Ke Mana Aliran Suara Kaum Buruh pada Pemilu 2024?
Terlepas dari hasil pemilu sementara, suara kaum pekerja larut dalam simpatisan politik. Ke mana dukungan mereka?
Kaum buruh atau pekerja yang jumlahnya hampir 70 persen dari seluruh total daftar pemilih tetap atau DPT punya andil besar dalam menentukan hasil pemilu kali ini.
Pasangan capres dan cawapres yang mendapat suara terbanyak dari kelompok ini tentu unggul secara elektoral. Namun, dalam pemilu kali ini, suara gerakan kaum buruh kurang terdengar karena larut dalam kelompok-kelompok simpatisan politik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2023, penduduk yang bekerja tercatat sebanyak 139,85 juta orang. Jika dibandingkan dengan total DPT sebesar 204,8 juta pemilih, kelompok pekerja ini memiliki persentase yang jauh lebih besar dibanding kelompok pemilih lainnya yang tidak bekerja.
Terlepas dari status sosial ekonomi dan kategorinya, mereka yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah adalah buruh.
Merujuk pada hasil rekapitulasi KPU hingga 22 Februari 2022 pukul 23.00 WIB, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka masih unggul dengan total 58,89 persen suara. Adapun urutan kedua ditempati pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dengan 24,06 persen suara. Sementara pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD berada di urutan ketiga dengan 17,05 persen suara.
Hasil tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan hasil hitung cepat atau quick count Pemilu 2024 yang dilakukan Litbang Kompas dengan data masuk 100 persen.
Perhitungan cepat menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran berada di angka 58,47 persen. Sementara pasangan Anies-Muhaimin di urutan kedua dengan 25,23 persen suara dan diikuti pasangan Ganjar-Mahfud yang mendapat 16,30 persen suara.
Keunggulan pasangan Prabowo-Gibran ini juga mendapat sokongan suara yang besar dari kaum buruh. Temuan ini turut terekam dalam hasil survei exit poll atau pascapencoblosan yang dilakukan Litbang Kompas saat pemungutan suara pemilu yang digelar pada Rabu (14/2/2024).
Sebanyak 54,7 persen suara kelompok pekerja (pekerja tetap, buruh lepas, dan lainnya) diberikan bagi pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran. Sementara Anies-Muhaimin mendapatkan 19,8 persen suara dan Ganjar-Mahfud mendapat 15,9 persen suara dari kaum pekerja.
Dari kategori ini, sebaran dukungan kelas pekerja cukup bervariasi. Pasangan Anies-Muhaimin unggul di kalangan pegawai yayasan atau lembaga swadaya masyarakat atau LSM (44 persen) dan kalangan pegawai negeri sipil (35,2 persen).
Jargon ”perubahan” yang selalu digaungkan Anies-Muhaimin tampaknya mendapat gelombang dukungan yang besar dari pekerja LSM yang kerap mengidentifikasikan diri sebagai oposisi pemerintahan.
Meskipun statusnya erat dengan kementerian atau lembaga pemerintahan, pasangan Prabowo-Gibran tidak mendapat dukungan penuh dari pemilih kalangan PNS dan/atau pegawai BUMN. Capres-cawapres nomor urut dua ini cenderung unggul di kalangan karyawan swasta (60,5 persen), wiraswasta (53,4 persen), buruh lepas (55,6 persen), dan lainnya (53,3 persen).
Bisa jadi, program kerja yang dihadirkan Prabowo-Gibran, baik yang populis seperti makan siang gratis maupun yang menjanjikan iklim investasi seperti hilirisasi, menjadi daya tarik pemilih di kalangan pegawai kantoran hingga pengusaha.
Namun, jika ditelaah lebih lanjut, masing-masing capres-cawapres memiliki perbedaan dari tiap kantong pemilihnya di kluster ini. Di antara ketiganya, pemilih pasangan Anies-Muhaimin berasal dari golongan pemilih yang tidak bekerja (46,3 persen).
Kebalikannya, para pemilih pasangan Ganjar-Mahfud justru lebih banyak yang masuk dalam pemilih yang bekerja (62,8 persen). Sementara pemilih Prabowo-Gibran relatif imbang di antara yang bekerja dan tidak bekerja.
Pemetaan ini menunjukkan suara kaum buruh masih cenderung menyebar atau tidak ada arus kuat yang mengarah ke salah satu pasangan capres-cawapres. Identifikasi ini perlu dilengkapi dengan melihat pilihan partai politik yang cenderung lebih spesifik pada basis ideologinya, antara nasionalis atau berbasis agama. Dari sinilah kemudian dapat dilihat kembali arah gerakan buruh saat ini.
Baca juga: Partai Buruh Tetap Minim Peminat di Era Industrialisasi
Pilihan parpol
Perolehan sementara dari hasil rekapitulasi KPU memperlihatkan persaingan ketat antara partai papan atas. Posisi tiga teratas secara berurutan dihuni oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebanyak 16,78 persen suara, Partai Golongan Karya (Golkar) sebanyak 15,3 persen suara, dan Partai Gerindra sebanyak 13,42 persen suara. Total rekapitulasi sementara dihimpun dari 62,1 persen total TPS.
