Beban Ganda Cuaca Panas di Perkotaan
Sejumlah kota di Indonesia saat ini tengah mengalami fenomena pulau panas perkotaan atau ”urban heat island”.
Musim kemarau panjang membuat sejumlah wilayah di Indonesia mengalami cuaca panas yang ekstrem. Hawa panas terasa sangat terik, terutama di wilayah-wilayah perkotaan. Apalagi, sejumlah kota di Indonesia tengah mengalami fenomena pulau panas perkotaan atau urban heat island.
Kemarau berkepanjangan terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Kemarau dan cuaca panas ini sangat terasa oleh masyarakat yang berada di selatan garis khatulistiwa, mulai dari Jawa hingga Nusa Tenggara. Suhu di wilayah ini terasa sangat panas karena matahari bersinar sangat terik, sedangkan hujan tak kunjung turun.
Berdasarkan data dari stasiun pengamatan BMKG di sejumlah daerah pada periode 15-16 Oktober 2023, suhu udara tertinggi berkisar 35,6-37,7 derajat celsius. Data tersebut menunjukkan suhu udara tertinggi pada suatu daerah pengamatan dalam kurun 24 jam.
Dari kisaran angka ini, suhu tertinggi, yaitu 37,7 derajat celsius, terekam di Stasiun Meteorologi Kertajati di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Wilayah yang memiliki suhu terendah adalah area pantauan Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor, Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan Stasiun Meteorologi Beto Ambari, Baubau, NTB, yaitu 35,8 derajat celsius. Sementara itu, suhu udara tertinggi di Jabodetabek salah satunya terekam di Stasiun Meteorologi Kemayoran yang menunjukkan 36 derajat celsius.
Fenomena cuaca seperti ini pernah terjadi pada 2022. Saat itu, Indonesia dilanda suhu panas yang cukup meresahkan. Berdasarkan data yang terkumpul dari sejumlah stasiun meteorologi pada 21-22 Oktober 2022, suhu tertinggi yang tercatat dalam 24 jam berkisar 35,8-39 derajat celsius. Saat itu, suhu harian meningkat 1-2 derajat celsius dibandingkan rata-rata suhu harian saat musim kemarau.
Menurut BMKG, suhu tinggi yang membuat cuaca panas dan terik itu disebabkan minimnya pertumbuhan awan pada siang hari. Situasi tersebut umumnya dialami wilayah di bagian selatan ekuator dari Jawa hingga Nusa Tenggara. Apalagi, saat ini matahari sedang bergerak ke arah selatan ekuator yang menyebabkan sinar matahari terpancar maksimal pada pagi menjelang siang dan pada tengah hari. Fenomena demikian hampir selalu dirasakan setiap tahun, terutama pada Agustus-Oktober.
Baca juga: Pulau Panas Perkotaan Jabodetabek Meluas ke Pinggiran
Menurut pola kenaikan dan penurunan suhu rata-rata bulanan pada tahun ini, setidaknya ada dua gelombang peningkatan suhu bulanan. Pertama, terjadi mulai Maret dan memuncak pada Mei dengan rata-rata suhu 27,4 derajat celsius. Selanjutnya, temperatur menurun hingga bulan Juli. Pada Agustus, suhu udara mulai naik lagi dan memasuki fase peningkatan gelombang panas yang kedua. Pada bulan tersebut, rata-rata suhu bulanan 26,7 derajat celsius dan terus bertambah pada September dengan suhu rata-rata 27 derajat celsius.
Pola tersebut biasa terjadi di Indonesia. Namun, tahun ini suhu udara cenderung lebih tinggi dibandingkan suhu rata-rata bulanan selama periode 1991-2020. Sebagai contoh, pada puncak rata-rata suhu tertinggi di bulan Mei, suhu udara hanya mencapai 27 derajat celsius pada kurun 1991-2020. Namun, pada Mei tahun ini suhu udara naik menjadi 27,4 derajat celsius. Demikian pula pada September di mana selama periode itu rata-rata suhu bulanan cenderung lebih rendah menjadi sebesar 26,6 derajat celsius.
Pada September tahun ini, suhu udara tetap lebih tinggi dari biasanya, yakni 27 derajat celsius. BMKG mencatat, selama September 2023 terjadi anomali suhu udara sebesar 0,4 derajat celsius dan merupakan nilai anomali tertinggi keempat sepanjang periode pengamatan sejak 1981.
Fenomena tersebut menyebabkan hawa udara semakin panas. Meskipun tidak semua daerah mengalami kenaikan suhu, situasi itu berdampak pada lingkungan, seperti kekeringan, gersang, dan hawa sangat terik.
Perkotaan rentan
Cuaca panas itu kian terasa di wilayah perkotaan. Dengan karakteristik kota yang padat populasi dan penuh sesak bangunan, wilayah urban cenderung memiliki suhu lebih tinggi dibanding sekitarnya. Oleh sebab itu, ketika ada fenomena kenaikan suhu seperti kemarau sekarang, kota menjadi wilayah yang paling cepat merasakan cuaca panas dan terik itu.
