Pulau Panas Perkotaan Jabodetabek Meluas ke Pinggiran
Pertumbuhan kota yang buruk menyebabkan kawasan yang mengalami fenomena pulau panas perkotaan di Jabodetabek meluas. Efek pulau panas perkotaan menambah dampak buruk kenaikan suhu global.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena pulau panas perkotaan atau urban heat island di Jabodetabek meluas ke arah Kota Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi dengan perbedaan suhu permukaan tanah mencapai 3-6 derajat celsius lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan perdesaan. Penyebab utama fenomena ini adalah alih fungsi lahan hijau menjadi bangunan.
Fenomena urban heat island di Jabodetabek ini dilaporkan peneliti iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Siswanto, dan tim di jurnal Remote Sensing Aplications: Society and Environment terbaru. Selain para peneliti BMKG, turut dalam kajian ini para peneliti dari Universitas Indonesia, yaitu dari Departemen Geografi, Departemen Arsitektur, dan Master Perencanaan Kota dan Wilayah.
”Penelitian kami berhasil membuat poligon wilayah kota-subkota berdasarkan karakteristik suhu urban heat island (pulau panas perkotaan). Ternyata, luasan poligon itu terus bertambah seiring dengan perluasan urbanisasi,” kata Siswanto, Senin (9/10/2023).
Pulau panas perkotaan (urban heat island) biasanya diukur berdasarkan kontras suhu udara permukaan antara perkotaan dan perdesaan. Fenomena ini, antara lain, disebabkan oleh pelepasan emisi energi antropogenik dari sistem pemanas-ventilasi AC, motor, kendaraan, dan proses industri, jumlah kelembaban permukaan yang tersedia, serta perbedaan kapasitas panas bahan bangunan perkotaan dengan struktur alami di perdesaan.
Perubahan penggunaan lahan dan tutupan lahan, khususnya di wilayah perkotaan, juga memengaruhi kondisi iklim dan lingkungan. Hal ini tidak hanya memengaruhi suhu, tetapi juga kekeruhan, curah hujan, kualitas air, dan udara. Luas vegetasi berkurang dan perubahan menjadi beton, aspal, serta lahan terbuka akan turut meningkatkan suhu di perkotaan.
Dalam riset sebelumnya, Siswanto dan tim dalam International Journal of Meteorolgy (2016) telah menganalisis tren klimatologi suhu permukaan di beberapa lokasi di Jakarta dan sekitarnya pada periode 1980–2012. Analisis tersebut menunjukkan sinyal fenomena pulau panas perkotaan yang terus menguat.
Selama 30 tahun terakhir, perubahan yang paling mencolok adalah peningkatan suhu minimum di empat stasiun meteorologi di Jabodetabek, yakni di Stasiun Pengamatan Kemayoran, Tanjung Priok, Bandara Halim Perdanakusuma, dan Bandara Soekarno–Hatta dengan tren 0,3–0,75 derajat celsius per dekade. Kenaikan suhu ini lebih kuat daripada tren pemanasan global.
Di wilayah perdesaan tidak terjadi kenaikan suhu secara tajam sebagaimana terlihat di wilayah Bogor dan stasiun lain yang terletak di wilayah dengan kepadatan penduduk dan pembangunan yang lebih rendah, seperti Curug, Tangerang, dan Citeko, Bogor. Perbedaan kenaikan suhu di Jakarta dengan daerah perdesaan inilah yang menandai adanya efek pulau panas perkotaan.
”Penyebab utama fenomena urban heat island di Jabodetabek adalah alih fungsi lahan. Dari daerah bervegetasi menjadi properti perkotaan dan bangunan,” kata Siswanto.
Kajian ini juga menemukan, selama 16 tahun perluasan perkotaan berkembang secara signifikan dari pusat kota di wilayah utara hingga wilayah sekitarnya di wilayah selatan. Umumnya, pada tahun 2004 hingga 2020 kawasan bervegetasi diubah menjadi kawasan terbangun dan lahan tandus. Pada tahun 2020, luas lahan terbangun bertambah dari 1.066 hektar (ha) menjadi 1.682,2 ha, meningkat hingga 25 persen.
Efek pulau panas perkotaan di dalam Kota Jakarta cenderung menyebabkan suhu permukaan tanah dan suhu udara yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekitarnya.
Sementara itu, lahan gersang bertambah dari 848,5 ha menjadi 1.681,3 ha, meningkat 25 persen dari total luas. Pada tahun 2020, tutupan vegetasi berkurang dari 4.202 ha menjadi 2.866,4 ha, hampir berkurang 20 persen. Perairan juga berkurang dari 654,3 ha menjadi 541,1 ha, sekitar 2 persen.
Pertumbuhan perkotaan yang dominan berupa perluasan kawasan permukiman terjadi di kawasan pinggiran kota metropolitan Jakarta, seperti Kota Depok, Kota Bogor, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi. Dengan tren ini, wilayah tersebut mengalami kenaikan suhu tertinggi dengan suhu rata-rata permukaan adalah 27,97 derajat celsius pada tahun 2004, 30,82 derajat celsius pada tahun 2014, dan 28,7 derajat celsius pada tahun 2020.
Area suhu panas permukaan siang dan malam memiliki area yang lebih besar dan luas pada saat September-Oktober-November. Kawasan suhu panas permukaan siang hari lebih meluas ke arah barat dan timur di luar wilayah Jabodetabek pada periode ini dengan suhu yang lebih kuat di pusat kota.
Perencanaan kota
Laporan Kumi Kataoka dari University of Tsukuba di jurnal Science of Total Environment (2009) menyebutkan, urbanisasi yang tidak terencana di banyak kota di seluruh dunia merupakan faktor utama yang memperburuk risiko dampak perubahan iklim. Fenomena pulau panas perkotaan menyebabkan kenaikan suhu akibat perubahan iklim menjadi lebih besar dampaknya.
Siswanto mengatakan, dengan temuan ini diharapkan pengembangan kota juga memperhatikan risiko pulau panas perkotaan yang bisa memicu ketidaknyamanan tinggal penduduk. ”Rencana perluasan kota, termasuk arsitektur kota, perlu didesain dengan memperhitungan karakteristik iklim dan meteorologis lokal serta berkonsep bangunan hijau,” kata dia.
Selain itu, Siswanto merekomendasikan adanya gerakan hemat energi dan gerakan untuk mengurangi emisi di perkotaan sehingga tidak memperparah fenomena pulau panas perkotaan. ”Mitigasi urban heat island di antaranya bisa dengan penambahan ruang terbuka hijau dan badan air serta modifikasi hijau lainnya pada lanskap kota untuk meredam peningkatan suhu,” katanya.