Tantangan dan Asa Masyarakat Merengkuh Hutan Adat
Hingga kini masih banyak kelompok masyarakat adat yang belum dapat menikmati salah satu hak paling dasar, yakni pengakuan hutan adat miliknya.
Masyarakat adat kerap dibanggakan sebagai kekayaan tak benda utama Indonesia. Ironisnya, hingga kini masih banyak kelompok masyarakat adat yang belum dapat menikmati salah satu hak paling dasarnya, yakni hutan adat. Keberpihakan pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan.
Bangsa Indonesia lahir dari rahim persatuan ribuan masyarakat adat yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Berdasarkan data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara pada Oktober 2022, terdapat 2.512 komunitas adat dengan total populasi sekitar 18 juta jiwa. Jumlah ini mencakup sekitar 7 persen dari 270 juta penduduk Indonesia berdasarkan sensus tahun 2020.
Namun, meski sudah 78 tahun merdeka, republik ini rupanya belum sepenuhnya memenuhi salah satu hak paling dasar masyarakat adat, yakni hutan adat. Sampai Agustus 2023, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat terdapat potensi hutan adat seluas 20,8 juta hektar. Dari jumlah itu, pemerintah baru menetapkan sekitar 1,2 persen di antaranya atau seluas 244.195 hektar hingga Oktober 2023.
Penetapan hutan adat oleh negara adalah persoalan yang sangat krusial karena sebagian besar masyarakat adat hidup bergantung pada hutan. Secara turun-temurun, komunitas adat bertahan hidup dari kemurahan hasil hutan. Sebagai balas jasanya, masyarakat adat memiliki nilai dan hukum adat yang berfungsi menjaga dan melestarikan ekosistem hutan.
Relasi resiprokal semacam itu kadang begitu kuat, sampai-sampai jati diri sejumlah masyarakat adat begitu melekat kuat dengan eksistensi hutan. Salah satu contoh dapat ditemui dalam komunitas adat Orang Rimba di Jambi atau Tobelo Dalam di Halmahera Utara.
Baca juga: Hutan Adat dalam Sengkarut Izin dan Iklim
Hanya saja, jalinan harmonis itu harus menemui tantangan ketika Kolonial Belanda menguasai bumi Nusantara. Melalui Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria 1870, Pemerintah Belanda menyatakan bahwa semua tanah yang tak memiliki bukti kepemilikan dianggap sebagai milik/domain negara. Prinsip yang lantas dikenal sebagai ”pernyataan domain” (domein verklaring) inilah yang menjadi awal mula perampasan hutan adat dari masyarakat adat.
Ketika merdeka, Republik Indonesia sejatinya secara formal berusaha mengembalikan hutan adat sebagai hak konstitusional masyarakat adat. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B Ayat 2, yang menyebutkan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Ini pun telah dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012, yang menetapkan hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Hambatan birokratis
Namun, pengakuan formal tersebut rupanya tidak serta-merta berbuah pengakuan secara nyata di lapangan. Masyarakat adat masih menghadapi banyak tantangan dalam perjalanan membawa hutan adat kembali ke dalam pengelolaan mereka. Salah satu yang paling mengganjal adalah hambatan birokratis mengenai pengakuan komunitas adat di mata negara.
Hal ini merupakan konsekuensi dari Pasal 67 UU No 41/1999 tentang Kehutanan, yang mengatur bahwa masyarakat adat baru bisa memperoleh hak atas hutan adat setelah diakui oleh negara. Pengakuan bersyarat ini hanya dapat ditempuh melalui pengukuhan sebagai masyarakat hukum adat (MHA) yang ditetapkan oleh produk hukum daerah.
Skema pengakuan komunitas adat sejatinya telah diperjelas dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Selain itu, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial juga telah mengatur bagaimana MHA yang telah diakui dapat mengelola hutan adat.
Baca juga: Jaga Hutan Adat demi Kelestarian Hutan Indonesia
Meski sudah ada koridor hukum yang cukup jelas, pada praktiknya masyarakat adat harus bersusah payah untuk mengurus syarat dan pengajuan permohonan. Hal ini mengakibatkan proses pembuktian dan verifikasi eksistensi masyarakat adat dan hutan adat memerlukan perumusan yang berliku dan berbiaya besar.
Tak hanya itu, perbedaan pemahaman dan kemauan politik antara pemerintah pusat dan daerah kerap makin memperlambat proses ini. Imbasnya, proses pengakuan hutan adat bisa memakan waktu 4-12 tahun (Kompas, 11/12/2023).