Secara alamiah, perkotaan lekat dengan fenomena urban heat island (UHI) atau pulau panas perkotaan. Kondisi ini menggambarkan suhu udara di kota lebih tinggi dibandingkan daerah di sekitarnya. Dalam sebuah studi di Kota Surabaya, disebutkan setidaknya ada beberapa hal yang memengaruhi fenomena ini, antara lain, ketersediaan ruang terbuka hijau, konsumsi listrik, dan penggunaan aspal.
Selain itu, aktivitas warga ditambah masifnya pembangunan juga membuat suhu di perkotaan turut meningkat. Di ibu kota Jakarta, hal tersebut sangat terlihat dari meluasnya cakupan UHI selama 2008 hingga 2018.
Baca juga: Suhu Panas Diprediksi Terus Berlanjut hingga November 2023
Menurut studi berjudul ”Increasing Urban Heat Island Area In Jakarta And It’s Relation To Land Use Changes”, pada 2013 hanya 36,5 persen luas wilayah DKI Jakarta yang tergolong UHI. Pada 2018, luasannya meningkat hingga mencapai 93,7 persen. Wilayah UHI yang dimaksud adalah apabila suhu harian di kawasan itu melebihi 30 derajat celsius. Dengan demikian, hampir seluruh area di DKI Jakarta mengalami fenomena pulau panas perkotaan (Kompas, 14/5/2022).
Dalam penelitian yang berjudul ”Adaptation Strategy Toward Urban Heat Island At Tropical Urban Area” (2016), disebutkan bahwa perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun menyebabkan fenomena pulau panas perkotaan di Jakarta. Selama periode 2000-2012, terdapat 49,7 persen ruang terbuka hijau yang dialihfungsikan menjadi penggunaan lahan lain.
Tampak perbedaan suhu udara antara kawasan yang memiliki RTH dan lahan yang beralih fungsi menjadi bangunan, dengan suhu lingkungan lebih rendah pada kawasan RTH. Perbedaan suhunya mencapai 2,8 derajat celsius. Hal ini menunjukkan masifnya pembangunan dan susutnya RTH menyebabkan suhu udara perkotaan semakin memanas.
Kondisi tersebut menambah tantangan yang berat bagi warga kota di tengah musim kemarau ini. Apalagi setengah tahun terakhir ini peningkatan suhu di beberapa daerah seperti tak terbendung. Sejumlah kota besar, seperti Semarang dan Surabaya, suhu udaranya berpotensi terus naik hingga 40 derajat celsius.
Tantangan kota
Kota akan semakin rentan terhadap cuaca panas. Kerentanan bertambah besar dengan terus berkembangnya urbanisasi dan populasi penduduk kota tanpa diimbangi perencanaan kota yang optimal. Hal ini dapat membahayakan warga kota karena langsung berdampak pada kesehatan mereka. Cuaca panas bisa menyebabkan tubuh mudah lelah, stres, kurang tidur, imunitas turun, dan heat stroke.
Kondisi saat ini menjadi peringatan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap cuaca ekstrem yang diperkirakan akan terus meningkat intensitasnya di masa mendatang. Perkiraan cuaca panas yang menyentuh hingga 40 derajat celsius itu kemungkinan akan bisa terjadi di masa depan.
Baca juga: Peraturan Tata Ruang Jakarta Terbaru Buka Ruang Masyarakat untuk Ambil Bagian
Bisa jadi urban heat island akan bertambah parah dengan berkembangnya pembangunan kota dan populasi penduduk yang tidak terkendali sehingga suhu udara semakin meningkat drastis. Apalagi, ditambah dengan adanya fenomena anomali iklim yang mengakselerasi kenaikan suhu dunia menjadi lebih cepat dari perkiraan.
Oleh karena itu, perlu upaya mitigasi dari berbagai pihak agar dampak buruk hawa panas yang menyasar wilayah perkotaan tersebut dapat diantisipasi. Sejumlah hasil studi terkait faktor-faktor penyebab urban heat island dapat menjadi dasar untuk melakukan upaya mitigasi mereduksi efek cuaca panas perkotaan. Misalnya saja dengan menambah luasan RTH sehingga temperatur permukaan bisa terjaga dan tidak terus meningkat.
Masyarakat juga dapat berperan dengan melakukan penanaman pohon di sekitar permukimannya dan lebih memilih menggunakan transportasi massal untuk mengurangi emisi karbon. Pada akhirnya, hawa panas yang disebabkan oleh anomali cuaca ini perlu menjadi titik tolak kesadaran bersama untuk membangun kesungguhan mengantisipasi dampak pemanasan global. (LITBANG KOMPAS)