Mengembalikan Pengasuhan Anak ke Tangan Keluarga
Keluarga seyogianya menjadi pengasuh ketika seorang anak tidak memungkinkan berada dalam asuhan orangtua kandung. Pengasuhan di panti menjadi opsi paling akhir dan hanya bersifat sementara, bukan permanen.
Situasi yang mendesak membuat ribuan anak harus menghabiskan masa kecil di panti asuhan. Alih-alih mendapatkan pengasuhan yang layak, sebagian di antara mereka justru kerap kali menjadi korban kekerasan hingga pelecehan seksual. Mengembalikan pengasuhan anak ke tangan keluarga pun kini santer disuarakan demi menyelamatkan masa depan anak.
Orangtua atau keluarga sejatinya menjadi tempat paling ideal untuk tumbuh kembang anak. Namun, fakta menunjukkan tidak semua anak berada dalam pengasuhan keluarga kandungnya. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tahun 2019 yang dihimpun oleh Kementerian Sosial menunjukkan, sebanyak 106.406 anak tinggal di lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) atau panti asuhan. Mereka terbagi ke dalam 4.864 panti asuhan yang ada di Indonesia.
Pada 2020, Kementerian Sosial menyebutkan, masih ada 102.482 anak yang tinggal di 3.575 panti asuhan. Lebih dari separuhnya berada di delapan provinsi. Merujuk data Survei Potensi Desa (Podes) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, panti asuhan terbanyak berada di Pulau Jawa, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Sebagian besar panti asuhan di Indonesia adalah milik swasta. Biasanya berada di bawah naungan yayasan, lembaga keagamaan, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ada pula yang pendanaannya didukung oleh bantuan internasional.
Hal tersebut cukup berbeda dengan sejumlah negara di kawasan ASEAN. Tak hanya dari LSM, pemerintah di Kamboja, Malaysia, Filipina, dan Thailand turut hadir menyediakan panti asuhan. Pemerintah pun turut serta dalam pendanaan penyelenggaraan panti asuhan terkait. Bahkan, Lembaga keagamaan turut berperan besar dalam menghadirkan panti asuhan, seperti di Myanmar dan Timor Leste.
Baca Juga: Sengkarut Kehidupan Anak Panti Asuhan
Beragam faktor melatarbelakangi keberadaan ribuan anak di panti asuhan. Idealnya, panti asuhan menjadi tempat untuk mengasuh anak yatim, yatim piatu, atau anak telantar saja. Namun, tidak sedikit juga anak-anak yang masih memiliki orangtua lengkap, tetapi tinggal di panti asuhan. Kondisi ekonomi keluarga yang berkekurangan menjadi salah satunya alasannya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2017 telah dijelaskan bahwa keluarga sedarah atau orangtua asuhlah yang seyogianya menjadi pengasuh manakala kondisi seorang anak tidak memungkinkan tinggal dalam asuhan orangtua kandung. Pengasuhan anak di dalam panti asuhan seharusnya menjadi opsi paling akhir dan hanya bersifat sementara, bukan permanen.
Kekerasan
Kendati berupaya memberikan layanan pengasuhan kepada anak-anak yang ada di dalamnya, keberadaan panti asuhan tetap tidak dapat menggantikan peran keluarga. Pengalaman sebagai anggota keluarga secara utuh dengan adanya ayah, ibu, dan saudara kandung tidak bisa didapatkan. Bahkan, sejumlah penelitian menemukan bahwa pada praktiknya panti asuhan justru hanya menyediakan akses pendidikan kepada anak.
Oleh karena itu, tumbuh kembang anak pun menjadi terbatas. Tak hanya fisik, perkembangan psikologis dan emosional anak pun cenderung tidak optimal. Padahal, LKSA seharusnya mampu memberikan pelayanan pengganti orangtua dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental, serta sosial sebagai alternatif terakhir pengasuhan anak.
Bahkan, tidak sedikit pula anak-anak di panti asuhan yang justru menjadi korban tindak kekerasan. Masih lekat dalam ingatan seorang bayi berumur 18 bulan di sebuah panti asuhan di Pekanbaru meninggal secara misterius pada 2017.
Bayi itu meninggal dengan kondisi memar di sekujur tubuhnya akibat pukulan benda tumpul. Akhirnya, seorang perempuan paruh baya pemilik panti asuhan tersebut ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak kekerasan itu. Diketahui bahwa izin panti asuhan tersebut telah dicabut pada 2011 sehingga statusnya adalah ilegal saat kasus itu ditemukan.
Satu tahun berselang, kasus perdagangan manusia terjadi di sebuah lokasi berkedok panti asuhan di Nusa Tenggara Timur. Pelaku membujuk orangtua korban agar memasukkan anaknya ke panti asuhan. Namun, pelaku justru menyelundupkan anak-anak tersebut menjadi tenaga kerja (TKI) di Malaysia. Belum lagi kasus pencabulan anak panti di Cihampelas, Bandung, Jawa Barat. Diduga para pengurus panti asuhan telah mencabuli tiga anak panti yang masih di bawah umur.
Sejumlah kejadian tersebut rupanya baru segelintir dari banyaknya kasus kekerasan yang pernah terjadi di panti asuhan. Pasalnya, hingga saat ini kasus-kasus serupa masih sering ditemukan. Bukan tidak mungkin, masih lebih banyak lagi kasus yang belum terungkap.
Baca Juga: Mereka Menaruh Asa untuk Masa Depan di Panti Asuhan
Fakta tersebut pun pada akhirnya menuntut peran nyata pemerintah dalam penyelenggaraan panti asuhan di Indonesia. Berbeda dengan sejumlah negara di ASEAN ketika negara turut hadir dalam penyediaan panti asuhan, pemerintah di Indonesia lebih banyak berperan dalam pemberian izin pendirian panti asuhan. Terutama di bawah otoritas dinas sosial di masing-masing provinsi.
