Berebut Dominasi dari Pemekaran Wilayah Papua
Angin perubahan seperti senantiasa berembus di Papua. Provinsi paling timur di republik ini menjadi daerah yang cukup dinamis secara politik. Partai-partai nasionalis silih berganti menguasai perolehan suara dari pemilu.
Dalam rentang waktu sejak pemilu 1999 hingga 2019, pemilu di Papua menghasilkan tiga partai berbeda sebagai pemenang, yakni Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Nasdem.
Pemekaran wilayah lewat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 turut memberi pengaruh dalam perebutan suara di Papua dalam rentang waktu tersebut.
Pemekaran wilayah kabupaten tersebut ternyata perlahan mengurangi dominasi Golkar yang berjaya di Papua sejak 1971. Jika pada Pemilu 1999 Golkar unggul di enam dari sembilan wilayah dengan perolehan suara pada tingkat provinsi sebesar 35,6 persen, pada Pemilu 2004 perolehan suara Golkar turun menjadi 24,7 persen. Penguasaan Golkar pada 2004 terjadi di 12 dari 20 wilayah di Papua. Meski mengalami penurunan suara, Golkar masih tetap unggul di Papua.
Selain Golkar, pemekaran juga menggeser dominasi PDI Perjuangan di bagian selatan Papua. PDI-P pada 1999 memperoleh suara sebesar 32,3 persen, nyaris mendekati perolehan Golkar.
Akan tetapi, setelah pemekaran wilayah suara PDI-P menurun tajam, hanya 8,1 persen pada Pemilu 2004. Selain itu, PDI-P juga kehilangan penguasaan di Kabupaten Merauke dan Kabupaten Puncak Jaya yang dimekarkan.
Dari kabupaten baru hasil pemekaran, PDI-P hanya unggul di Kabupaten Asmat yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Merauke.
Pemilu 2004 juga mencatatkan raihan suara yang cukup signifikan dari partai-partai baru, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS) dengan 6,3 persen dan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM) dengan 5,9 persen, mendekati PDI-P di urutan kedua.
Keunggulan Golkar terjadi lagi pada Pemilu 2009 dengan menguasai 19,64 persen suara. Namun, penguasaan Golkar dibayangi oleh Demokrat (19,62 persen) yang menyusul dengan selisih sangat tipis 0,2 persen.
Meski unggul, wilayah penguasaan Golkar menurun dengan hanya menguasai sembilan dari 27 kabupaten. Sementara Demokrat menguasai 11 kabupaten dan Kota Jayapura.
Demokrat kian mendominasi pada Pemilu 2014. Demokrat merebut penguasaan Golkar di Papua dengan 24,6 persen, disusul PDI-P di urutan kedua dengan 16,5 persen. Pada rentang waktu ini juga, Demokrat berhasil mengantarkan Lukas Enembe yang kala itu menjabat sebagai Bupati Puncak Jaya memenangkan pemilihan Gubernur Papua.
Setelah Demokrat, penguasaan politik di Papua kembali berganti. Nasdem menempati urutan pertama perolehan suara pada 2019 di Papua dengan 24,5 persen.
Capaian Nasdem ini cukup fenomenal mengingat pada 2014 Nasdem hanya memperoleh 10 persen suara. Penguasaan Nasdem lalu meningkat dari delapan wilayah pada Pemilu 2014 menjadi 10 wilayah pada Pemilu 2019.
Baca juga: Politik Lampung Dikekang Kultur Patronase dan Modal Korporasi
Peluang dan tantangan
Perubahan penguasaan yang terjadi pascapemekaran 2002 berpotensi akan terjadi lagi pada Pemilu 2024 mendatang. Hal ini mengingat pada 25 Juli 2022, Provinsi Papua dimekarkan menjadi empat provinsi dengan tiga provinsi baru, yaitu Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan.
Berdasar pemetaan penguasaan suara pada Pemilu 2019 dibagi berdasarkan wilayah pemekaran, muncul gambaran potensi penguasaan wilayah pada provinsi-provinsi baru.
Nasdem yang dominan pada Pemilu 2019 di Papua secara keseluruhan berpotensi akan tetap dominan di wilayah Provinsi Papua yang setelah pemekaran terdiri atas Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Mamberamo Raya, dan Kabupaten Waropen. Akan tetapi, Nasdem memiliki tantangan untuk merebut penguasaan di Kota Jayapura yang pada Pemilu 2019 dikuasai oleh Golkar.
Bergeser ke barat, Papua Tengah dikuasai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 2019. Lima dari delapan kabupaten di Papua Tengah dimenangkan PKB. Penguasaan PKB lebih banyak pada wilayah pesisir dan pedalaman.
Sementara di pegunungan, PDI-P dan Demokrat unggul. Dengan situasi demikian, PKB kini hanya perlu mempertahankan keunggulan sembari berusaha meraih suara di wilayah pegunungan Papua Tengah.
