Pentingnya Pembangunan Infrastruktur Transportasi Massal di ASEAN
Sejumlah kota metropolitan di ASEAN menghadapi berbagai persoalan urban, seperti kemacetan dan polusi udara, sehingga perlu mengoptimalkan layanan transportasi massal untuk mengatasi permasalahan ini.
Oleh
YULIUS BRAHMANTYA PRIAMBADA
·4 menit baca
Pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN satu dekade terakhir menjadi katalisator munculnya sejumlah kota metropolitan di Asia Tenggara. Namun, sejumlah kota itu masih menghadapi persoalan urban, seperti kemacetan dan polusi udara. Meningkatkan layanan transportasi umum perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini.
Sepanjang 10 tahun terakhir, perekonomian ASEAN menunjukkan tren yang positif. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan secara konsisten kontribusi ASEAN terhadap produk domestik bruto (PDB) dunia, yakni dari 3,0 persen pada 2010 menjadi 3,6 persen pada 2022. Di samping itu, rata-rata pertumbuhan ekonomi ASEAN mencapai 3,98 persen. Angka ini 1,38 persen lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu 2,6 persen. Negara-negara ASEAN pun juga dinilai cukup tangguh menghadapi berbagai tantangan perekonomian dunia (Kompas.id, 7/9/2023).
Pertumbuhan ekonomi tersebut berdampak luas bagi kemajuan kawasan ASEAN. Hanya saja, kemajuan ini menimbulkan sejumlah ekses, salah satunya arus migrasi yang cukup masif menuju kota-kota besar. Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada 2000 hanya ada tiga kota di ASEAN dengan penduduk di atas 5 juta jiwa. Selang hampir dua dekade, jumlah ini bertambah dua kali lipat menjadi tujuh kota pada 2018.
Dari ketujuh kota tersebut, tiga di antaranya dapat dikategorikan sebagai megacities karena berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Ketiga kota itu adalah Manila, Jakarta, dan Bangkok. Adapun jumlah penduduk ASEAN yang tinggal di daerah urban diproyeksikan akan mencapai 405 juta jiwa atau 55,7 persen dari total penduduk pada 2030.
Urbanisasi yang masif dapat memicu sejumlah potensi masalah sosial-ekonomi apabila tidak disertai dengan perencanaan pembangunan yang tepat. Dua persoalan yang kini sudah mulai dirasakan oleh kota-kota besar ASEAN adalah kemacetan dan tingkat polusi udara yang tinggi.
Berdasarkan Tomtom Traffic Index, kemacetan di sejumlah kota besar ASEAN terbilang cukup parah. Pada 2019, yakni sebelum pandemi Covid-19, tiga megacities ASEAN masuk ke dalam 10 besar kota termacet di Asia. Pada 2022, kondisi kemacetan di tiga kota tersebut mulai membaik meski rata-rata waktu tempuh untuk jarak 10 kilometer (km) masih berada di atas 20 menit.
Kemacetan di kota besar di ASEAN, menurut laporan The Korea Transport Institute (KOTI), pada 2014 didorong oleh beberapa hal. Yang paling umum adalah tingginya penggunaan sepeda motor, berkurangnya penggunaan transportasi publik, serta kebijakan transportasi yang berorientasi pada pembangunan jalan dan kendaraan pribadi.
Hasil survei dari Pew Research Center pada 2014 memperlihatkan, negara-negara ASEAN, seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam, memiliki tingkat kepemilikan sepeda motor tertinggi di antara negara-negara yang disurvei, yakni mencapai lebih dari 80 persen. Adapun rasio jumlah sepeda motor dibandingkan dengan penduduk di ASEAN pada 2020 mencapai 363 sepeda motor per 1.000 penduduk.
Tingginya kepemilikan sepeda motor tersebut seiring dengan meningkatnya daya beli masyarakat karena membaiknya kondisi perekonomian. Fenomena ini juga didukung oleh kebijakan transportasi yang cenderung mengutamakan kendaraan pribadi dan pembangunan jalan. Alhasil, masyarakat makin lekat dengan kendaraan pribadi daripada mengutamakan transportasi massal.
