Pengelolaan Utang Pemerintah dalam Perspektif Debat Capres
Tiga capres setuju pengelolaan utang pemerintah harus bijak dan cermat untuk menghindari masalah di kemudian hari.
Kebijakan utang pemerintah beberapa waktu terakhir menjadi isu yang hangat diperbincangkan. Bahkan, pembahasannya diangkat dalam debat ketiga antarcalon presiden pada awal Januari lalu. Pasalnya, jumlah utang pemerintah menjelang akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo menembus Rp 8.000 triliun.
Jumlah utang pemerintah per akhir tahun 2023 yang dilansir Kementerian Keuangan sudah mencapai Rp 8.144,69 triliun, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,59 persen.
Nominal utang pemerintah ini naik tiga kali lipat dibandingkan dengan satu dekade lalu. Akhir 2014, pada awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, jumlah utang pemerintah sebesar Rp 2.609 triliun dengan rasio terhadap PDB 24,75 persen.
Penambahan utang pemerintah terbesar terjadi pada masa pandemi Covid-19. Pada tahun 2020, jumlah utang pemerintah bertambah sebesar Rp 1.295,96 triliun. Penambahan utang yang besar, yang terjadi saat perlambatan ekonomi, membuat rasio utang terhadap PDB melonjak, dari semula di bawah 30 persen sebelum pandemi menjadi 38,68 persen pada tahun 2020.
Rasio utang pemerintah tertinggi terjadi pada tahun 2021 yang mencapai 41 persen dengan nominal utang Rp 6.908.87 triliun. Pada tahun 2022, utang pemerintah masih bertambah menjadi Rp 7.733,99 triliun. Namun, karena perekonomian mulai membaik, rasio utang terhadap PDB sedikit menurun menjadi 39,57 persen.
Rasio utang pemerintah pada tahun 2023 masih menunjukkan tren menurun meski nominal utang terus meningkat. Hal ini merupakan efek dari perekonomian yang semakin membaik.
Meski rasio utang pemerintah terhadap PDB pernah mencapai 41 persen, angka tersebut menurut pemerintah masih di bawah batas 60 persen PDB. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Penurunan rasio secara perlahan juga sesuai dengan ketetapan pemerintah melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2023-2026, dengan rasio utang terhadap PDB di kisaran 40 persen.
Komposisi utang pemerintah ini terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman pemerintah. Porsi SBN sebanyak 88,16 persen dengan nilai Rp 7.180,71 triliun.
Selebihnya adalah pinjaman pemerintah yang didominasi oleh pinjaman luar negeri, baik pinjaman bilateral, multilateral, maupun bank komersial. Pandemi membuat pinjaman luar negeri pemerintah meningkat, dari Rp 755,41 triliun tahun 2019 menjadi Rp 929,93 triliun tahun 2023.
Jumlah utang pemerintah ini berbeda dengan jumlah utang luar negeri Indonesia. Publik sering kali salah atau rancu membedakan antara utang pemerintah dan utang luar negeri.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia, jumlah utang luar negeri (external debt) Indonesia per November 2023 tercatat 400,87 miliar dollar AS. Dengan kurs Rp 15.500 per dollar AS, jumlah utang luar negeri setara Rp 6.213,5 triliun.
Utang luar negeri terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral serta utang swasta. Porsi utang pemerintah dan bank sentral sekitar 51 persen. Total utang luar negeri ini relatif stabil di kisaran 400-an miliar dollar AS selama lima tahun terakhir ini.
Baca juga: Tiga Capres Adu Gagasan soal Utang Luar Negeri
Pandangan capres
Terus meningkatnya utang pemerintah secara umum, termasuk juga pinjaman luar negeri, menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Muncul kekhawatiran membengkaknya utang akan memengaruhi kemandirian ekonomi dan mengintervensi kedaulatan negara.
Oleh sebab itu, menjelang pemilu yang akan menghasilkan kepala pemerintahan yang baru, publik mencermati langkah atau kebijakan apa yang akan dijalankan calon presiden untuk meredam kenaikan utang.
Capres nomor urut satu, Anies Baswedan, dalam paparan visi, misi, dan program kerjanya menargetkan mengurangi rasio utang pemerintah terhadap PDB menjadi kurang dari 30 persen hingga tahun 2029. Angka 30 persen, menurut Anies, batas aman rasio utang terhadap PDB.
Untuk itu, pengelolaan utang pemerintah harus diperbaiki dengan mengoptimalkan komposisi dari jangka waktu utang, denominasi mata uang, dan sumber utang melalui proses penerbitan SBN yang terencana, kompetitif, dan transparan guna memperoleh suku bunga terendah.
Mengurangi rasio utang juga dapat dilakukan dengan memperbesar PDB. Beberapa caranya adalah dengan perluasan wajib pajak dengan harapan dapat memperkuat PDB, di samping mengurangi kebocoran pajak. Selain itu, utang juga harus digunakan untuk aktivitas produktif, bukan untuk yang nonproduktif.
Capres nomor urut dua, Prabowo Subianto, menganggap rasio utang pemerintah saat ini masih dalam kondisi aman karena sesuai dengan ketentuan undang-undang. Rasio utang pemerintah di angka 38 persen dari PDB bahkan merupakan salah satu yang terendah di antara negara-negara Kelompok 20 (G20).
Pengelolaan utang harus dengan pruden, baik, dan dengan strategi ekonomi yang tepat, terutama dengan hilirisasi. Memperbaiki tata kelola utang pemerintah juga perlu dilakukan dengan menggunakannya hanya untuk sektor-sektor produktif. Dengan demikian, keuntungan akan didapat dan akan memperkuat posisi daya tawar bangsa.
Itulah sebabnya, Prabowo merasa tidak terlalu khawatir negara lain akan bisa mengintervensi terkait utang. Pengelolaan utang yang baik selama ini, yang tidak pernah gagal bayar, membuat Indonesia sangat dihormati.
Ditambah lagi jika memiliki kekuatan pertahanan yang baik, Indonesia optimistis tidak akan bisa diintervensi, digertak, atau diintimidasi. Karena itu, menurut Prabowo, tidak masalah jika rasio utang nantinya mencapai 50 persen.
Capres nomor urut tiga, Ganjar Pranowo, mengingatkan untuk berhati-hati terkait utang, terutama utang untuk pembangunan infrastruktur yang memiliki risiko tinggi. Pengelolaan utang harus sangat pruden. Berdasarkan pengalaman di luar negeri, banyak negara yang bangkrut karena utang.
Agar tidak terjebak dalam utang, perekonomian harus didorong tumbuh setidaknya 7 persen dan menjalankan pemerintahan yang benar-benar antikorupsi untuk iklim usaha yang kondusif.
Meski dalam paparan mengenai Menuju Indonesia Unggul tidak terdapat visi dan misi khusus mengenai utang, pembangunan ekonomi yang berdikari, menurut Ganjar, harus ditopang oleh fiskal yang tangguh melalui optimalisasi sumber pendapatan, reformasi kelembagaan, dan efektivitas belanja negara.
Pada intinya ketiga capres sepakat pengelolaan utang harus cermat dan bijak agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, apalagi membebani generasi mendatang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Utang Pemerintah lewat Pinjaman Melonjak 388 Persen di Akhir Tahun, Kok Bisa?