Tumpang tindih
Selain persoalan birokrasi yang berlarut, masyarakat adat juga mesti menghadapi ancaman sengketa wilayah dengan pihak lain. Perebutan wilayah ini acapkali disebabkan buruknya pemetaan dan pendataan sosial-antropologis terkait keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat dari pemerintah.
Di lain sisi, wilayah adat hasil pemetaan yang melibatkan masyarakat adat itu juga belum terdokumentasi dengan baik. Dengan demikian, sering terjadi tumpang tindih klaim antara wilayah adat dan kawasan hutan negara, konsesi perusahaan, atau pembangunan proyek infrastruktur.
Berdasarkan data dari BRWA pada 2021, terdapat 3,1 juta hektar wilayah adat yang bertindihan dengan berbagai konsesi. Sebanyak 45,2 persen dari jumlah tersebut merupakan konsesi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam (IUPHHK-HA); 25,4 persen konsesi IUPHHK-hutan tanaman industri (HTI); 17,5 persen merupakan izin pertambangan; dan 11,9 persen sisanya hak guna usaha (HGU).
Persoalan yang melingkupi hutan adat sedemikian kompleks, berlapis, dan lintas sektoral. Penanganan persoalan itu memerlukan upaya kolaboratif antarpihak yang terlibat.
Saling klaim tersebut pada akhirnya kerap menjadi pemicu konflik antara masyarakat adat dan berbagai pihak. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan, setidaknya terdapat 301 kasus perampasan wilayah adat selama kurun waktu 2017-2022. Perampasan terhadap wilayah seluas 8,5 juta hektar itu umumnya meliputi sektor perkebunan, pertambangan, hingga kawasan hutan negara.
Baca juga: Pengelolaan Hutan Adat Menanti Terobosan
Di luar persoalan terkait birokrasi, pemetaan wilayah, dan jaminan keamanan, masyarakat adat juga masih harus menghadapi persoalan pengelolaan hutan adat. Hal ini berkaitan erat dengan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adat sebagai warga negara.
Di dalam buku berjudul Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat, AMAN menjelaskan, terdapat sedikitnya lima dimensi kemiskinan yang jamak dialami komunitas masyarakat adat. Beberapa di antaranya terkait diskriminasi terhadap identitas dan cara hidup masyarakat adat, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan dasar, hingga pergeseran cara bertahan hidup akibat tekanan ekologis.
Keberlanjutan
Tekanan-tekanan tersebut pada akhirnya dapat mengancam keberlanjutan dari masyarakat itu sendiri. Sebab, bukan tidak mungkin generasi muda masyarakat adat lebih memilih untuk mencari penghidupan yang lebih baik di luar komunitas adatnya. Hal ini rupanya mulai terjadi di sejumlah komunitas adat di Nusantara (Kompas.id, 25/8/2023).
Persoalan yang melingkupi hutan adat sedemikian kompleks, berlapis, dan lintas sektoral. Penanganan persoalan itu memerlukan upaya kolaboratif antarpihak yang terlibat. Dari sisi pemerintah, kepastian hukum terkait masyarakat adat perlu segera diwujudkan. Hal ini dapat diwujudkan dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat yang dibahas sejak 2019.
Baca juga: Di Tangan Milenial, Kami Wariskan Hutan Adat
Setelah itu, baik pemerintah pusat maupun daerah perlu mengubah arah kebijakan supaya lebih berpihak kepada masyarakat adat. Upaya keberpihakan ini sejatinya mulai tampak di tataran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yakni dengan terobosan terkait wilayah adat, wilayah indikatif, dan tim yang memadukan kerja masyarakat hukum adat. Terobosan semacam ini dapat mempercepat proses dan meringankan keterbatasan anggaran pengakuan hutan adat (Kompas.id, 10/12/2023).
Hal lainnya lagi yang dapat dilakukan guna melestarikan hutan adat beserta komunitasnya adalah memberikan pembelajaran bagi generasi muda tentang nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh masyarakat adat. Langkah ini dapat ditempuh melalui pendirian sekolah adat di sejumlah kelompok masyarakat adat.
Hingga September 2023, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat ada 123 sekolah adat di Indonesia. Sekolah-sekolah adat ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi pemuda adat dalam mempelajari identitas adat dan memadukan pengetahuan modern untuk menjaga hutan adat.
Semua gerakan positif itu diharapkan dapat membantu masyarakat adat kembali merengkuh hutan adat ke dalam pelukan mereka. Bagaimanapun, penjaga terbaik hutan adat adalah masyarakat adat itu sendiri. Dengan demikian, masyarakat akan terus sejahtera dan lingkungan hutan lestari. (LITBANG KOMPAS)