Menumpuknya kendaraan pribadi di jalanan akhirnya menimbulkan permasalahan selanjutnya, yaitu meningkatnya kadar emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor transportasi. Mengacu pada laporan dari ASEAN pada 2019, sektor transportasi di kawasan ASEAN menghasilkan 342 juta ton karbon dioksida ekuivalen pada 2015 atau sekitar seperempat dari emisi karbon dioksida terkait dengan penggunaan energi. Badan Energi Internasional (IEA) mengestimasikan setidaknya sekitar 92 persen dari emisi GRK itu disumbang oleh transportasi jalanan.
Kemacetan dan polusi tersebut pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap semangat pertumbuhan ekonomi ASEAN. Laporan ASEAN pada 2022 menyebutkan, kerugian ekonomi akibat kemacetan di daerah perkotaan dapat mencapai 2-5 persen dari PDB negara-negara ASEAN. Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, terdapat sekitar 321.200 kematian akibat polusi udara di ASEAN pada 2019.
Transportasi umum
Sejauh ini, salah satu solusi yang dirasa relatif tepat menjawab persoalan kemacetan dan polusi ini adalah dengan membangun layanan transportasi umum yang andal, terjangkau, dan menyeluruh. Hanya saja, kondisi transportasi publik di ASEAN masih cukup timpang antara satu negara dan negara lainnya.
Hal itu dapat dilihat dari Skor Infrastruktur Transportasi yang dibuat oleh World Economic Forum pada 2019. Dalam pemeringkatan tersebut, Singapura didaulat sebagai negara dengan skor terbaik di bidang infrastruktur transportasi. Namun, kondisi berbeda terjadi di negara ASEAN lainnya. Dari 141 negara yang dinilai, mayoritas anggota ASEAN berada di papan tengah, seperti Indonesia yang berada di peringkat ke-55, Laos pada peringkat ke-87, dan Filipina di posisi ke-102.
Keunggulan infrastruktur transportasi di Singapura itu disebabkan oleh konsistennya Pemerintah Singapura dalam mengembangkan layanan transportasi publik bagi warganya. Modernisasi transportasi publik Singapura dimulai sejak 1987 melalui layanan Singapore Mass Rapid Transit (MRT). Pada 2019, layanan MRT Singapura sudah memiliki panjang jaringan hingga 200 km dan mampu mengangkut hingga 3,3 juta penumpang setiap harinya.
Tidak heran, berdasarkan Deloitte City Mobility Index 2020, sebanyak 44 persen masyarakat Singapura menggunakan transportasi publik untuk kegiatan sehari-hari. Jumlah ini empat kali lipat lebih besar dari Kota Jakarta yang hanya 10 persen warganya memilih memakai transportasi umum.
Keberhasilan Singapura ini menjadi acuan bagi kota-kota besar lainnya di ASEAN untuk menyediakan transportasi publik yang andal sehingga mampu mendorong warganya beralih menggunakan angkutan umum. Guna mewujudkan cita-cita ini, tentu tidaklah mudah karena memerlukan investasi yang besar dan komitmen yang kuat dari pemerintah dalam mengatur tata ruang kotanya.
Meskipun belum seakseleratif Singapura, pelan-pelan sejumlah negara ASEAN mulai menunjukkan komitmen dalam mengembangkan transportasi publik di kota besarnya masing-masing. Bangkok terus mengembangkan layanan BTS Skytrain dan kereta komuter SRT hingga mencapai 242,3 km pada 2023. Selain itu, Jakarta baru-baru ini juga meresmikan layanan LRT Jabodebek sepanjang 44,43 km. Ada pula Ho Chi Minh City yang tengah menanti kehadiran HCMC Metro pada 2024.
Sektor transportasi menjadi salah satu kontributor emisi pencemar udara di kota-kota besar. Penggunaan transportasi membawa emisi polutan berupa karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), dan partikulat PM 2,5. Karena itu, pembangunan infrastruktur layanan transportasi publik ini diharapkan dapat menekan beban emisi yang dibawa sektor transportasi.
Semangat pembangunan infrastruktur berbasis transportasi massa tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Hal ini dapat menjadi modal yang baik untuk terus mendorong kemajuan perekonomian yang beradab dan inklusif bagi seluruh warga kota. (LITBANG KOMPAS)