Bagaimana Keluarga Jawa Membesarkan Anaknya?
Dalam membesarkan anak, tradisi Jawa memiliki tradisi tersendiri, khususnya dalam rangka membangun hubungan antara anak dan orangtua.
Dewasa ini berkembang teori-teori terkini dalam parenting atau bagaimana orangtua mengasuh dan mendidik anaknya. Namun, dalam setiap kebudayaan, termasuk budaya Jawa, sejatinya telah terbentuk tradisi pola relasi dan pertalian sosial antara anak dan orangtuanya.
Peran orangtua dalam mengasuh anak menjadi semakin krusial si tengah arus perubahan zaman yang begitu deras. Pola pengasuhan orangtua terhadap anaknya mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan konteks zaman.
Namun, apabila ditarik ke belakang, menarik untuk mengamati bagaimana dalam setiap kebudayaan berkembang tradisi pengasuhan anak.
Sementara orang mungkin melihat bahwa pola pengasuhan anak yang menyesuaikan tradisi sudah ketinggalan zaman. Namun, alih-alih menolak secara tegas, bagaimana tradisi membesarkan anak layak untuk diambil sari pati semangat di baliknya.
Sebab, dalam setiap kebudayaan, bagaimana membesarkan anak sejak masih bayi menyiratkan peran orangtua yang menyeluruh untuk mengawal perkembangan anak, baik dari sisi psikis maupun jasmani.
Baca juga: Peran Orangtua dalam Pengasuhan Tak Tergantikan
Keluarga Jawa
Salah satu karya etnografi yang menarik dalam mendeksripsikan secara mendalam bagaimana pola orang Jawa dalam mengasuh anaknya adalah keluarga Jawa yang ditulis oleh antropolog kenamaan, Hildred Geertz.
Dalam salah satu bagian buku ini, dituliskan secara rinci persoalan mengasuh dan melatih bayi yang dilakukan dalam tradisi Jawa sebagai hasil penelitiannya dalam kurun waktu 1953-1954 di kota kecil bernama Pare.
Bagi orang Jawa dan mungkin juga sebagian besar kebudayaan, bayi yang baru lahir diyakini sangat rentan, baik secara fisik maupun mental. Maka, menjadi penting untuk memastikan bayi yang baru lahir tidak mengalami pergantian situasi yang ekstrem di sekitarnya.
Kejutan-kejutan yang mendadak di sekeliling dapat membahayakan kondisi bayi. Umumnya ada gejala sakit yang akan dialami oleh bayi atau bahkan paling parah kematian dalam perubahan situasi yang mendadak.
Menjadi sangat penting bagi keluarga Jawa untuk memastikan bahwa bayi ditangani dan dirawat secara ikhlas, santai, lembut, dan tidak emosional. Bayi yang merasa nyaman akan bisa tidur dengan nyenyak.
Hal ini seakan menjadi indikator bahwa bayi sedang berada dalam situasi yang semestinya. Namun, saat tertidur dan tidak berada di pangkuan orangtuanya, seorang bayi harus dipastikan dikelilingi bantal dan guling agar tidak tergulir dari tempat tidurnya sewaktu-waktu ia mengubah posisi.
Cara yang lain untuk memberikan kenyamanan dan kehangatan bagi seorang bayi yang baru saja lahir adalah dengan membedong. Caranya yaitu dengan ”membungkus” bayi menggunakan lilitan kain-kain yang lembut. Tujuannya demi mempertahankan semaksimal mungkin agar bayi tidak banyak berubah posisi saat tidur.
Dengan situasi yang masih sangat rentan, maka hampir seluruh waktu bayi akan menempel dengan orangtuanya, terutama ibu. Namun, di sisi lain, ibu bayi pun harus mengerjakan aktivitas sehari-hari.
Untuk itu, sambil bekerja, ibu akan menggendong bayi menggunakan selendang yang dipakai secara menyilang. Satu sisi di pundaknya, sisi yang lain turun menyilang di pinggul.
Selendang di sisi pinggul inilah yang dijadikan sebagai tempat bayi berlindung. Selain bisa nyaman dijadikan tempat bernaung, posisi ini juga memudahkan sang ibu untuk memberikan air susunya kepada bayinya sewaktu-waktu dibutuhkan.
Selain mendapat asupan dari ASI, setelah berusia lebih kurang enam bulan, bayi akan diperkenalkan dengan makanan tambahan. Geertz mencatat, tradisi keluarga Jawa memberikan makanan tambahan berupa nasi yang dimasak sangat lunak (bubur) yang dicampur dengan adonan pisang yang lembut.
Menariknya, Geertz mencatat bahwa dalam proses menyuapi bayi, ibu atau bapak si bayi akan menyuapinya dengan cara yang lembut. Bahkan, ketika bayi menolak, orangtua tidak akan melakukan pemaksaan.
