Jalan Panjang Menyingkap Kejahatan Genosida Israel terhadap Palestina
Israel, untuk pertama kalinya, menjalani proses pengadilan internasional atas tuduhan genosida yang dilakukan di Gaza.
Israel, untuk pertama kalinya, menjalani proses pengadilan internasional atas tuduhan genosida yang dilakukannya di Gaza. Ini merupakan puncak dari berbagai macam tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialamatkan kepada Israel sejak pertama kali pembentukannya. Dunia mengharapkan keadilan terhadap jutaan warga Palestina tercipta di Den Haag, Belanda.
Konflik Israel-Palestina yang berlangsung saat ini tengah memasuki babak baru. Pada Kamis (11/1/2024), dunia menyaksikan gelaran perdana sidang gugatan Afrika Selatan atas tuduhan genosida yang dilakukan Israel di Gaza. Sidang ini tergolong istimewa karena untuk pertama kalinya Mahkamah Internasional (ICJ) melakukan proses pengadilan atas dugaan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan Israel.
Di dalam gugatan yang dilayangkan sejak 29 Desember 2023 tersebut, Afrika Selatan menuduh Israel telah melanggar Konvensi 1948 atas Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida). Afrika Selatan menilai, tindakan Israel telah memenuhi karakter dari sebuah kejahatan genosida. Karakter yang dimaksud ialah memiliki itikad untuk membawa kehancuran terhadap kelompok warga Palestina di Jalur Gaza.
Mengutip dari dokumen gugatan Afrika Selatan setebal 84 halaman yang tersaji di situs resmi ICJ, terdapat sedikitnya tiga tindakan Israel yang diperkarakan. Tiga tindakan genosida tersebut adalah membunuh warga Palestina di Gaza, menyebabkan penderitaan fisik dan mental yang serius, dan memberikan kondisi kehidupan yang diperkirakan dapat menyebabkan kehancuran fisik bagi mereka. Adapun tindakan-tindakan tersebut secara nyata merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Genosida pasal 2 poin (a), (b), dan (c).
Baca juga: Sidang atas Tuduhan Genosida Israel di Gaza Mulai Bergulir
Afrika Selatan memiliki motivasi kemanusiaan yang begitu kuat dalam mengajukan gugatan tersebut. Ini tampak dari tuntutan utama mereka, yakni meminta pengadilan segera menerapkan tindakan untuk melindungi hak-hak orang Palestina dari kerusakan lebih lanjut yang berat dan tidak dapat diperbaiki. Selain itu, Afrika Selatan juga merasa gugatan ini merupakan pemenuhan kewajiban sebagai negara yang terikat oleh Konvensi Genosida untuk mencegah tindakan genosida.
Alasan kemanusiaan
Alasan kemanusiaan sepertinya merupakan alasan paling tepat dalam memandang gugatan hukum ini. Melansir situs Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), setidaknya 23.357 warga Palestina meregang nyawa akibat serangan Israel per 10 Januari 2023 atau 95 hari sejak meletusnya konflik. Ini berarti sekitar 1 dari 100 warga Palestina tewas sejak 7 Oktober 2023. Di sisi lain, jumlah korban di sisi Israel mencapai 1.200 atau 1 per 10.000 penduduk.
Mirisnya, sekitar 70 persen atau 16.350 korban jiwa rakyat Palestina adalah perempuan dan anak-anak. Serangan udara dan darat yang dilancarkan oleh militer Israel juga telah menghancurkan 6 dari 10 bangunan pemukiman di Gaza. Tak pelak, sedikitnya 85 persen atau 1,9 juta warga Palestina di Gaza harus bersesakan di kamp-kamp pengungsian. Sementara itu, sulitnya akses keluar masuk logistik menyebabkan ancaman kelaparan bagi sedikitnya 2,2 juta warga Palestina di sana.
Deretan korban jiwa, luka, serta seluruh ancaman kehancuran yang membayangi 2,3 juta warga Palestina di Gaza ini menjadi alasan kuat bagi banyak pihak menggugat Israel untuk segera menghentikan agresi militernya. Tuduhan genosida yang dilayangkan Afrika Selatan bisa dikatakan sebagai puncak dari keresahan dunia menyaksikan bencana kemanusiaan yang tak kunjung usai. Bahkan, bukan hanya sekali ini Israel mendapatkan tuduhan kejahatan paling serius yang bisa dilakukan oleh umat manusia tersebut.
Pada 15 Oktober 2023 atau sepekan setelah konflik meletus, Jurnal Third World Approaches to International Law Review (TWAILR) merilis pernyataan publik yang memperingati risiko potensi terjadinya genosida di Gaza. Sedikitnya 800 akademisi dan praktisi hukum internasional menandatangani pernyataan publik tersebut.
