Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Petani Sulit Lepas dari Jerat Kemiskinan
Kenaikan harga beras di pasaran dinilai belum memperbaiki kesejahteraan petani.
Kenaikan harga beras yang terjadi di awal tahun tidak serta-merta dianggap dapat menguntungkan petani yang masih berjuang mencapai hidup sejahtera. Berbagai faktor, mulai dari iklim hingga regenerasi petani, menjadi sorotan publik atas masalah kesejahteraan petani. Pemerintah perlu lebih inovatif mengupayakan kesejahteraan petani, alih-alih fokus mengendalikan harga beras semata.
Dominasi beras sebagai bahan pokok pangan di Indonesia menjadikan setiap kenaikan harga beras di pasaran menjadi isu sensitif di masyarakat. Ironisnya, petani sebagai produsen utama tidak langsung menikmati buah manis dari kenaikan harga tersebut. Publik pun menilai kesejahteraan petani masih menjadi persoalan laten yang sulit diselesaikan pemerintah.
Temuan ini terekam dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 26-28 Februari 2024 yang menjaring 512 responden di 38 provinsi. Sebanyak 64,2 persen responden menganggap sebagian besar petani masih tergolong miskin. Hanya satu dari tiga responden yang menganggap sebagian besar petani sudah hidup berkecukupan.
Penilaian masyarakat terhadap kesejahteraan petani ini sesuai dengan kenyataan di lapangan. Merujuk pada laporan Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia, kenaikan harga beras tidak signifikan berpengaruh pada nilai tukar petani (NTP) yang menjadi salah satu indikator kesejahteraan petani. Dari sisi buruh tani pun upah riil yang diterima justru menurun.
Hasil jajak pendapat juga mengulik persepsi masyarakat terhadap kenaikan harga beras yang terjadi pada Januari-Februari 2024. Hampir separuh responden menilai kenaikan harga beras disebabkan oleh faktor alam, terutama iklim yang menyebabkan kondisi panen beras menjadi terganggu. Persepsi ini mengikuti penjelasan yang diberikan pemerintah.
Selain itu, sebanyak 22 persen publik juga mengaitkan kenaikan harga beras dengan faktor politik. Adanya bantuan sosial dari pemerintah, partai politik, hingga calon anggota legislatif selama masa pemilu turut memengaruhi berkurangnya stok beras karena tingginya permintaan beras oleh pihak-pihak tersebut.
Selebihnya, sebagian menganggap adanya permainan harga dari pihak kedua atau tengkulak (10,9 persen) dan para pedagang yang sengaja menimbun pasokan beras (10,6 persen).
Tampaknya perubahan iklim yang cukup ekstrem beberapa tahun belakangan ini memengaruhi persepsi masyarakat terhadap nasib petani beras. Faktor alam atau iklim yang tidak menentu dinilai oleh 26,5 persen publik sebagai masalah utama yang dihadapi para petani beras.
Sebagian lainnya (24 persen) menilai para petani masih kurang memiliki modal sehingga kurang dapat mengoptimalkan lahan yang digarap.
Namun, sebagian masyarakat juga menyoroti perkara kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah yang menyebabkan harga gabah petani menjadi anjlok. Protes pun disuarakan oleh petani.
Pada pertengahan Januari lalu, misalnya, puluhan petani dari Indramayu, Jawa Barat, dan Banten yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) menggelar aksi unjuk rasa menolak importasi beras.
Mereka menggugat kebijakan impor yang dilakukan saat harga gabah sedang membaik ketika panen raya. Harga gabah petani langsung anjlok karena isu impor beras beredar di masyarakat.
Baca juga: Petani Padi yang Tetap Tertinggal
Problem menahun
Permasalahan seputar beras dan petani bisa ditelusuri sejak awal pemerintahan era Presiden Soekarno. Obsesi menjadikan beras sebagai bahan pangan utama dimulai pada 1948 sejak Menteri Persediaan Makanan Rakyat IJ Kasimo mencetuskan program swasembada pangan atau Kasimo Plan. Inti program adalah melakukan intensifikasi lahan pertanian dengan memperbanyak bibit unggul serta ekstensifikasi dengan membuka lahan di Sumatera.
Ambisi menjadikan beras sebagai bahan pangan utama juga dimasukkan dalam kebijakan pemberian beras dalam komponen gaji pegawai negeri dan militer. Pada tahun 1950, pemerintah mendirikan Yayasan Bahan Makanan (Bama).
Badan itu kemudian diganti menjadi Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) pada 1953. Selang tiga tahun kemudian, Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) berdiri dan menjadi cikal bakal Bulog (Badan Urusan Logistik) hingga saat ini.