Meski demikian, Kemensos dan dinas sosial daerah sebagai Lembaga yang berkewajiban melaksanakan urusan pemerintahan di bidang sosial semestinya turut serta melakukan pengawasan operasional panti asuhan. Itu bertujuan agar kasus-kasus kekerasan tidak terjadi di panti asuhan yang seharusnya menjadi tempat pengasuhan anak.
Dampak buruk
Tak hanya di Indonesia, kasus-kasus serupa juga ditemukan di negara lain. Langkah tegas pun diambil sebagai respons atas keberadaan panti asuhan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Salah satunya di Uni Eropa yang tengah menjalankan kampanye deinstitusionalisasi. Sebuah agenda untuk mencegah anak-anak tinggal di institusi pengasuhan anak dan memindahkan anak-anak yang sudah telanjur tinggal di panti asuhan. Kampanye tersebut diikuti oleh 16 negara di Uni Eropa di antaranya Austria, Belgia, Yunani, Spanyol, dan Ukraina.
Salah satu hal yang melatarbelakangi kampanye tersebut adalah sebagian besar panti asuhan tidak dilengkapi dengan perawatan yang berfokus pada kebutuhan individu anak. Panti asuhan dinilai tidak dapat memberikan cinta dan perhatian yang utuh kepada anak secara personal, atau satu per satu. Padahal, dukungan emosional sangat penting untuk perkembangan anak. Sementara itu, sistem pengasuhan di panti asuhan pada umumnya bersifat komunal.
Sejumlah penelitian menemukan adanya perubahan struktural dan fungsional pada otak anak-anak yang tinggal di lingkungan panti asuhan. Akibatnya, perkembangan fisik, kognitif, dan emosional anak terbatas atau bahkan mengalami kerusakan.
Kedua, sebagian besar anak masuk panti asuhan bukan karena yatim piatu, melainkan karena orangtua terjebak dalam kemiskinan. Akibatnya, anak tidak bisa mengakses kebutuhan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan. Data global menyebutkan, delapan dari 10 anak panti asuhan masih memiliki setidaknya satu orangtua.
Hal lain yang melatarbelakangi kampanye tersebut adalah terpisahnya anak yang tinggal di panti asuhan dari lingkungan sosial. Institusionalisasi anak atau menempatkan anak di panti asuhan juga dirasa merugikan dan membahayakan tumbuh kembang anak dalam jangka panjang.
Langkah Asia
Upaya-upaya deinstitusionalisasi juga tengah dilakukan di Asia dengan mencegah pemisahan keluarga, reintegrasi keluarga, dan membentuk pengasuhan alternatif. Salah satu upaya yang tengah ditempuh adalah memperkuat regulasi dan kerangka hukum menuju deinstitusionalisasi.
Pengakuan bahwa keluarga adalah lingkungan yang paling ideal untuk tumbuh kembang anak kembali ditegaskan. Dilakukan juga peningkatan akses ke layanan sosial dasar dan perlindungan sosial untuk anak-anak dan keluarga yang rentan. Sistem perlindungan anak pun diperkuat.
Pada 2010, Indonesia dengan didukung oleh Save the Children mendirikan Pusat Dukungan Anak dan Keluarga (PDAK) untuk mempromosikan pengasuhan berbasis keluarga. Dilakukan juga perbaikan kerangka kerja hukum dan kebijakan yang turut mengatur peran pemerintah dalam memastikan pengasuhan anak yang memadai. Pemerintah juga mengesahkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 30 Tahun 2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak untuk LKSA.
Baca Juga: Panti Asuhan, Tumpuan Anak-anak Miskin
Hal serupa juga juga dilakukan sejumlah negara Asia lainnya. Misalnya saja, Pemerintah Kamboja melarang anak usia di bawah 3 tahun tinggal di panti asuhan. Bahkan, sejak tahun 2016 , tidak ada anak yang boleh diterima lembaga yang dikelola LSM tanpa otoritas resmi dari Kementerian Sosial, Rehabilitasi Veteran, dan Pemuda Kamboja.
Fokus pada pembenahan LSM juga dilakukan oleh Nepal. Pemerintah negara ini membangun komunitas-komunitas yang memberikan bantuan dan bimbingan kepada LSM yang menaungi pengasuhan anak. Pemerintah setempat juga membentuk organisasi berbasis agama untuk menghentikan penempatan anak di panti asuhan.
Langkah perlindungan anak tersebut juga diterapkan di Filipina dan Bangladesh. Hanya saja, kedua negara ini berupaya mengimplementasikan program pengasuhannya dengan memberikan bantuan langsung kepada keluarga miskin agar mampu memberikan pengasuhan yang layak dan efektif kepada anak.
Upaya-upaya perlindungan di sejumlah negara tersebut menunjukkan bahwa membangun kualitas generasi penerus adalah langkah yang sangat penting untuk dilakukan demi membangun sebuah peradaban. Keberlangsungan hidup sejak dini akan menentukan kualitas mereka di masa mendatang. Keluarga berperan penting untuk menjadi lembaga yang paling ideal memberikan pengasuhan kepada anak.
Negara pun wajib hadir untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan anak dalam keluarga agar anak-anak tidak perlu menghabiskan masa kecilnya di panti asuhan. Apabila sejumlah pengasuhan di panti masih berjalan hingga kini, diperlukan pengawasan yang ketat oleh pemerintah. Hal ini mutlak diperlukan agar tindak kekerasan yang merusak dan bahkan mengubur masa depan anak-anak yang tinggal di dalamnya tidak terulang kembali. (LITBANG KOMPAS)