Dari dulu hingga sekarang, kesejahteraan petani padi tetap tertinggal dibandingkan pekerja di sektor-sektor lain.
Oleh
AGUSTINA PURWANTI
·4 menit baca
Memasuki bulan ketiga tahun ini, kenaikan harga beras tak terbendung. Bagi warga, sebagai konsumen, tentu kondisi ini kian mengimpit lantaran pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pokok membesar. Di sisi lain, idealnya, lonjakan harga itu menjadi angin segar bagi sebagian masyarakat yang memproduksinya, yakni petani padi.
Namun, kondisinya justru terbalik. Para petani padi tak benar-benar merasakan ”gula manis” dari melambungnya harga beras. Hal ini tergambar dari lebih tingginya kenaikan harga beras dibandingkan dengan nilai tukar petani (NTP) yang menjadi tolok ukur kesejahteraan petani.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, harga beras di tingkat perdagangan besar pada Februari 2024 rata-rata Rp 14.397 per kilogram, naik 5,95 persen dari bulan sebelumnya. Pada kurun waktu yang sama, NTP tanaman pangan juga meningkat, tetapi lebih kecil, yakni 3,56 persen.
Dalam jangka panjang, tampak pola yang sama antara perubahan harga beras dan NTP tanaman pangan dari tahun ke tahun. Hanya, kenaikan harga beras selalu cenderung lebih tinggi. Sesuai dengan data bulanan 2010-2024, rata-rata perubahan harga beras 0,64 persen. Adapun perubahan NTP tanaman pangan cuma 0,27 persen.
Secara nominal pun harga beras terpantau konsisten meningkat dari waktu ke waktu. Sebagai gambaran, harga beras grosir pada Januari 2010 sebesar Rp 6.702,49 per kg. Kini, harga sudah menembus Rp 14.397 per kg, lebih dari dua kali lipatnya.
Sementara NTP tanaman pangan cenderung fluktuatif dari bulan ke bulan. Saat harga beras naik, hal itu tak lantas diikuti dengan kenaikan NTP. NTP tanaman pangan pun relatif lebih rendah dari subsektor pertanian lain, sebut saja hortikultura dan perkebunan.
Nasib petani kian terimpit
Kondisi ini makin menambah sesak hidup para petani yang selama ini tidak berdaya. Di antara semua lapangan pekerjaan, mereka yang mengabdi di dunia pertanian selalu pada posisi tertinggal.
BPS mencatat, rata-rata pendapatan bersih mereka yang memiliki usaha pertanian adalah Rp 1,59 juta per bulan pada Agustus 2023. Sementara itu, penghasilan sektor industri dan jasa sebesar Rp 1,79 juta dan Rp 2,25 juta per bulan.
Begitu pun mereka yang menjadi buruh di sektor pertanian. Upah para pekerja pertanian pada periode yang sama tercatat Rp 2,37 juta per bulan. Angka itu terendah kedua setelah sektor jasa lain dan berada di bawah rata-rata nasional yang mencapai Rp 3,18 juta per bulan.
Secara harian, jumlah nominal upah buruh tani juga tercatat terus meningkat. Sayangnya, upah riil yang diterima, yang sudah disesuaikan dengan tingkat konsumsi petani, justru kian turun dari waktu ke waktu.
Hal ini menjadi ironi lantaran para petani sejatinya bagian dari penyumbang terbesar perekonomian nasional. Dari Rp 11.763 triliun produk domestik bruto nasional pada 2023, sebesar 12,4 persen berasal dari sektor pertanian. Seperlima bagian disumbang subsektor tanaman pangan yang memproduksi padi. Para petani berperan besar terhadap perekonomian makro.
Naasnya, posisi mereka justru tidak diuntungkan. Malah sebaliknya, terjebak dalam kemiskinan. Data BPS menunjukkan, 48,86 persen penduduk miskin pada Maret 2023 merupakan rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian. Sisanya berasal dari sektor industri dan lainnya, bahkan mereka yang tidak bekerja.
Meskipun proporsinya sudah lebih kecil dari 2013 yang sebesar 52,89 persen, fakta tersebut menunjukkan betapa tidak berdayanya petani walaupun sebenarnya mereka memiliki daya tawar tinggi. Terlebih RI melabeli diri sebagai negara agraris. Namun, kondisi para penggarap lahannya jauh dari sejahtera.
Pekerjaan sebagai petani kian ditinggalkan
Menyitir pemberitaan Kompas, pahitnya nasib petani sudah terekam sejak puluhan tahun lalu, bahkan sejak pertanian Indonesia mengalami masa kejayaan berkat program Revolusi Hijau yang dicanangkan pemerintah kala itu.
Di tengah euforia keberhasilan Revolusi Hijau yang membuat RI menyabet medali swasembada beras dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), kondisi itu tidak serta-merta menyejahterakan petani. Disebutkan, jumlah proletar perdesaan terus meningkat. Kondisi ini menggejala di sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia (Kompas, 29 Oktober 1977).
Stagnasi nasib petani tidak disikapi dengan perbaikan peraturan atau UU baru yang lebih konkret sebagai legitimasi untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Seolah sektor ini terabaikan dan ditinggalkan. Padahal, sektor ini memegang peranan penting dari bagian paling inti sebuah kehidupan secara fisik, yakni bahan pangan.
Tidak mengherankan jika sektor ini kian ditinggalkan. Hasil Sensus Pertanian 2023 menunjukkan, jumlah rumah tangga usaha pertanian turun 12,3 persen ketimbang 10 tahun lalu. Kini tersisa 15,5 juta rumah tangga penggarap lahan pertanian tanaman pangan. Penurunan ini menjadi ancaman nyata saat RI masih belum berhasil mewujudkan cita-cita kemandirian pangan.
Menjadi ironis ketika ketertinggalan dan kemiskinan justru mengimpit mereka, kelompok yang semestinya paling sejahtera saat nilai jual produksinya melejit. Ditambah lagi, merekalah penghasil komoditas kebutuhan mayoritas warga. (LITBANG KOMPAS)