Baca juga: Mahkamah Internasional Selidiki Kejahatan Perang dalam Konflik Hamas-Israel
Mereka mengamati, serangan militer Israel di Jalur Gaza memiliki skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan analisis yang mereka lakukan, para cendekiawan dan ahli tersebut melihat bahwa Israel memiliki intensi spesifik (dolus spesialis) untuk memusnahkan warga Palestina. Salah satu indikatornya adalah bahasa retorika yang dipakai oleh politisi dan pejabat militer Israel dinilai kerap tidak menganggap warga Palestina sebagai sesama manusia dan harus dihancurkan.
Pernyataan publik itu lantas semakin dikuatkan oleh PBB pada 16 November 2023. Di dalam pernyataan resminya, seorang staf ahli PBB menyatakan kekerasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina di Gaza telah mengarah pada terciptanya sebuah genosida. Sebelumnya, pada 14 Oktober 2023, Pelapor Khusus PBB, Francesca Albanese, telah menyatakan Israel tengah melakukan pembersihan etnis Palestina di bawah kelambu peperangan.
Gugatan hukum
Gugatan hukum terhadap kejahatan genosida yang dilakukan pemimpin Israel juga telah dilayangkan oleh tiga organisasi hak asasi manusia Palestina kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada 9 November 2023. Ketiga organisasi tersebut adalah Al Haq, Al Mezan Center for Human Rights, dan Palestinian Centre for Human Rights. Adapun kuasa hukum mereka adalah Emmanuel Daoud, pengacara di Paris Bar dan ICC, yang sebelumnya memenangkan tuntutan untuk penerbitan perintah penangkapan Presiden Rusia Vladimir Putin atas tuduhan kejahatan perang di Ukraina.
Ketiga organisasi tersebut, bersama dengan organisasi Aldameer, juga pernah mengajukan tuntutan hukum ke ICC pada 2014. Mengutip laporan dari Centre for Constitutional Rights, mereka menuntut investigasi dan pengadilan atas kejahatan perang dan genosida yang dilakukan Israel pada Operasi Militer Protective Edge di Gaza.
Gerakan itu menuntut Israel atas kejahatan genosida pada saat itu juga dilakukan oleh Russel Tribunal, yakni mahkamah pengadilan yang didirikan oleh Bertrand Russel, filsuf dan pemenang Hadiah Nobel dari Inggris dan sejumlah tokoh terkemuka lainnya. Selain mereka, Presiden Bolivia 2006-2019 Evo Morales tercatat menyatakan bahwa apa yang terjadi di Palestina kala itu adalah genosida dan perlu diinvestigasi.
Baca juga: Bagaimana Proses Sidang Gugatan terhadap Israel sebagai Pelaku Genosida?
Rekam jejak tuduhan internasional terhadap tindakan genosida yang dilakukan oleh Israel rupanya dapat dilacak hingga tahun 1982. Di tahun tersebut, Israel tengah menginvasi Lebanon untuk menghabisi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang bermarkas di negara tersebut. Sebuah tragedi lantas terjadi di kamp pengungsian Sabra dan Shatila pada 16-18 September 1982. Melansir dari BBC dan The Independent, sekitar 800-1.700 orang Palestina dan Lebanon dibunuh oleh kelompok milisi Phalangists yang merupakan sekutu Israel dalam kurun waktu tiga hari itu.
Majelis Umum PBB kemudian menyatakan pembantaian tersebut sebagai sebuah tindakan genosida. Sejumlah pihak melihat Israel memiliki kaitan terhadap pembantaian itu. Sebuah investigasi internasional yang digagas ahli hukum dari Amerika Serikat, Kanada, Prancis, Afrika Selatan, dan Irlandia lantas dilakukan untuk menelisik pelanggaran hukum internasional dari Israel selama invasi ke Lebanon.
Salah satu kesimpulan yang mereka hasilkan adalah pejabat Israel memiliki tanggung jawab hukum yang besar, sebagai penginvasi atas Pembantaian Sabra dan Chatila. Selain itu, mereka juga merekomendasikan pembentukan badan internasional terkait dugaan genosida yang dilakukan Israel terkait kebijakan-kebijakan dan penerapannya terhadap orang Palestina.
Tuntutan, investigasi, hingga pernyataan banyak pihak atas kejahatan genosida Israel sejak puluhan tahun lalu menunjukkan satu hal, negara Zionis tersebut memiliki catatan panjang terkait pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Upaya menyeret Israel untuk mempertanggungjawabkan seluruh aksi militernya dengan melanggar hak-hak dasar kehidupan masyarakat Palestina perlu mendapat perhatian serius bagi institusi hukum internasional guna menghentikan penindasan. Gugatan Afrika Selatan terhadap upaya genosida yang dilakukan Israel terhadap Palestina yang diajukan ke Mahkamah Internasional patut menjadi contoh bagi bangsa lainnya di dunia untuk sama-sama mendukung dan menjunjung tinggi harkat manusia dalam kehidupan ini.
Afrika Selatan telah berani mengambil aksi nyata atas hal tersebut. Seiring dengan itu, mata dunia memandang dengan penuh asa ke Den Haag, supaya keadilan dapat tercipta bagi 2,3 juta warga Palestina di Gaza.
(LITBANG KOMPAS)