Parpol Peserta Pemilu, Ambang Batas, dan Suara Terbuang
Ambang batas parlemen menjadi tantangan bagi partai politik untuk meminimalisasi potensi suaranya yang terbuang.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·3 menit baca
Setelah selama masa Orde Baru jumlah partai politik yang berkontestasi terbatas pada tiga partai, terjadi euforia politik memasuki masa reformasi. Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik peserta pemilu. Berdasarkan hasil pemilu kala itu, sebanyak 21 partai berhasil lolos melenggang ke DPR.
Lima tahun berselang, jumlah peserta pemilu turun menjadi 24 partai politik. Dari hasil pemilu, terdapat 17 partai yang lolos masuk ke parlemen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Salah satu yang menjadi faktor berkurangnya jumlah partai peserta pemilu adalah aturan electoral threshold atau ambang batas perolehan kursi parpol sebagai syarat untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.
Ambang batas elektoral parpol pada Pemilu 1999 sebesar 2 persen dengan dasar aturan Undang-Undang Nom9r 3 Tahun 19999 tentang Pemilihan Umum. Angka ambang batas ini berubah menjadi 3 persen pada Pemilu 2004 dengan dasar Undang-Undang No 12/2003. Aturan electoral threshold ini tak lagi dipakai pada Pemilu 2009.
Dengan tidak adanya ambang batas pemilu sebelumnya yang digunakan sebagai syarat mengikuti pemilu, kembali terjadi peningkatan jumlah partai politik peserta. Pemilu 2009 diikuti 38 partai politik.
Namun, jumlah partai yang berhasil lolos ke parlemen hanya sembilan. Faktor yang memengaruhi adalah berubahnya aturan electoral threshold menjadi parliamentary threshold atau ambang batas parlemen.
Perhitungan ambang batas parlemen didasarkan pada jumlah suara sah nasional yang diraih oleh partai. Dalam Pemilu 2009, ditetapkan ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen. Dengan adanya ambang batas ini, partai-partai lebih kalkulatif untuk berkontestasi dalam pemilu-pemilu berikutnya.
Dari 12 parpol yang berkontestasi pada Pemilu 2014, sebanyak 10 partai memenuhi ambang batas parlemen. Berikutnya, pada Pemilu 2019, dari 16 parpol peserta pemilu, hanya 9 partai yang berhasil melenggang ke Senayan.
Dengan tujuan memangkas jumlah peserta pemilu, maka penerapan aturan ambang batas tampak berhasil mencapai tujuan tersebut. Penerapan ambang batas pun hal yang umum dilakukan di negara-negara lain, bahkan dengan angka yang lebih tinggi. Pemilu di Kroasia tahun 2007 menerapkan ambang batas pemilu nasional 5 persen.
Angka yang sama diterapkan dalam pemilu di Republik Ceko tahun 2010, Polandia pada tahun 2007, dan Korea Selatan pada tahun 2004. Meskipun efektivitas memangkas jumlah peserta memang terjadi, ada konsekuensi yang mengikuti, yakni adanya jumlah suara yang terbuang atau wasted votes karena tidak terkonversi menjadi kursi di parlemen.
Pada Pemilu 2009, berdasarkan hitungan Perludem, terdapat sekitar 104 juta suara sah nasional yang masuk. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 85 juta suara yang terkonversi menjadi kursi. Artinya, ada sekitar 19 juta suara masuk yang tidak terkonversi menjadi kursi atau sekitar 18 persen suara yang terbuang.
Jumlah ini menurun pada Pemilu 2014. Dari 124 juta suara yang masuk, 121 juta suara terkonversi menjadi kursi parlemen. Dengan kata lain, hanya sekitar 3 juta atau 2,4 persen suara yang terbuang.
Hal ini dipengaruhi selisih yang ketat antara partai peserta pemilu dan partai yang lolos ke parlemen. Hanya dua partai yang tidak berhasil lolos ambang batas parlemen dari 12 partai yang berkontestasi.
Jumlah suara terbuang pada Pemilu 2019 kembali meningkat dengan hasil pemilu yang hanya meloloskan sembilan partai. Padahal, peserta pemilu berjumlah 16 partai. Hal ini membuat dari 139 juta suara sah nasional yang masuk, sekitar 126 juta suara saja yang terkonversi menjadi kursi di parlemen.
Artinya, ada sekitar 13 juta suara yang terbuang atau hampir 10 persen dari total suara sah nasional yang masuk. Fenomena ini kembali membuktikan bahwa peningkatan wasted votes terjadi ketika ada gap yang tinggi pula antara partai peserta pemilu dibandingkan partai yang lolos ambang batas parlemen.
Akan tetapi, fenomena suara terbuang seakan menjadi pedang bermata dua. Menekankan partisipasi partai politik sebagai peserta pemilu hanya pada partai-partai yang tampak mampu melewati ambang batas parlemen berisiko menimbulkan stagnasi dinamika politik.
Di sisi lain, memberikan ruang yang lebar untuk semakin banyak partai baru berpartisipasi dalam pemilu menimbulkan risiko semakin tingginya suara terbuang apabila hanya sedikit partai yang mampu menembus ambang batas parlemen. Hal ini kembali mengingatkan adanya pekerjaan rumah dalam dinamika demokrasi di Indonesia.
Pada Pemilu 2024, ambang batas parlemen yang diterapkan tidak berubah dari pemilu sebelumnya, yakni 4 persen. Dengan demikian, tidak hanya berbicara soal kepentingan elektoral yang pragmatis belaka, partai politik diharapkan makin menajamkan visi-misi serta program kerja yang jelas penekanannya antara satu partai dan partai yang lain.
Harapannya, politik praktis sebagai jalan memperoleh kekuatan di parlemen sungguh-sungguh didasari agenda memperjuangkan idealisme demokrasi yang kuat, bukan sekadar pertarungan memperebutkan kekuasaan berdasarkan hitung-hitungan elektoral. (LITBANG KOMPAS)