Ekonomi Digital Cenderung Semu, Didominasi Komoditas Impor
Majunya ekonomi digital di Indonesia terkesan semu karena mayoritas barang yang diperdagangkan berasal dari komoditas impor sehingga membuat negeri ini menjadi pasar bagi produk-produk asing.
Digitalisasi ekonomi berpotensi besar mendorong percepatan perekonomian nasional. Dengan penduduk yang banyak, barang dan jasa hasil produksi dalam negeri seharusnya dapat diperdagangkan untuk meningkatkan kemakmuran bangsa. Hanya saja, potensi besar ini kini justru menguntungkan importir dan produsen produk asing.
Masifnya kemajuan teknologi telah mendorong terwujudnya ekosistem digital. Kehidupan warga kian akrab dengan digitalisasi, mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, hiburan, hingga perdagangan. Adopsi digital kian meluas dan membentuk ekosistem ekonomi digital yang pada gilirannya turut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2021, ekonomi digital telah menyumbang sekitar 4 persen pada produk domestik bruto (PDB) nasional. Secara angka, kontribusi ini memang relatif rendah. Namun, data Kementerian Keuangan yang dielaborasikan dari data Google, Temasek, dan Bain & Company 2021 mengungkapkan, valuasi ekonomi digital Indonesia pada 2021 sudah mencapai 70 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.000 triliun.
Kontribusi ekonomi digital ini diperkirakan akan terus meningkat. Pertumbuhannya diproyeksikan mencapai 20 persen per tahun hingga pada tahun 2025 akan menjadi sebesar 146 miliar dollar AS. Dengan nominal sebesar itu, kontribusinya pada ekonomi nasional diperkirakan melonjak dua kali lipat dari capaian tahun 2021. Dalam lingkup negara ASEAN sendiri, ekonomi digital Indonesia tercatat sebagai yang paling besar.
Selama ini ekonomi digital Indonesia didominasi oleh layanan perdagangan digital atau e-commerce. Sebagai gambaran, valuasi aktivitas ekonomi e-dagang atau e-commerce tahun 2021 mencapai 53 miliar dollar AS atau sekitar tiga per empat dari total kegiatan ekonomi digital nasional. Pada tahun 2030, diperkirakan besarannya meningkat hingga mencapai dua kali lipatnya. Hal ini salah satunya ditopang oleh sisi kepraktisan yang ditawarkan dalam bertransaksi sehingga e-dagang atau e-commerce kian berkembang secara akseleratif.
Baca juga: Antisipasi Barang Impor Ilegal di E-dagang, Pemerintah Akan Perketat Arus Masuk
Perdagangan digital diproyeksikan akan semakin melesat seiring dengan kian melonjaknya jumlah pengguna e-commerce di Indonesia. Merujuk data Statista, pengguna perdagangan digital Indonesia tahun ini diperkirakan 196,47 juta orang. Bila di rata-rata, terjadi, peningkatan 14,5 persen sepanjang lima tahun terakhir.
Tingginya lonjakan transaksi daring ini berkaitan erat dengan semakin tingginya penetrasi internet di Indonesia. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, 215,63 juta orang Indonesia telah terpapar internet.
Gempuran impor
Dalam kondisi ideal, potensi pasar digital yang besar ini turut mendorong kencangnya pertumbuhan ekonomi. Perdagangan digital yang tak terbatas oleh ruang dan waktu juga membuka peluang usaha di seluruh Nusantara untuk memperluas jangkauannya, terutama kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Hanya saja, belum semua pelaku usaha di Indonesia menyasar peluang pasar digital itu. Dalam publikasi Statistik E-Commerce 2022 tercatat, hanya sepertiga (34,1 persen) usaha di Indonesia yang telah masuk dalam ekosistem perdagangan digital. Sisanya masih menerapkan sistem konvensional.
Sebagian besar dari mereka mengaku lebih nyaman berjualan secara offline. Namun, ada juga yang mengaku kurangnya pemahaman tentang teknis perdagangan digital. Di sisi lainnya, sebaran usaha yang mengadopsi digitalisasi pun masih terpusat di Pulau Jawa.
Dengan kata lain, adopsi perdagangan digital oleh pelaku usaha Indonesia masih minim. Bahkan, tahun 2019, Kementerian Perdagangan menyebutkan hanya 6-7 persen produk UMKM Indonesia yang diperdagangkan secara digital di lokapasar (marketplace). Mayoritas barang yang diperdagangkan lebih banyak berasal dari barang impor. Ironis, majunya ekonomi digital menjadi terkesan semu karena hanya membuat Indonesia menjadi pasar komoditas impor.
Gempuran produk luar negeri tersebut salah satunya tampak dari kian meningkatnya impor barang jadi di Tanah Air. Tahun lalu, misalnya, 6.465.000 ton barang konsumsi masuk ke Indonesia dengan valuasi sebesar 19.832 juta dollar AS. Barang impor itu berupa barang jadi yang siap dikonsumsi oleh rumah tangga. Secara nominal, nilai impor barang konsumsi memang turun 1,7 persen. Namun, volume barangnya meningkat 10 persen. Artinya, jumlah produk buatan luar negeri yang masuk ke Indonesia kian banyak dengan harga yang sangat kompetitif (murah).
