logo Kompas.id
RisetPilihan Politik Dipengaruhi...
Iklan

Pilihan Politik Dipengaruhi Keluarga

Keluarga memengaruhi pilihan politik individu di Indonesia, baik dalam pilihan partai politik maupun pilihan presiden.

Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/jb2E24dZIrzFFJXXyAr1f73P-dk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F03%2F2faae906-ab64-4078-8cd7-a9a796048c3d_jpg.jpg

Sebagai unit terkecil dalam pertalian sosial, keluarga memberikan pengaruh kuat terhadap pilihan politik publik Indonesia. Namun, bukan hanya pilihan politik, corak kebudayaan pengaturan keluarga kerap kali juga menjadi landasan bagaimana sebuah negara diatur.

Survei periodik Kompas Desember 2023 merekam kuatnya faktor keluarga dalam memengaruhi keputusan politik seorang individu. Pengaruh ini berlaku baik dalam pilihan partai politik maupun pilihan presiden. Dengan kata lain, faktor kekerabatan dalam keluarga masih menjadi tumpuan pertimbangan preferensi politik.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Lebih dari separuh responden (65,8 persen) survei mengaku, dalam memilih sosok presiden, keluarga paling memengaruhi pilihan mereka. Keluarga yang dimaksud meliputi orangtua, pasangan suami atau istri, anak, hingga saudara.

Selain pilihan calon presiden, pengaruh keluarga juga terlihat pada pilihan partai. Dengan proporsi lebih kecil, sebanyak 62,3 persen responden mengaku keluarga turut memengaruhi mereka dalam menentukan pilihan partai politik.

Meskipun sama-sama besar, porsi pengaruh keluarga terlihat sedikit lebih tinggi untuk pilihan presiden ketimbang pilihan parpol. Hal ini tidak terlepas dari pola komunikasi dalam keluarga yang berdinamika dalam kondisi informal sehingga komunikasi yang terbentuk pun lebih bersifat sehari-hari.

https://cdn-assetd.kompas.id/xxkBNHSeaczlFPKzGzpAOrVAIiw=/1024x3502/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F18%2F933e0d3a-ef9f-4b55-b134-5f6c08d30bd4_png.png

Dalam situasi demikian, persona sosok calon presiden yang lebih konkret lebih dimungkinkan untuk dibicarakan secara cair. Mendiskusikan sosok presiden dalam obrolan sehari-hari bisa mencakup kepribadiannya, penampilannya, gaya komunikasi, latar belakang, hingga hal-hal lain terkait sosok.

Membicarakan partai politik dapat pula dikaitkan dengan sosok kuat di dalamnya, tetapi narasi yang dibawa partai politik pun tidak selalu berkutat pada tokoh. Dalam sosialisasi dan kampanye, parpol cenderung mengaitkan gerak politiknya dengan visi misi, program kerja, hingga ideologi partai. Hal-hal tersebut terasa lebih formal dibandingkan obrolan sehari-hari di keluarga.

Hal ini makin dikuatkan ketika 11,2 persen responden mengaku teman atau tetangga menjadi pihak yang paling memengaruhi pilihan presiden. Berikutnya, berturut-turut baru tokoh masyarakat (9,4 persen), figur publik (8,2 persen), dan tokoh agama (5,4 persen). Tampak bahwa teman atau tetangga menjadi perpanjangan keluarga untuk membicarakan sosok presiden secara lebih cair.

Berbeda dengan pilihan presiden, sebanyak 12,9 persen responden mengaku tokoh masyarakat paling memengaruhi pilihan partai politiknya. Setelah itu, 10,7 persen responden menempatkan figur publik sebagai pihak yang paling memengaruhi pilihan parpol.

Barulah teman atau tetangga (9,9 persen) dan tokoh agama (4,2 persen) yang paling memengaruhi pilihan pada parpol. Hal ini menguatkan indikasi bahwa partai cenderung dibicarakan dalam relasi yang lebih formal.

Baca juga: Hampir 90 Persen Responden "Kompas" Akan Gunakan Hak Pilih

Keluarga

Dalam struktur masyarakat, keluarga terbentuk dalam perkawinan antara perempuan dan laki-laki. Berikutnya, terbentuk konstruksi sosial yang membagi peran antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi peran yang dilekatkan dengan perempuan sering disederhanakan menjadi urusan rumah tangga.

Merujuk penelitian Julia Suryakusuma yang ditulis dalam buku Ibuisme Negara (2011), domestikasi perempuan mengandung unsur depolitisasi. Artinya, urusan politik diwajarkan lebih menjadi urusan laki-laki ketimbang perempuan. Proses ini, menurut Suryakusuma, mulai dikuatkan sejak era Orde Baru yang bertujuan bukan untuk perempuan, melainkan lebih untuk stabilitas negara.

Konstruksi sosial di atas tecermin dalam hasil survei Kompas. Dipilah berdasarkan jenis kelamin, 72,4 persen responden perempuan mengaku dipengaruhi oleh keluarga dalam menentukan pilihan presiden sementara dan 70,4 persen untuk pilihan partai politik.

