Peta Politik NTT, Di Antara Tarikan Politik Nasional dan Lokal
Pada Pemilu 2019 di NTT, Nasdem menjadi pemenang. Apakah partai ini mampu bertahan pada Pemilu 2024?
Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang selama pemilu pasca-reformasi mendominasi suara pemilih Nusa Tenggara Timur (NTT), harus menerima fakta bahwa posisinya tergeser oleh Partai Nasdem pada Pemilu 2019.
Nasdem menang di provinsi ini dengan meraup 19,8 persen suara. PDI-P berada di posisi kedua dengan 17,5 persen suara, sementara Golkar di peringkat ketiga dengan 14,2 persen suara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Nasdem menguasai sembilan kabupaten/kota di NTT sekaligus mengurangi dominasi Golkar yang selama empat pemilu (1999-2014) selalu menjadi pemenang. Pada Pemilu 2019, Golkar hanya memenangkan lima kabupaten/kota. Bahkan, tiga daerah yang selalu menjadi basis Golkar (Sumba Timur, Timor Tengah Utara, dan Alor) berhasil diambil alih Nasdem.
Nasdem juga unggul atas capaian PDI-P yang menguasai tujuh kabupaten/kota pada Pemilu 2019. Wilayah yang dimenangkan PDI-P ialah Kabupaten Belu, Flores Timur, Sikka, Ngada, Sumba Tengah, Nagekeo, dan Kota Kupang.
Munculnya Nasdem dalam peta politik di provinsi ini cukup fenomenal. Mengikuti pemilu pertama pada 2014, Nasdem berhasil merebut dukungan suara warga NTT dan berada pada peringkat empat dengan perolehan 11,5 persen suara.
Posisinya di bawah Golkar, PDI-P, dan Demokrat. Saat itu, Nasdem berhasil memenangkan dua wilayah, yaitu Kabupaten Sumba Tengah dan Kupang.
Munculnya Nasdem membuat konstelasi politik di NTT mengalami perubahan dibandingkan dengan tiga pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 1999, Golkar dan PDI-P berbagi kemenangan di 13 kabupaten. Golkar menang di enam kabupaten, sedangkan PDI-P mendulang suara lebih banyak, yaitu di tujuh kabupaten/kota.
Penguasaan Golkar meningkat menjadi 14 dari 16 kabupaten/kota pada Pemilu 2004. Namun berbeda dengan Golkar, penurunan justru dialami PDI-P yang hanya menguasai dua wilayah yaitu Sumba Barat dan Manggarai Barat.
Dominasi Golkar dan PDI-P menurun pada Pemilu 2009 seiring mencuatnya Partai Demokrat. Kemenangan Golkar menurun menjadi 11 dari 20 wilayah. Sementara kemenangan PDI-P hanya menyisakan kekuatan di wilayah Belu.
Sedangkan Demokrat berhasil menguasai tujuh wilayah, terutama di wilayah barat Pulau Flores (Kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai) dan di Pulau Sumba Timur, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat. Demokrat juga berhasil menguasai Kota Kupang.
Konstelasi politik NTT kembali menunjukkan dinamika pada Pemilu 2014. Makin menguatnya mesin politik PDI-P pada 2014, turut mengubah peta penguasaan wilayah di NTT. Dari 21 kabupaten/kota, partai berlambang kepala banteng moncong putih ini menang di tujuh wilayah.
Penguasaan Golkar semakin menurun menjadi empat wilayah, sisanya dimenangi Partai Demokrat (3 wilayah), Nasdem (2 wilayah), dan Partai Amanat Nasional (2 wilayah).
Baca juga : Bandul Keseimbangan Baru Politik
Politik nasional
Meski mengalami dinamika politik, corak pemenang pemilu di NTT pasca-reformasi dominan dimenangkan partai-partai berhaluan nasionalis. Dalam urutan tiga teratas di lima pemilu terakhir, dominan dimenangkan partai-partai nasionalis.
Hal ini tidak terlepas dari sejarah kepartaian di NTT. Catatan Pemilu 1955 pernah menjadi basis partai-partai Katolik dan Kristen Protestan. Penduduk di wilayah yang terletak di Pulau Flores dan sekitarnya, yang lebih mencerminkan pengaruh agama Katolik mengarahkan pilihan politik kepada Partai Katolik serta PDI-P pada awal reformasi.
Hal berbeda dengan kawasan selatan di Pulau Timor dan Sumba yang cenderung kuat pengaruh agama Kristen Protestan dan menjadi basis Partai Kristen Indonesia dan Golkar pada awal era reformasi (Kompas, 18/6/2009).
Hal lain yang menarik dari dinamika politik di NTT ialah keterkaitan politik lokal dengan konteks politik nasional. Munculnya Demokrat di tengah dominasi Golkar pada Pemilu 2009 tidak terlepas dari kemenangan partai ini di tingkat nasional dengan ketokohan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Demikian pula dengan menguatnya mesin politik PDI-P pada Pemilu 2014 yang berhasil menempatkan Joko Widodo sebagai presiden.
Hal sebaliknya terjadi pada Golkar. Turunnya suara Golkar di provinsi ini salah satunya merupakan imbas dari persoalan yang dialami partai ini. Pada 2015 Golkar dilanda kisruh dualisme kepemimpinan yang berimbas pada kisruh internal dan melemahkan mesin politik di daerah.
