Gejolak Dunia Guncang Nilai Tukar Kawasan Asia
Situasi gejolak global membuat nilai tukar negara-negara Asia kian tertekan oleh dollar AS sehingga berpotensi mendorong terjadinya kelesuan ekonomi yang akan memberatkan masyarakat.
Situasi gejolak global membuat nilai tukar negara-negara Asia kian tertekan oleh dollar Amerika Serikat. Apabila masing-masing negara sulit mengendalikan tekanan tersebut, hal itu berpotensi terjadi kelesuan ekonomi yang akan memberatkan masyarakat. Perlu kebijakan yang tepat agar terhindar dari ancaman gejolak dunia yang tidak menentu itu.
Hingga hari ini, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih sangat fluktuatif dan cenderung melemah. Merujuk data rata-rata kurs yang dipublikasikan Bank Indonesia sepanjang pekan ini, rupiah sempat memasuki fase hijau pada Rabu (25/10/2023) dengan penguatan 74 poin dibandingkan hari sebelumnya. Namun, kurs kembali turun hingga akhirnya tercatat sangat lemah pada Jumat (27/10/2023) di level Rp 15.933 per dollar AS.
Melihat kondisi tersebut, alarm kewaspadaan patut dinyalakan. Pasalnya, tren jangka panjang beberapa bulan terakhir menunjukkan rupiah kian tergerus oleh kedigdayaan dollar AS. Merujuk data Bank Indonesia, rupiah melemah sekitar 6,4 persen sepanjang periode Januari-Oktober 2023.
Rata-rata nilai tukar pada Januari 2023 masih di bawah level Rp 15.000 per dollar AS. Namun, rata-rata Oktober, setidaknya hingga minggu ke-4 mencapai Rp 15.722,8 per dollar AS. Bahkan, rata-rata harian per 24 Oktober menembus angka Rp 15.943 per dollar AS.
Sebelumnya, kemerosotan nilai tukar rupiah pernah terjadi cukup dalam ketika pandemi Covid-19, tepatnya pada akhir Maret hingga awal April 2020. Saat itu, mata uang ”Garuda” menembus angka Rp 16.000 per dollar AS, hingga menyentuh level Rp 16.741 per dollar AS pada 2 April 2020. Paling lemah sepanjang dua dekade terakhir.
Baca juga: Dollar AS Tetap Jadi ”Raja” bagi Mata Uang Asia
Pelemahan tersebut seiring dengan sikap pesimistis para pelaku bisnis dan ekonomi di tengah pandemi yang mengguncang segala sendi kehidupan masyarakat. Terutama potensi ketidakstabilan ekonomi di negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia.
Alhasil, para investor menarik modalnya dari Indonesia. Akibatnya, stok valuta asing di pasar domestik berkurang sehingga berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah. Dengan kata lain, faktor internal dan eksternal cukup berdampak pada nilai tukar rupiah saat itu.
Gejolak AS dan dunia
Kali ini, merosotnya nilai mata uang rupiah lebih dipengaruhi kebijakan moneter Pemerintah AS dalam memulihkan kondisi ekonomi negaranya, terutama dalam upaya mengendalikan inflasi yang kembali menjauhi target Pemerintah AS sebesar 2 persen. Gelombang inflasi di AS ini terjadi sebagai dampak lanjutan dari pandemi Covid-19.
Pascapandemi Covid-19, kondisi ekonomi sebagian besar negara membaik, termasuk tingkat inflasinya. Namun, pemulihan ekonomi di AS berdampak pada kenaikan tajam inflasi. Hal tersebut didorong oleh belanja besar-besaran penduduk AS setelah setahun lebih menahan konsumsi akibat pembatasan aktivitas selama pandemi.
Sayangnya, euforia belanja penduduk AS tidak dibarengi dengan kesiapan pasokan barang dan jasa. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai sehingga mendorong kenaikan harga-harga secara umum. Pada saat yang bersamaan terjadi lonjakan harga komoditas global yang dipicu ketegangan Rusia-Ukraina. Titik puncak inflasi AS terjadi pada Juni 2022 yang mencapai 9,1 persen. Melesat tajam dari 1,4 persen pada Januari 2021 dan menjadi yang tertinggi sepanjang empat dekade terakhir.