Jika bayi menolak, orangtua hanya akan membersihkan makanan lunak yang belepotan di sekitar mulut bayi tersebut. Geertz menekankan bahwa secara simbolik prinsip yang dipegang oleh orang Jawa adalah kesukarelaan dan kelembutan orangtua dalam menangani bayi.
Baca juga: Mengembalikan Pengasuhan Anak ke Tangan Keluarga
Menyapih
Setelah anak menginjak usia sekitar 18 bulan, sejumlah ibu akan mulai menyapih atau menghentikan pemberian ASI. Proses ini menjadi saat yang menantang, baik bagi sang ibu maupun anaknya. Namun, kecenderungan yang dicatat oleh Geertz, proses ini juga tergantung dari aktivitas ibu.
Apabila ibu dituntut untuk banyak beraktivitas di luar rumah, proses penyapihan rata-rata akan berjalan dengan waktu yang relatif cepat dan lebih awal. Namun, bagi mereka yang memiliki cukup waktu untuk tinggal di rumah, maka butuh waktu yang relatif lebih lama bagi seorang ibu untuk ”tega” menghentikan pemberian ASI kepada anaknya.
Hal yang menarik adalah, baik untuk ibu yang bekerja di luar maupun tetap di rumah, proses menyapih tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Untuk itu, ada yang memilih memperbanyak memberikan asupan makanan lain di siang hari dan waktu untuk memberikan ASI hanya dilakukan pada saat malam hari. Setelah itu, berangsur ASI tidak lagi diberikan.
Ada juga ibu yang sesekali mengoleskan sesuatu yang pahit, misal jejamuan atau daun pepaya, pada puting susu untuk memberitahukan ke anaknya bahwa air susunya telah menjadi pahit.
Namun, apa pun cara yang dipilih oleh seorang ibu, proses ini tidak boleh menyebabkan bayi kaget secara tiba-tiba. Jika pemaksaan dilakukan, orang Jawa percaya hal ini bisa memberikan efek buruk terhadap kesehatan sang bayi.
Proses yang lembut dan dilakukan secara berangsur-angsur juga dilakukan dalam transisi ketika anak-anak mulai menjajal makanan yang lebih padat.
Pertama-tama pengenalan dilakukan dengan mengganti bubur lunak menjadi nasi yang merupakan makanan pokok orang Jawa. Setelah itu, anak-anak akan mulai makan menu yang sama seperti yang dimakan oleh anggota keluarga lain di dalam rumah.
Baca juga: ”Sharenting” Mengubah Pola Pengasuhan Anak
Kesopanan
Selain memperhatikan perkembangan fisik bayi, kesadaran masyarakat sebagai makhluk sosial juga sudah mulai ditanamkan sedari kecil. Hal ini tampak dalam adat kesopanan yang mulai ditanamkan.
Geertz mencatat hal ini baik dilakukan dalam tingkah laku dan dalam tutur kata. Dalam ranah tingkah laku, hal yang paling menonjol adalah menerima atau memberi sesuatu dari atau untuk orang lain dengan tangan kanan.
Sementara dalam soal tutur kata, sejak dini orangtua akan mengajarkan bahasa Jawa krama atau halus saat berbicara dengan orang lain. Apabila sang anak belum lancar berbicara, orangtuanya yang akan menjawabkan pertanyaan orang lain dengan bahasa Jawa halus.
Berikutnya, proses pendampingan secara penuh, pada waktunya akan berkurang, terutama ketika seorang anak menginjak usia lima atau enam tahun.
Pada usia ini biasanya orangtua akan mulai membiarkan anak bermain sendiri bersama dengan teman-temannya di luar rumah. Pada tahap ini pula, Clifford Geertz, suami Hildred Geertz, mencatat, proses petualangan besar seorang anak untuk ”menjadi Jawa” akan dimulai.
Akhirnya, tanpa memperdebatkan bagaimana bentuk konkretnya, semangat keluarga Jawa dalam membesarkan anaknya tampak menjadi relevan untuk diterapkan, bahkan di masa kini. Prinsip ”rasa” yang diterjemahkan menjadi kehalusan, keikhlasan, dan kelembutan dalam membesarkan anak niscaya tidak lekang oleh waktu.
Lebih lagi, dengan berkembang pesatnya teknologi dan informasi, sisi pengetahuan anak yang lahir sebagai generasi berikutnya tampak sudah akan terpenuhi kebutuhannya.
Namun, hal ini malah menjadi peran orangtua makin relevan dalam mendampingi dan membesarkan anaknya secara reflektif. Di tengah arus dunia yang membua keran sebesar-besarnya terhadap nafsu dan keinginan, menjadi sangat dibutuhkan kehadiran orangtua yang membesarkan anaknya dengan pendidikan ”rasa”. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Orangtua yang Baikkah Saya?