Pada Munaslub Golkar 2016, Setya Novanto terpilih menjadi ketua umum Golkar secara aklamasi sebagai bentuk solusi penyelesaian dualisme kepengurusan. Hanya saja, Golkar kembali mengalami gejolak setelah Ketua Umum Golkar Setya Novanto terjerat dugaan kasus korupsi proyek KTP elektronik.
Setya Novanto sendiri merupakan anggota DPR-RI fraksi Golkar dari Daerah Pemilihan NTT I. Ia adalah wakil masyarakat Nusa Tenggara Timur yang duduk di kursi DPR RI. Kasus-kasus yang menjeratnya sedikit banyak memengaruhi suara Golkar di NTT.
Seperti yang diberitakan Kompas, perwakilan kaum muda dan tokoh masyarakat NTT dari daerah pemilihan Setya menyatakan mencabut mandat perwakilan yang telah diberikan padanya pada Pemilu 2014 (Kompas, 19/11/2017).
Fenomena menarik lainnya ialah naiknya Nasdem. Dalam strateginya, Nasdem mengandalkan ketokohan pemimpin partai dan para kader yang bernaung di dalamnya. Di tingkat nasional, Surya Paloh sebagai ketua umum merupakan sosok yang menjadi daya tarik bagi pendukung Nasdem. Demikian pula dengan pengurus lain, seperti Sekretaris Jenderal Nasdem Johnny G Plate.
Johnny Plate merupakan anggota DPR-RI periode 2014-2019. Pada Pemilu 2019, Johnny terpilih kembali untuk periode 2019-2024 mewakili daerah pemilihan NTT 1 yang meliputi Pulau Flores, Lembata dan Alor. Johnny kemudian diangkat sebagai Menkominfo dalam pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Selain Johnny Plate, di tingkatan lokal, ada peran tokoh Viktor Laiskodat, yang pernah menjadi anggota DPR RI periode 2014-2019. Viktor kemudian terpilih sebagai Gubernur NTT pada Pilkada 2018.
Namun ketokohan Nasdem ini akan diuji pada Pemilu 2024 mendatang. Hal ini tidak terlepas dari kasus yang dialami sejumlah tokoh Nasdem di tingkat nasional. Mantan Menkominfo Johnny Plate terjerat dugaan kasus korupsi menara BTS. Kemudian pada 11 Oktober 2023, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo juga terjerat dugaan kasus korupsi yang ditangani KPK.
Baca juga : Penguasaan Partai Nasionalis Kian Terpencar
Dinamika politik lokal
Selain pengaruh politik nasional, peran kultur patronase yang kental di tingkat lokal memainkan peranan penting. Karakter pemilih NTT cenderung melihat ketokohan. Tokoh politik NTT ini pada akhirnya memanfaatkan segala sumber daya, baik dari segi materi maupun sosial untuk meraih suara.
Rido Rohi (2015) dalam tulisannya, Nusa Tenggara Timur: Politik Patronase, Klientalisme dan Pembajakan Kepercayaan Sosial menyebutkan, patronase dan klientalisme politik tumbuh sumber pada pemilu di NTT.
Patronase dan klientalisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan praktik mendistribusikan uang, barang, dan jasa kepada konstituen atau membuat janji untuk melakukannya dengan imbalan dukungan politik.
Para tokoh menjangkau pemilih, untuk membangun hubungan saling menguntungkan, dengan membentuk organisasi relawan yang utamanya melibatkan anggota keluarga, kerabat, atau kolega yang dipercaya. Kelompok relawan yang terbentuk ini kemudian memobilisasi suara pemilih dengan masuk ke berbagai institusi sosial, baik itu berbasis jaringan keluarga dan kerabat, ikatan etnis, dan jaringan agama.
Menurut Rido Rohi, tumbuh suburnya politik patronase di NTT karena ketidakmampuan negara memberikan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat. Kegagalan negara untuk menyejahterakan, mengakibatkan masyarakat kehilangan kepercayaan sosialnya kepada institusi formal.
Merujuk BPS, dalam sepuluh tahun terakhir Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT termasuk yang paling rendah di Indonesia. IPM NTT selalu berada di bawah rata-rata nasional. Pada tahun 2022, IPM NTT berada pada angka 65,9 yang menempatkan provinsi ini pada urutan ke tiga terendah.
Angka kemiskinan juga termasuk yang terendah. Merujuk BPS 2022, Provinsi NTT berada di peringkat tiga tertinggi dengan tingkat kemiskinan 20,23 persen. Kesejahteraan yang rendah dan persentase kemiskinan yang tinggi ditengarai menciptakan peluang suburnya politik patronase di NTT.
Pada akhirnya, dinamika politik nasional dan lokal akan berkelindan menjadi dua faktor yang memengaruhi konstelasi politik di NTT. Kondisi ini juga akan dipengaruhi oleh sejauh mana praktik patronase dan klientalisme terjadi di tataran masyarakat.
Jika dua hal ini masih menguat, bukan tidak mungkin dinamika politik di antara kekuatan partai politik akan terjadi. Tentu, semua bergantung bagaimana langkah dan strategi partai politik dalam mengemas kampanye-kampanyenya untuk memengaruhi persepsi dan perilaku dari pemilih. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : ”Medan Pertempuran” Tiga Matahari Politik