan usaha di dalam negeri.
Apalagi, makanan dan minuman menjadi salah satu subsektor industri yang memberi kehidupan bagi jutaan keluarga. Lesunya industri bersangkutan akibat kalah bersaing dengan produk dari luar negeri akan menimbulkan kerugian besar bagi perekonomian nasional.
Di lain sisi, banjirnya produk makanan dari luar negeri, seperti halnya Milk Bun yang baru-baru ini viral, idealnya dapat menjadi bahan evaluasi para pemangku kebijakan. Indonesia yang terkenal dengan kekayaan alam, budaya, dan kuliner, mestinya dapat melakukan hal yang sama, yakni mendorong produk mampu berkompetisi di ranah global. Bila produk mi instan Indonesia mampu mendunia, tentu saja ada produk lainnya lagi yang dapat didorong serupa. Harapannya, pasar Indonesia yang sangat besar ini dapat dimanfaatkan produsen dalam negeri untuk meningkatkan produksinya. Bukan sebaliknya, justru menjadi pasar bagi produk-produk asing. (Litbang Kompas)