Baca juga: Pemerintah Atur Jenis Barang Impor yang Diperjualbelikan di Platform Daring
Fenomena tersebut sangat memungkinkan terjadi di Indonesia, di mana perdagangan digital kian terbuka, tidak mengenal jarak, dan dapat diakses siapa pun. Sebagai gambaran, konsumen bisa langsung membeli barang buatan luar negeri yang dikirim langsung dari negara bersangkutan melalui marketplace. Konsumen juga dapat membeli barang tidak secara langsung atau membeli dari penjual di dalam negeri atau reseller yang memperdagangkan barang-barang impor.
Ada berbagai jenis komoditas yang diimpor dari asing dan diperdagangkan melalui e-commerce. Jenis produk konsumsi yang paling banyak didatangkan dari luar negeri adalah makanan dan minuman untuk rumah tangga, baik yang sudah diolah maupun yang berupa bahan mentah. Proporsinya hampir 40 persen dari total impor barang konsumsi. Produk-produk ini juga sering dijumpai di lokapasar, misalnya mi instan, biskuit, susu kemasan, hingga permen. Besaran proporsi impor barang konsumsi ini lantaran makanan dan minuman jadi merupakan salah satu produk yang paling banyak dicari para pelanggan daring.
Pada gilirannya, besarnya impor makanan dan minuman itu akan menjadi pengganjal kemajuan perekonomian nasional. Ini karena makanan dan minuman merupakan salah satu produk utama industri pengolahan Indonesia. Dari 16,3 persen kontribusi manufaktur pada PDB nasional, industri makanan dan minuman menyumbang 6,4 persen. Tak hanya industri besar dan sedang, UMKM Indonesia juga didominasi oleh produk pangan. Artinya, Indonesia sebenarnya punya peluang besar untuk memperdagangkan produk pangan dalam perdagangan digital karena produknya melimpah dan permintaannya tinggi.
Selain makanan dan minuman, produk konsumsi impor lainnya yang membanjiri pasar dalam negeri adalah produk tahan lama, seperti pakaian, alas kaki, alat elektronik, hingga kendaraan. Untuk alat elektronik dan kendaraan masih cukup wajar jika didatangkan dari luar negeri lantaran Indonesia belum cukup mampu memproduksinya secara mandiri dengan tingkat kandungan lokal hingga 100 persen.
Namun, untuk produk lainnya, seperti pakaian dan alas kaki yang juga marak didatangkan dari luar negeri, akan berdampak serius pada industri di dalam negeri. Sebab, industri ini menjadi salah satu andalan industrialisasi di Indonesia dengan output produk yang sangat melimpah dan menyerap banyak tenaga kerja.
Implementasi kebijakan
Jika serbuan komoditas impor semakin besar dan mendominasi, cita-cita untuk mengakselerasi kemajuan dan keuntungan ekonomi digital menjadi dipertanyakan. Perdagangan digital atau e-commerce yang terus berkembang, tetapi dikuasai oleh produk-produk asing, akan berdampak serius pada degradasi ekonomi dalam negeri. Indonesia hanya akan menjadi pasar dari perdagangan digital. Potensi besar yang selama ini dimiliki juga akan semakin tergerus.
Baca juga: Pasar Produk UMKM Tergerus Barang Impor
Pada gilirannya, penyerapan tenaga kerja juga akan turut terdampak. Usaha kecil dan menengah dalam negeri pun akan kian terancam. Ditambah lagi, masuknya korporasi besar yang juga memanfaatkan media sosial sebagai lapak untuk memasarkan komoditas perdagangan mereka seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Merespons hal tersebut, pemerintah baru saja menerbitkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 tahun 2020 menjadi Permendag No 31/2023. Dalam beleid yang baru itu disebutkan bahwa barang yang didatangkan langsung dari luar negeri minimal senilai 100 dollar AS per unit. Sayangnya, kebijakan ini belum diimplementasikan secara tegas di lapangan. Sejumlah produk luar negeri masih bisa ditemukan di lokapasar dan konsumen bisa langsung memperolehnya meski nilai barangnya kurang dari 100 dollar AS. Bahkan, hanya senilai puluhan ribu rupiah pun juga marak diperdagangkan secara daring.
Selain mengatur tentang nilai minimal barang, peraturan itu juga melarang penggunaan media sosial sebagai media untuk berdagang. Media sosial hanya bisa digunakan sebagai media promosi atau dengan kata lain kegiatan social commerce dilarang. Salah satu hal mendasar yang dipertimbangkan bukanlah pada media sosial atau pola penggunaan aplikasinya, melainkan lebih menekankan pada asal-muasal produk yang diperdagangkan.
Oleh karena itu, pemberian edukasi kepada pelaku usaha mengenai pemanfaatan teknologi digital perlu digencarkan mengingat masih minimnya pemain lokal dalam ekosistem digital. Indonesia punya potensi pasar sangat besar yang mampu menyejahterakan masyarakat melalui transaksi daring.
Tentu saja, upaya ini ditempuh dengan mendorong masifnya transaksi perdagangan terhadap produk-produk lokal berkualitas karya anak bangsa. Bukan sebaliknya, justru mendorong kemajuan perdagangan barang-barang impor yang identik berharga murah yang mengancam eksistensi industrialisasi dan UMKM di dalam negeri. (LITBANG KOMPAS)