Merespons hal tersebut, Pemerintah AS meluncurkan sejumlah kebijakan, salah satunya dengan menaikkan suku bunga acuan. Tujuannya, menarik minat masyarakat AS untuk menyimpan dananya dan mengerem laju konsumsi. Sepanjang Januari 2022 hingga Juni 2023, The Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 500 basis poin dari 0,08 persen menjadi 5,08 persen.
Baca juga: Imbas Pemilu dan The Fed, Pengelolaan Utang Tahun Depan Lebih Menantang
Langkah tersebut dapat dikatakan relatif sukses lantaran laju inflasi ”Negeri Paman Sam” berangsur melandai hingga 3,0 persen pada Juni 2023. Meskipun demikian, pada bulan berikutnya laju inflasi kembali merangkak naik menjadi 3,2 persen dan terus naik hingga 3,7 persen pada Agustus dan September 2023. Melonjaknya harga komoditas energi termasuk minyak dan gas menjadi pemicu kenaikan inflasi itu.
Menyikapi situasi tersebut, The Fed kembali menerapkan kebijakan serupa, yakni menaikkan tingkat interest rate. Setelah menaikkan suku bunga acuan ke angka 5,12 persen pada Juli 2023, The Fed kembali menaikkannya menjadi 5,33 persen pada Agustus 2023 hingga saat ini.
Nilai tukar Asia
Kendati keputusan menaikkan suku bunga oleh The Fed terbukti berhasil mengendalikan laju inflasi AS, kebijakan tersebut ternyata berdampak relatif kurang baik bagi negara lainnya. Tingkat suku bunga AS yang tinggi memikat para investor.
Para pemodal di sejumlah negara berduyun-duyun memindahkan modalnya ke raksasa ekonomi dunia tersebut. Aksi mencari ruang ”aman” dan spekulasi menguntungkan para investor itu membuat dollar AS kian menguat. Indeks dollar AS terpantau mengalami tren peningkatan sepanjang tiga bulan terakhir. Terbaru, mencapai 106,58 pada 27 Oktober 2023.
Dampaknya, nilai tukar sejumlah negara di dunia tertekan dengan kondisi makro ekonomi global ini. Tak hanya rupiah, mata uang negara lainnya pun ikut terperosok, terutama di Asia. Jepang, misalnya, sepanjang Januari-Oktober 2023 mata uang ”Negeri Sakura” itu terdepresiasi 14,9 persen. Di awal tahun, Yen Jepang masih seharga 130,1 per dollar AS. Kini, setidaknya per 24 Oktober, menjadi 149,5 yen per dollar AS.
Baca juga: Dollar AS Tunjukkan Tren Penguatan
Keterpurukan yen Jepang tersebut tak lepas dari dampak kebijakan pemerintah mempertahankan suku bunga ultrarendah, yakni -0,1 persen. Bank Sentral Jepang menilai bahwa inflasi di Jepang tidak seburuk yang terjadi di AS sehingga meningkatkan suku bunga bukanlah hal yang mendesak dilakukan.
Sebagai informasi, tingkat inflasi Jepang per September 2023 berada di angka 3,0 persen, melampaui target pemerintah sebesar 2,0 persen. Pimpinan Bank of Japan (BoJ) menilai keputusan meningkatkan suku bunga akan membuat nilai uang lebih mahal dan akan menekan permintaan yang sudah lemah. Hal tersebut diyakini justru akan menghambat pemulihan ekonomi Jepang yang rapuh akibat pandemi. Pada saat bersamaan, suplai energi di Jepang yang mengadalkan dari pasokan energi dari luar negaranya membuat pelemahan yen ini akan mendorong biaya energi Jepang kian mahal.
Selain Jepang, ringgit Malaysia juga tertekan oleh kekuatan dollar AS. Pada periode yang sama, nilai tukar ringgit terhadap dollar AS terdepresiasi hingga 12 persen. Seperti halnya keputusan BoJ, Bank Sentral Malaysia juga menahan suku bunga pada level 3 persen agar perekonomian domestik tetap dinamis.