Dengan proporsi lebih kecil, 59,3 persen responden laki-laki menyatakan mendapat pengaruh terbesar dari keluarga untuk pilihan presiden serta 54,7 persen untuk pilihan partai politik.

Iklan

Meskipun tak menjadi pengalaman hidup semua perempuan di Indonesia, data di atas dapat dimaknai sebagai cerminan keluarga di Indonesia yang cenderung membagi peran untuk perempuan lebih banyak di rumah dan laki-laki di luar rumah.

Akibatnya, dalam perkara politik, laki-laki yang merasa mendapat pengaruh pilihan politik di luar lingkungan rumah lebih besar proporsinya dibandingkan dengan responden perempuan.

Tiga pasangan capres dan cawapres, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD,  berfoto bersama dalam acara Penguatan Antikorupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (Paku Integritas) di Gedung Juang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (17/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Tiga pasangan capres dan cawapres, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, berfoto bersama dalam acara Penguatan Antikorupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (Paku Integritas) di Gedung Juang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (17/1/2024).

Kendati begitu, jenis kelamin bukan menjadi faktor tunggal yang memengaruhi. Tingkat pendidikan responden turut menentukan lingkaran pergaulan yang memengaruhi pilihan politik.

Kecenderungan yang dapat dicermati, semakin tinggi level pendidikan responden cenderung semakin turun jumlah responden yang menempatkan keluarga sebagai pihak yang paling memengaruhi pilihan politiknya.

Dalam pilihan presiden, 69,4 persen responden berpendidikan dasar mengaku pilihan presiden mereka dipengaruhi keluarga. Angka ini menurun menjadi 61 persen dalam kelompok responden berpendidikan menengah dan 62,5 persen untuk responden berpendidikan tinggi.

Kecenderungan yang mirip juga ditunjukkan untuk pilihan partai politik. Sebanyak 67,8 persen responden berpendidikan dasar mengaku pilihan partai politiknya paling dipengaruhi oleh keluarga.

Angka ini kemudian turun proporsinya menjadi 56,5 persen untuk kelompok responden berpendidikan menengah dan 54,3 persen untuk kelompok responden berpendidikan tinggi.

Meskipun ada kecenderungan menurun dalam tingkat pendidikan yang makin tinggi, keluarga tetap menjadi faktor dominan yang memengaruhi pilihan politik setiap kelompok responden.

Baca juga: Pilihan Satu Keluarga Cenderung Sama, Para Capres Bisa Akomodasi dalam Program

Bernegara

Sebagai unit terkecil dalam struktur sosial, keluarga memberi andil besar terhadap keputusan politik individu. Namun, bukan hanya dalam lingkup mikro, dalam konteks makro, relasi keluarga dan negara tampak menjadi hal yang berkaitan erat pula. Konteks hidup berkeluarga kerap dipakai sebagai cara berpolitik.

Saya Shiraishi dalam bukunya berjudul Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (2001) menjelaskan bagaimana Presiden Soeharto membangun relasi sebagai kepala negara dan menteri-menterinya dengan konstruksi bapak dan anak.

Anak yang dimaksud tidak dalam makna kanak-kanak yang literal mengingat menteri yang merupakan bawahan langsung presiden berusia 50 hingga 60-an tahun.

Istilah kekerabatan bapak dan anak digunakan secara politik demi mengatur bagaimana kekuasaan bekerja. Soeharto memosisikan bawahannya sebagai anak.

https://cdn-assetd.kompas.id/eMaLPeu79egy-3SKNb4Fif5eCII=/1024x935/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F15%2F9be62301-15f5-4e67-9e19-3f2dae752134_png.png

Sebaliknya, menteri-menteri menganggap presiden sebagai bapak. Akibatnya, kekuasaan bekerja memainkan unsur emosional itu dan tidak pantas anak menentang bapaknya. Atas dasar kekerabatan, kolusi dan nepotisme yang dipraktikkan berpotensi dinormalisasi menjadi hal yang wajar.

Pada era sekarang, kerap kali masih terdengar narasi-narasi kekerabatan dan kekeluargaan disematkan tatkala menyebut pejabat-pejabat negara. Mulai dari bapak, ibu, pakde, paman, hingga opung menjadi sebutan yang baik secara eksplisit maupun implisit digunakan.

Kondisi ini membuat relasi bernegara berpotensi akan dilekatkan dengan norma-norma hidup berkeluarga ketimbang unsur yang lebih obyektif. Dalam situasi demikian, sistem yang korup dan kolusi hingga nepotisme yang dipraktikkan berisiko dianggap hal biasa atas dasar kekerabatan dan kekeluargaan.

Besarnya pengaruh keluarga dalam lingkup mikro dan makro membuat dialektika keluarga di Indonesia akan turut menentukan kualitas kehidupan bernegara. Bagaimana keluarga-keluarga menjalani keseharian mereka berpengaruh terhadap kehidupan bernegara. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Survei Litbang ”Kompas”: Satu Keluarga, Satu Pilihan Capres

Editor:
YOHAN WAHYU
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000