Syahrul Yasin Limpo Tersangka, Besarkah Problem Integritas di Kementan?
Penetapan Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka menambah panjang daftar korupsi yang pernah terjadi di kementerian. Survei KPK sebelumnya telah mengindikasikan kerawanan persoalan integritas, termasuk di Kementan.
Oleh
BESTIAN NAINGGOLAN
·5 menit baca
Sebelum ditetapkannya Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka, beberapa sosok menteri kabinet pimpinan Presiden Joko Widodo juga terjerat berbagai kasus korupsi. Johnny G Plate, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, pada pertengahan Mei 2022 terganjal korupsi proyek BTS Kementerian Kominfo.
Pada awal Desember 2020, giliran mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang terjerat kasus korupsi. Ia menerima suap dalam pengadaan paket bansos Covid-19 wilayah Jabodetabek 2020 sebesar Rp 32,48 miliar. Pidana 12 tahun penjara dan pidana denda Rp 500 juta subsider 6 bulan ganjaran hukumannya.
Sebulan sebelumnya, November 2020, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga terjerat kasus suap. Ia terjerat operasi tangkap tangan KPK, dianggap telah menerima suap terkait pengurusan izin budidaya lobster dan ekspor benih benur lobster (BBL) sebesar Rp 25,7 miliar dari para eksportir lobster. Setelah perkaranya disidangkan, ia divonis 9 tahun penjara. Namun, setelah banding ke Pengadilan Tinggi hingga kasasi ke MA, berkurang menjadi 5 tahun penjara.
Imam Nahwari, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, juga telah divonis 7 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 3 bulan kurungan. Imam terbukti melakukan korupsi dalam kasus suap pengurusan proposal dana hibah KONI dan gratifikasi dari sejumlah pihak sejak Januari 2018 sampai dengan Juni 2018. Ia menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar.
Jauh sebelumnya, Juli 2018, Idrus Marham, mantan Menteri Sosial, yang terjerat proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau. Idrus terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.
Deretan kasus dalam kementerian terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan. Menariknya, setiap kasus melibatkan menteri yang terbilang menjadi sosok kader partai politik yang notabene menjadi bagian dari koalisi pemerintahan. Dalam praktiknya, penyalahgunaan kekuasaan terjadi tidak lepas pula dari keikutsertaan para birokrat kementerian yang menjadi pelaksana dari pengelolaan anggaran maupun pengelolaan pembelian barang dan jasa.
Layaknya gunung es, setiap kasus yang terkuak tampaknya telah mengakar pada setiap instansi kementerian. Itulah mengapa, menjadi penting diketahui, seberapa jauh integritas menjadi sikap hidup dan tindakan keseharian kerja para birokrat di setiap instansi negara, khususnya kementerian?
Integritas Kementan
Jika becermin pada hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK yang dilakukan oleh KPK pada tahun 2021 dan 2022, apa yang terjadi pada kasus penangkapan menteri terkait korupsi tampaknya menjadi puncak dari pembenaran sudah sedemikian bobroknya kualitas integritas birokrat. Selain menteri yang menjadi sosok nomor satu dalam kementerian, potensi praktik korupsi para birokrat negara terindikasikan sudah menjadi pemandangan yang tidak lagi langka, termasuk dalam tubuh Kementerian Pertanian.
Menariknya, gambaran problem integritas aparatur negara tersebut tidak hanya dilandaskan pada pertanyaan-pertanyaan yang berdasarkan persepsi terhadap korupsi, tetapi dari sisi praktik dan pengalaman keseharian pun diakui terjadi oleh para aparat negara itu sendiri yang menjadi responden survei.
Setidaknya, terdapat tujuh aspek integritas yang terkuak dari pengakuan para aparatur negara, di antaranya berkait dengan sisi-sisi bernuansa koruptif dalam transparansi layanan, perdagangan pengaruh, pengelolaan anggaran, pengelolaan pembelian barang dan jasa, pengelolaan sumber daya manusia, sosialisasi korupsi, hingga integritas dalam pelaksanaan tugas aparatur negara.