Di Orde Baru, Presiden Soeharto menjalankan proyek Revolusi Hijau pada 1974. Proyek ini dikenal dengan Panca Usaha Tani dengan penggunaan bibit unggul, pemupukan kimia, irigasi yang baik, proteksi tanaman dengan pestisida, dan mekanisasi pertanian. Konsekuensinya, lahan tanaman lain dijadikan sawah padi dan keragaman bibit lokal milik petani beralih ke pihak korporasi transnasional.
Pengondisian yang berlangsung bertahun-tahun hingga saat ini menjadikan masyarakat Indonesia bergantung pada beras. Kebergantungan pada bahan pangan ini, ketika terjadi kelangkaan, ditutupi pemerintah dengan memperbesar keran impor beras ketimbang melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi.
Program lumbung pangan (food estate) yang dijalankan Presiden Joko Widodo pada periode kedua pemerintahannya juga belum dapat mengatasi persoalan bahan pangan. Balada impor dan usaha meningkatkan produksi bahan pangan nyatanya terus berlanjut tanpa mempertimbangkan kesejahteraan petani beras lokal.
Di tataran masyarakat, kebijakan dan program pemerintah melalui Kementerian Pertanian sebenarnya juga tidak luput jadi perhatian. Ada enam program Kementan yang dinilai berpengaruh langsung dalam meningkatkan kesejahteraan petani.
Berdasarkan hasil jajak pendapat, secara umum keenam program Kementan tersebut sudah berjalan, tapi pelaksanaannya masih kurang baik. Program yang paling dinilai sudah berjalan baik ialah peningkatan penanganan pascapanen dan pengolahan hasil panen. Hal itu dinilai oleh kurang dari separuh responden (41,1 persen).
Kontrasnya, program Jalinkesra (Jalan Lain Menuju Kesejahteraan Rakyat) atau Penanganan Rumah Tangga Sangat Miskin mendapat penilaian paling tinggi dari publik sebagai program yang belum berjalan sama sekali (22,6 persen).
Tampaknya, Kementan perlu menggandeng Kementerian Sosial serta pemerintah daerah untuk menjalankan program ini dengan lebih serius. Fokusnya jangan hanya pada pemberian bantuan sosial rumah tangga yang bersifat sementara, melainkan juga pada pemberian modal usaha untuk jangka panjang.
Program Kementan lainnya seperti pengembangan produksi benih padi, pengembangan kerja sama antardaerah, pengembangan pupuk organik, serta pembinaan dan pengembangan sarana dan prasarana petani juga dinilai sudah berjalan, tapi kurang baik pelaksanaannya.
Program-program Kementan selama ini perlu dievaluasi secara menyeluruh dengan fokus bukan hanya pada ketersediaan bahan pangan, melainkan juga turut memperhatikan nasib kesejahteraan petani beras lokal.
Baca juga: Ironi Negeri Agraris, Petani Padi Mengantre Beras Murah
Berpihak kepada petani
Di samping sejumlah program yang sedang diupayakan pemerintah melalui kementerian atau lembaga, masyarakat juga menilai sejumlah tindakan perlu diprioritaskan guna meningkatkan kesejahteraan petani beras.
Hampir setengah masyarakat menilai bahwa pemerintah perlu tetap memastikan ketersediaan pupuk subsidi. Masalah kelangkaan pupuk subsidi ini menjadi keprihatinan publik karena terjadi di sepanjang 2023 dan berlanjut hingga saat ini.
Pemakaian pupuk subsidi ini sebenarnya juga bagian dari ”dosa masa lalu” di era Revolusi Hijau. Penggunaan pupuk kimia menjadi begitu populer di kalangan petani dan pupuk non-organik lambat laun ditinggalkan. Kebergantungan pada pupuk kimia secara langsung memengaruhi harga produksi yang makin mahal.
Selanjutnya, publik menilai bahwa pemerintah masih perlu memberikan bantuan sarana dan prasarana pertanian seperti alat tani, lahan, dan mesin produksi (26,5 persen). Hal lain seperti memberikan bantuan modal berupa uang, membatasi produk beras impor, serta memotong rantai penjualan gabah menjadi prioritas lainnya yang perlu dijalankan pemerintah.
Bagaimanapun juga kebijakan yang berpihak kepada petani beras lokal masih perlu diperhatikan pemerintah alih-alih hanya berfokus pada pengendalian harga beras di pasaran. Keputusan mengimpor beras besar-besaran selama ini memang meredakan gejolak publik akan stok beras di pasaran, tetapi jelas tidak berpihak kepada petani. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Lonjakan Harga Beras Turut Pukul Petani