Sementara PDI-P kemungkinan besar masih menguasai Papua Selatan jika merujuk pada perolehan suara Pemilu 2019. Tiga dari empat kabupaten di provinsi ini oleh PDI-P. Akan tetapi, PDI-P belum berhasil menguasai Kabupaten Merauke yang dimenangkan Gerindra. Demografi ibu kota Papua Selatan yang majemuk ini membawa tantangan bagi PDI-P karena relatif cairnya pilihan pemilih.
Meski menguasai perolehan suara di Merauke, Gerindra hanya mendapat suara sebesar 16,5 persen, terpaut sedikit dengan Nasdem (15,6 persen) di posisi kedua dan PDI-P (12 persen) di posisi ketiga.
Menilik ketatnya persaingan di Merauke, bisa jadi Merauke menjadi daerah penentuan pemenangan di Papua Selatan pada pemilu mendatang.
Adapun wilayah Papua Pegunungan masih berpotensi dikuasai Nasdem. Pada 2019, tiga partai, yakni Nasdem, Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN), menguasai provinsi yang sebagian besar masuk wilayah adat La Pago ini. Dominasi ketiga partai tersebut pun sangat kuat, hampir semua kabupaten dimenangi dengan suara di atas 40 persen.
Meskipun demikian, merunut jejak riwayat dinamisnya penguasaan elektoral di Papua, tetap terbuka peluang bagi partai yang sebelumnya tidak dominan pada 2019 merebut penguasaan provinsi hasil pemekaran.
Selain riwayat penguasaan, ketokohan partai dan kesiapan mesin politik juga turut menentukan upaya pemenangan partai mengingat kompetitifnya perebutan suara di Papua.
Baca juga: Bandul Keseimbangan Baru Politik
Perilaku memilih
Masyarakat Papua, terutama masyarakat di daerah pedalaman Papua, masih memiliki kecenderungan perilaku memilihnya berdasarkan kedekatan kesukuan atau kekerabatan.
Perilaku ini dibentuk dari pola hidup sebagai masyarakat kesukuan atau tribal community yang mana peran tetua adat dan kepala suku memberi pengaruh bagi perilaku memilih.
Oleh karena itu, tokoh-tokoh politik ataupun kontestan elektoral yang bertanding pada pemilihan umum cenderung dipilih berdasarkan kedekatan dan latar belakang kesukuan dengan para konstituennya.
Kondisi demikian membuat partai politik tidak memiliki kekuatan massa yang mengakar, loyal, dan militan karena jika tokoh-tokoh tersebut berpindah partai, tentu diikuti dengan kepindahan dukungan.
Fenomena tersebut paling tidak mulai bisa menjelaskan mengapa penguasaan partai di Papua begitu dinamis. Elektabilitas partai politik meningkat ketika calon yang mereka usung merupakan representasi tokoh adat, kepala suku, atau tetua yang berpengaruh.
Di wilayah perkotaan, kondisi yang berkebalikan terjadi. Perkotaan di Papua justru menjadi arena pertarungan modal pada saat pemilu. Kekuatan modal material, modal kultural, dan tawaran program-program saling berkelindan dalam upaya merebut suara di perkotaan.
Partai yang mampu mengolah kekuatan modal dari para calon dan menghadirkan program yang menarik untuk bertarung di pemilu dapat berpeluang menjadi partai penantang partai-partai lama di Papua. Penguasaan wilayah yang dinamis di Papua justru menjadi pintu masuk bagi partai-partai yang sebelunya tidak dominan untuk merebut suara.
Pada sisi yang lain, peran partai politik nasional di Papua hingga kini masih belum memenuhi harapan sebagai motor kehidupan politik di Papua. Yakobus Murafer, akademisi FISIP Universitas Cenderawasih, memaparkan, peran parpol sebagai sarana aspirasi publik dan wahana pendidikan politik masih belum maksimal di Papua.
Minimnya kader-kader yang dilahirkan dari partai politik menjadikan partai tidak memiliki calon ketika pemilu tiba. Calon yang diusung dalam kontestasi politik cenderung berdasarkan popularitas atau latar belakang sosial, seperti tokoh tetua adat atau kepala suku. Kondisi tersebut berpotensi membuka peluang besar bagi politik transaksional dan politik balas jasa.
Melihat situasi itu, Yakobus juga menyampaikan ide mengenai perlunya kehadiran partai lokal untuk daerah khusus Papua sama seperti yang ada di Aceh. Partai lokal Papua ini diharapkan dapat menjadi wahana aspirasi dan sarana berpolitik bagi masyarakat Papua.
Partai nasional selama ini dirasa masih kurang memahami permasalahan lokal Papua dan kurang memberikan tempat bagi masyarakat asli Papua untuk turut terlibat dalam kehidupan politik.
Partai lokal diharapkan menjamin tersedianya hak bagi masyarakat Papua untuk memiliki calon legislatif yang lebih representatif karena kaderisasi dan kandidasi yang lebih terbuka bagi masyarakat Papua.
Pada akhirnya, keterlibatan politik masyarakat asli Papua dapat turut terakomodasi lewat mekanisme politik yang inlusif dan peningkatan kapasitas lembaga demokrasi di Papua.
Baca juga: ”Medan Pertempuran” Tiga Matahari Politik