Kelompok pemilih pekerja tampaknya relatif moderat secara ideologis jika dilihat dari preferensi partai politik yang dipilihnya. Partai Gerindra (20,1 persen), PDI-P (17,3 persen), Partai Golkar (10,7 persen), PKS (8,5 persen), dan Partai Nasdem (7,2 persen) adalah lima partai terbanyak yang dipilih pemilih kelompok pekerja. Dari kelima partai ini, hanya PKS yang berhaluan agamis, sisanya bercorak nasionalis.
Apabila dilihat dari koalisi kelima partai di atas, kelompok kelas pekerja ini cenderung pragmatis dalam pilihan politiknya. Partai Gerindra dan Partai Golkar yang berada di koalisi Prabowo-Gibran jelas akan masuk jajaran pemerintahan jika keunggulan elektoral Prabowo-Gibran tetap bertahan hingga Oktober 2024 nanti.
Pragmatisme politik ini juga berpotensi menguat ketika partai di luar koalisi Prabowo-Gibran memilih bergabung dalam pemerintahan.
Kedua pemetaan ini, moderat dan dukungan ke partai pemerintahan, cukup mengidentifikasikan bahwa pergerakan buruh selanjutnya condong pada status quo, bahkan lesu menyuarakan hak-hak pekerja.
Kemungkinan besar, hanya PDI-P yang menjadi corong besar bagi organisasi buruh untuk berada di pihak oposisi. Apalagi, hasil exit poll merekam sebanyak 73,9 persen pemilih kelompok pekerja merasa puas dengan pemerintahan Presiden Jokowi saat ini.
Baca juga: Partai Buruh dan Tantangan Menguatkan Kesadaran Kolektif Buruh
Cenderung pragmatis
Di era Reformasi, geliat perjuangan buruh sebenarnya tidak diawali dengan sokongan partai politik secara langsung, melainkan dengan terbitnya UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Kebebasan Berserikat.
Di satu sisi, banyak serikat buruh pun lahir dan memulai gerakan. Di sisi lain, banyaknya serikat buruh yang ada justru terfragmentasi berdasarkan kepentingan pragmatis, berdasarkan daerah, sektor usaha, dan sebagainya, yang menyulitkan persatuan gerakan buruh.
Fragmentasi ini juga memperpanjang sejarah pecahnya suara politik kaum buruh. Pada Pemilu 1999, ada empat partai yang mewakili kaum buruh, yakni Partai Buruh Nasional (PBN), Partai Pekerja Indonesia (PPI), Partai Solidaritas Pekerja (PSP), dan Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia (PSPSI). Sayangnya, dari empat partai kaum buruh itu, tidak satu pun yang berhasil memperoleh 1 persen suara.
Pada Pemilu 2004 dan 2009 tercatat dua partai yang mewakili suara buruh, yakni Partai Buruh Sosial Demokratik (yang kini menjadi Partai Buruh) dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI). Lagi-lagi keduanya gagal mendulang suara untuk menembus ambang batas parlemen.
Perpecahan suara buruh kemudian terjadi pada Pemilu 2014. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) mendukung capres dan cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sementara lainnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), mendukung capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Kondisi ini berlanjut pada Pemilu 2019.
Pada pemilu kali ini, suara kaum pekerja sebenarnya berusaha dihimpun oleh Partai Buruh yang sejak dideklarasikan, mengidentifikasikan diri sebagai partai kelas pekerja dengan slogan ”We are the Working Class”. Partai berlogo padi tersebut sejauh ini hanya berhasil mengumpulkan 0,62 persen suara dari rekapitulasi sementara KPU. Bisa jadi, idealisme Partai Buruh untuk tidak bergabung ke koalisi mana pun turut memengaruhi sedikitnya perolehan suara.
Dengan kondisi seperti ini, suara kaum pekerja di ranah politik tampaknya akan sulit menggoyangkan kebijakan pemerintah ke depan yang dinilai kurang berpihak pada kaum buruh.
Sebagian besar kaum buruh, terutama di daerah perkotaan yang juga bagian dari kelas menengah, juga cenderung pragmatis dan oportunis secara politis. Maksudnya, pilihan politik mengarah pada pihak yang dinilai menjamin kestabilan pekerjaan dan pendapatan.
Perkara nilai dan ideologi cenderung tidak diperhitungkan bagi kelas pekerja ketika dihadapkan pada pilihan politik. Apalagi, suara kaum pekerja sudah larut sebagai simpatisan politik, baik untuk capres maupun parpol. Dengan demikian, masyarakat kelas pekerja dihadapkan pada tantangan memelihara idealisme gerakan demi memperjuangkan hak-hak pekerja di pemerintahan ke depan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Selalu Jadi Topik Kampanye, Perlindungan Pekerja Migran Tidak Pernah Tuntas