Jalan Panjang Sejahterakan Warga dan Lestarikan Alam
Pengakuan hutan adat harus jadi prioritas pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Oleh
YOESEP BUDIANTO
·3 menit baca
Sejak 2016, pemerintah menetapkan 240.000 hektar hutan sebagai kawasan hutan adat. Luasan ini jauh dari target 1 juta hektar. Akselerasi perluasan hutan adat itu krusial mengingat nilai pentingnya sebagai ruang hidup dan sumber penghidupan bagi masyarakat setempat.
Hampir 63 persen wilayah Indonesia berupa kawasan hutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, muncul skema perhutanan sosial sebagai hutan adat. Keberadaannya diprioritaskan bagi penyediaan ruang hidup komunitas lokal.
Hingga Oktober 2023 ada 131 surat keputusan (SK) pengakuan hutan adat dengan luasan mencapai 244.195 hektar. Tiga provinsi dengan jumlah surat keputusan terbanyak ialah Jambi (29 surat), Kalimantan Barat (20 surat), dan Kalimantan Tengah (16 surat). Secara nasional, ada 76.079 keluarga yang diakui sebagai masyarakat hukum adat, berikut wilayah adat mereka. Sepanjang tujuh tahun terakhir hanya 22,4 persen dari data dan potensi hutan adat yang ditetapkan sebagai peta hutan adat dan wilayah hutan adat.
Banyak kawasan hutan adat yang masih membutuhkan proses panjang untuk mendapat pengakuan dari negara. Hal itu mengindikasikan kurangnya komitmen pemerintah dalam memenuhi hak-hak ulayat masyarakat hukum adat. Publik pun menganggap pemerintah kurang serius untuk mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hutan adatnya.
Kenyataan itu tecermin dalam hasil jajak pendapat Kompas pada 20-23 November 2023. Sebanyak 67,8 persen responden menilai pemerintah sudah mengakui identitas, hak, dan keberadaan masyarakat hukum adat, tetapi belum secara utuh wujud pengakuan itu. Artinya, ada sejumlah aspek pengakuan yang belum dipenuhi, seperti sertifikat pengakuan yang prosesnya rumit dan masih adanya perampasan hutan secara sepihak di kawasan tempat tinggal suatu komunitas adat.
Dari sejumlah hak masyarakat hukum adat, pengakuan terhadap hutan adat menjadi salah satu yang terpenting. Enam dari sepuluh responden berpendapat, pengakuan oleh pemerintah bernilai sangat penting bagi keberlanjutan hidup komunitas adat. Kawasan tersebut menjadi ruang hidup dan penghidupan masyarakat karena meliputi tanah, laut, dan sumber daya alam lain; sebagai kesatuan nilai ekonomi, keagamaan, serta ikatan sosial-budaya.
Nilai penting
Pengakuan hutan adat perlu diprioritaskan oleh pemerintah. Itu jalan terbaik untuk menjaga kelestarian lingkungan kawasan hutan. Sebanyak 70,8 persen responden meyakini hutan akan tetap lestari apabila pengelolaannya diberikan kepada masyarakat adat. Ratusan tahun mereka hidup berdampingan dengan hutan.
Status hutan adat bersifat mutlak dan tidak memiliki celah untuk diubah statusnya. Dalam Pasal 94 Peraturan Menteri LHK No 9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, pemegang penetapan hutan adat dilarang untuk mengubah status dan fungsi hutan adat. Artinya, semua kawasan yang telah ditetapkan sebagai hutan adat aman dari risiko konflik agraria akibat konsesi lahan dengan perusahaan perkebunan sawit ataupun pertambangan.
Dengan diberikan hak pengakuan hutan adat, hutan diyakini akan tetap lestari. Hal ini sejalan dengan fungsi utama hutan adat yang bertujuan sebagai wahana konservasi dan lindung untuk memenuhi kehidupan tradisional masyarakat hukum adat. Persepsi melindungi hutan ini sejalan dengan persepsi publik. Sebanyak 53,5 persen responden melihat hutan adat sebagai bagian dari kawasan lindung.
Hutan adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat hukum adat. Hutan layaknya lumbung kesejahteraan bagi mereka karena menjadi sumber makanan, obat, dan ekonomi masyarakat. Sebanyak 33,8 persen responden juga berpendapat bahwa hutan adat adalah sumber kehidupan dan simbol kedaulatan serta identitas masyarakat adat.
Hambatan terbesar
Sayangnya, dalam proses pengakuan hutan adat itu terdapat sejumlah hambatan besar yang merintangi. Hambatan pertama, rendahnya dukungan pemerintah daerah terhadap penetapan hutan adat. Hal ini terlihat dari minimnya kebijakan yang terkait dengan hutan adat. Padahal, salah satu ketentuan utama penetapan hutan adat adalah regulasi daerah (peraturan daerah, SK kepala daerah) terkait dengan hutan, tata cara pengakuan masyarakat adat, hingga area kawasan hutan adat.
Di level nasional, hambatan jauh lebih besar muncul saat Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat tak kunjung disahkan meski sudah dibahas sejak 2019. Padahal, aturan tersebut adalah modal kuat harmonisasi kehidupan masyarakat hukum adat, termasuk meminimalkan berbagai konflik di daerah. Tak hanya itu, pengakuan status masyarakat hukum adat di daerah juga dapat lebih cepat diperoleh untuk kemudian dijadikan syarat utama dalam pengajuan hutan adat.
Melihat betapa panjangnya proses pengakuan hutan adat dan kuatnya tekanan eksternal dalam mengalihfungsikan lahan hutan untuk kegiatan ekonomi lainnya, sudah sepatutnya pemerintah memprioritaskan kelestarian hutan adat di Indonesia. Semakin banyak hutan adat yang terlindungi, kesejahteraan masyarakat akan meningkat dan alam pun akan terjaga kelestariannya. (LITBANG KOMPAS)