Begitu halnya China. Mata uang rival perekonomian AS itu juga melemah hingga 8,2 persen sepanjang tahun ini dari 6,8 per dollar AS menjadi 7,3 yuan per dollar AS. Alih-alih menaikkan suku bunganya, Bank Sentral China (PBoC) justru memangkasnya. Pada Agustus 2023, PBoC menurunkan suku bunga dasar pinjaman (loan prime rate/LPR) satu tahun dari 3,55 persen menjadi 3,45 persen. Untuk LPR lima tahun tetap dipertahankan pada level 4,2 persen.
Langkah tersebut bertujuan untuk tetap merangsang permintaan kredit di China. Setelah kemerosotan sektor properti, belanja konsumen ekonomi terbesar kedua dunia itu melemah, diikuti lesunya pertumbuhan kredit.
Lain halnya dengan Indonesia. Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 6,0 persen pada Oktober 2023, tertinggi sejak Juli 2019. Keputusan tersebut diambil lantaran ancaman kemerosotan nilai tukar rupiah yang kian dalam.
Jika suku bunga acuan tidak dinaikkan, potensi investor membawa kabur modal mereka akan lebih besar. Laporan Bank Indonesia menunjukkan, aliran modal asing keluar dari Indonesia dalam bentuk investasi portofolio sebesar 2,1 miliar dollar AS pada triwulan III 2023. Nilai tersebut setara dengan Rp 33 triliun. Tekanan pada investasi diperkirakan berlanjut hingga triwulan terakhir 2023. Setidaknya hingga 17 Oktober 2023, aliran keluar modal asing sudah mencapai 0,4 miliar dollar AS.
Ekonomi Asia
Melihat kondisi global yang masih penuh ketidakpastian, langkah mitigasi benar-benar perlu dipersiapkan. Bagi Indonesia, kebijakan menaikkan suku bunga pun ternyata belum mampu memperkuat rupiah. Nilai tukar mata uang rupiah masih berfluktuasi hingga hari ini mendekati Rp 16.000 per dollar AS.
Bagi Asia secara keseluruhan, anjloknya nilai tukar mata uang di Asia berpotensi membahayakan potensi ekonomi yang digadang-gadang akan lebih kuat dibandingkan AS dan negara maju lainnya. Merujuk publikasi Bank Dunia, di tengah gejolak global pertumbuhan ekonomi beberapa negara Asia masih mampu menembus angka tiga persen di tahun ini.
Baca juga: Faktor Eksternal Terus Lemahkan Rupiah, Ekonomi Stabil
Bahkan, berdasarkan proyeksi terbaru pada Juni 2023, ekonomi Filipina dan China akan melampaui 5 persen. Indonesia dan Malaysia masing-masing diperkirakan tumbuh 4,9 dan 4,3 persen. Kendati diperkirakan lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2022, proyeksi Juni 2023 menunjukkan laju pertumbuhan lebih tinggi dari yang dipublikasikan pada Januari 2023. Dengan kata lain, ada potensi perbaikan ekonomi.
Meskipun demikian, konflik senjata antarnegara yang makin meluas perlu diwaspadai karena mendorong pada ketidakpastian ekonomi global. Pertarungan geopolitik ini berpotensi kembali meningkatkan harga minyak dunia yang berujung pada kenaikan harga-harga di seantero dunia, tak terkecuali di AS. Jika inflasi kembali tak terkendali, bukan tidak mungkin instrumen suku bunga kembali dimainkan oleh The Fed. Dengan demikian, nilai tukar negara lainnya akan kian terancam, termasuk mata uang rupiah.
Pada saat yang bersamaan, proyeksi Bank Dunia Juni 2023 menyimpulkan bahwa ekonomi AS akan lebih kuat kendati hanya di kisaran 1,1 persen. Situasi dilematis ini bukan tidak mungkin berpotensi melemahkan kekuatan ekonomi Asia. Kebijakan di masing-masing negara sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas perekonomian dan juga daya tawar nilai tukarnya. (Litbang Kompas)