Korelasi Anies, Prabowo, dan Ganjar dengan Partai Politik
Prabowo dan Ganjar adalah orang partai politik, sedangkan Anies tidak lahir dari partai politik.
Aturan pemilu di Indonesia mengharuskan sosok calon presiden dan calon wakil presiden diusung oleh partai politik atau koalisi parpol. Hal ini secara natural membuat sosok capres cenderung lekat dengan keanggotaannya dalam sebuah parpol.
Akan tetapi, Anies Baswedan membuktikan diri mampu menjadi capres tanpa harus menjadi ketua ataupun kader parpol tertentu. Fenomena Anies menjadi salah satu model persaingan politik yang lebih kompetitif dibandingkan dengan sosok yang lain.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pertama-tama, hal ini tecermin setidaknya dari hasil perolehan suara parpol di masing-masing tempat pemungutan suara (TPS) tempat para capres menggunakan hak pilihnya. Di TPS tempat Anies menggunakan hak suaranya, tidak ada parpol yang unggul secara dominan. Berbeda dengan perolehan suara parpol di TPS tempat Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo mencoblos.
Untuk sementara, KPU menutup laman informasi yang menampilkan grafik persaingan perolehan suara parpol di tingkat kabupaten/kota, daerah pemilihan, provinsi, hingga nasional. Namun, informasi perolehan suara di tiap TPS yang terdapat dalam hasil pindai dokumen perolehan masing-masing parpol masih dapat diakses di laman pemilu2024.kpu.go.id. Dengan begitu, masih dapat dilihat bagaimana perolehan suara parpol di TPS tempat masing-masing capres mencoblos.
Baca juga: Prabowo-Gibran Unggul di TPS Tempat Gibran Mencoblos
Persaingan politik di TPS capres
Persaingan ketat antarparpol dalam mendulang suara pada Pemilu 2024 terjadi di TPS 060 Kelurahan Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, tempat Anies menggunakan hak suaranya. Di TPS tersebut, Partai Gerindra menjadi parpol paling unggul dalam perebutan suara DPR dengan perolehan 42 suara atau 21,5 persen. Posisi Gerindra diikuti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 34 suara atau 17,4 persen, kemudian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 29 suara atau 14,9 persen.
Perolehan suara parpol di posisi berikutnya masih cenderung dekat dengan parpol tiga teratas tersebut. PDI Perjuangan dan Partai Nasdem di posisi keempat masing-masing memperoleh 19 suara. Selanjutnya, Partai Amanat Nasional (PAN) memperoleh 18 suara. Sampai di sini tampak bahwa lima besar partai teratas yang memperoleh suara terbesar di TPS tempat Anies mencoblos bersaing ketat.
Meskipun Gerindra unggul, selisihnya tidak terlampau jauh dengan partai-partai di bawahnya. Partai-partai koalisi pengusung Anies pun tampak mendapatkan suara yang bersaing. Tidak ada satu pun partai yang ada dalam Koalisi Perubahan yang unggul ataupun tertinggal signifikan.
Hal berbeda terjadi di TPS tempat Prabowo Subianto menggunakan hak pilihnya. Di TPS 033 Bojong Koneng, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Partai Gerindra unggul mutlak. Partai yang diketuai oleh Prabowo ini mendapatkan 157 suara atau 69,5 persen. PKS yang berada di urutan kedua hanya mendapatkan 30 suara atau 13,3 persen.
Sementara Partai Golkar yang menjadi partai koalisi pengusung Prabowo berada di urutan ketiga dengan 23 suara atau 10,2 persen. Berikutnya, Partai Demokrat hanya memperoleh 6 suara atau 2,7 persen. Sementara partai-partai lain mendapat tak lebih dari dua suara saja.
Hal yang mirip juga terjadi di TPS tempat Ganjar Pranowo mencoblos. Di TPS 011 Lempongsari, Gajah Mungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah, PDI-P unggul mutlak dengan raihan 145 suara atau 65,6 persen. Posisi PDI-P diikuti Demokrat dengan 21 suara atau 9,5 persen, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan 11 suara, kemudian Gerindra dan PKS masing-masing mendapatkan 10 suara.
Sampai di sini tampak bahwa di TPS tempat Anies memilih, persaingan parpol berjalan secara kompetitif, baik bagi partai koalisi pengusung Anies-Muhaimin maupun partai lawan. Sebaliknya, di TPS tempat Prabowo dan Ganjar memilih, ruang kontestasi secara dominan dikuasai oleh partai pengusung utama koalisi.
Bahkan, ruang itu sangat sempit sekalipun bagi partai pengusung koalisi. Golkar dan Demokrat mendapatkan suara dengan selisih jauh dibandingkan Gerindra di Babakan Madang. Sementara Perindo hanya mendapat 3 suara di Gajahmungkur. Bahkan, tidak ada suara yang mengalir ke Partai Hanura dan PPP di sana.
Memang tak dapat dimungkiri bahwa ada faktor sosok-sosok lokal ketika berbicara kontestasi pilihan legislatif. Namun, perlu dipertimbangkan juga, dalam pemilu serentak, sosok capres diandaikan akan mampu memberikan suntikan elektoral bagi partai pengusung.
Apalagi dalam pemilu lalu, setiap capres menggunakan hak pilihnya di sekitar tempat tinggal mereka sehari-hari. Hal ini memungkinkan pembayangan bahwa pemilih sekitar memiliki tingkat keterpaparan yang mencukupi, baik sosok capres maupun partai-partai pengusungnya. Dari paparan data tiga TPS di atas, suntikan elektoral sosok capres bagi partai koalisi hanya terjadi di Lebak Bulus yang menjadi kandang Anies.
Baca juga: Di TPS 011 Lempongsari, Ganjar Gunakan Hak Pilihnya
Persaingan politik sehat
Apabila menggunakan kacamata politik kekuasaan yang memaknai kontestasi politik sebagai upaya maksimal untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya kekuatan (gathering power), hubungan antara Prabowo dan Ganjar dengan Gerindra dan PDI-P membuktikan bagaimana kekuasaan harus dimenangkan secara mutlak.
Akan tetapi, dalam konteks demokrasi, mutlaknya sebuah kekuatan politik atau ideologi tunggal sehingga tidak ada ruang gerak bagi kekuatan lainnya berpotensi mengancam eksistensi demokrasi itu sendiri. Persaingan politik sehat dalam demokrasi yang dewasa sewajarnya memungkinkan ruang gerak cukup untuk berbagai aliran dan model pemikiran.
Dengan kacamata yang kedua, TPS Anies menjadi cerminan ideal bagaimana kontestasi yang demokratis semestinya berjalan. Hal ini juga menguatkan bagaimana koalisi pengusung Anies-Muhaimin tidak mendasarkan ”kerja sama” politik atas dasar dominasi satu partai atau sosok tertentu.
Lebih lagi, Anies menjadi satu-satunya capres yang tidak terlampau ”sibuk” menangkap aliran endorsement dari Presiden Joko Widodo. Berbeda dengan Prabowo dan Ganjar yang dalam proses menuju pemilu tampak berkalkulasi dengan efek Jokowi.
Akhirnya, fenomena Anies mengakumulasi kekuatan politiknya secara khusus dan bagaimana proses Pemilu 2024 berjalan secara umum dapat menjadi landasan baru menatap demokrasi semestinya berjalan ke depan. Jika demokrasi sebagai sebuah sistem dipercaya akan melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas, sejak awal, tengah, hingga akhir prosesnya sewajarnya dipastikan berjalan sehat.
Baca juga: Anies-Muhaimin Minta Pendukungnya Amankan Suara di TPS