Salah satu persoalan yang mengkhawatirkan, terkait dengan terjadinya perdagangan pengaruh (trading in influence). Problem demikian terkait dengan adanya intervensi dari pihak tertentu yang berhubungan dengan penentuan program atau kegiatan, aspek pemberian izin, penegosasian sanksi ataupun denda, penentuan kebijakan bantuan pemerintah, hingga kebijakan dalam pengelolaan sumber daya manusia kementerian.
Survei terhadap 23.891 pegawai negara di 33 kementerian menunjukkan tidak ada satu pun institusi kementerian yang terbebaskan dari persoalan ini. Dari enam indikator persoalan perdagangan pengaruh yang dikaji, 16,7-26,1 persen problem demikian diakui terjadi pada setiap kementerian.
Pada level Kementerian Pertanian, yang dipimpin Syahrul Yasin Limpo, berkisar 16,9-23,1 persen. Persoalan tampak mengkhawatirkan dalam tubuh birokrat kementerian, berhubungan dengan potensi korupsi pada pengadaan barang dan jasa (PBJ). Pada persoalan ini, ”penyalahgunaan anggaran” dalam proses PBJ terkuak pada sebagian aparat negara.
Dalam survei ini, misalnya, sebagian aparat mengungkapkan jika adanya campur tangan pihak lain yang memengruhi pemenangan tender pengadaan barang dan jasa. Begitu pula, hampir sepertiga bagian dari aparat menyatakan jika pemenang paket pengadaan barang atau jasa merupakan peserta yang memberikan sesuatu (uang, barang, fasilitas, dan sejenisnya) kepada pihak terkait. Selain itu, mereka pun menyatakan jika penyedia barang atau jasa pemenang pengadaan, memiliki hubungan kedekatan dengan pejabat (kekeluargaan, organisasi, pendukung politik atau tim sukses).
Tidak kurang mengejutkan, jika hampir separuh bagian aparat Kementan yang menjadi responden survei mengungkapkan jika mereka sendiri meragukan kualitas barang dan jasa yang diperoleh. Lebih dari sepertiga bagian aparat menyatakan jika kualitas yang didapatkan pada kenyataannya tidak sesuai dengan harga dan dianggap kemahalan. Bahkan, tidak jarang pula para aparat Kementan yang menganggap hasil pengadaan barang dan jasa tidak bermanfaat.
Problematik
Persoalan-persoalan dalam tubuh internal Kementan, seperti proses rekrutmen, promosi, dan mutasi pegawai, pun tidak kurang banyak dipersoalkan. Pengaruh kedekatan (nepotisme), baik yang terjalin atas dasar unsur kekerabatan, kedekatan pertemanan, kesamaan almamater, golongan, ataupun organisasi, tersirat dalam proses kepegawaian.
Pada berbagai aspek penilaian lainnya, problem-problem integritas dalam tugas tugas layanan yang dilakukan aparat juga terungkap. Penerimaan imbal dalam bentuk uang, barang dan fasilitas masih kerap terjadi.
Tidak jarang pula dijumpai adanya pengakuan jika para pegawai menerima honor/uang transpor lokal/perjalanan dinas yang tidak sesuai dengan pertanggungjawaban yang ditandatangani. Atau sebaliknya, adanya pegawai yang membuat kuitansi, biaya transportasi, dan biaya lain dalam perjalanan dinas tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Bahkan, yang juga mengejutkan, hampir dua pertiga (64,3 persen) responden pegawai Kementan mengakui jika konflik kepentingan terjadi, seperti pernah menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi mereka. Proporsi yang terjadi pada Kementan relatif lebih tinggi dari rata-rata keseluruhan aparat kementerian.
Segenap pengakuan dari kalangan aparat negara yang terjaring survei ini menunjukkan jika wajah birokrat masih tidak lepas dari persoalan integritas. Penetapan para menteri sebagai tersangka kasus korupsi menampilkan sisi lain kabinet yang nyatanya masih problematik. (LITBANG KOMPAS)