Polemik Buangan Air Pengolahan Limbah Radioaktif ke Lautan Pasifik
Air pengolahan limbah radioaktif dari Fukushima Daiichi dilepas ke Samudra Pasifik dengan diperkuat hasil kajian ilmiah.
Langkah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi membuang air olahan limbah radioaktif ke Samudra Pasifik menuai polemik. Selain mendapat tekanan dari warga setempat, langkah ini juga mendapat protes dari sejumlah negara, seperti China dan negara-negara di wilayah Pasifik. Meskipun demikian, air limbah radioaktif itu tetap dilepas dengan diperkuat hasil kajian ilmiah.
Kasus pembuangan limbah radioaktif tersebut merupakan serangkaian proses panjang pascabencana alam 12 tahun silam. Pada 11 Maret 2011, Jepang dilanda gempa besar berkekuatan magnitudo 9 yang memicu tsunami di sebagian wilayah pantai Jepang. Bahkan, di kawasan pantai timur laut Jepang terjadi tsunami dengan ketinggian lebih dari 10 meter. Akibatnya, terjadi kehancuran infrastruktur yang sangat besar, menimbulkan korban tewas hingga sekitar 20.000 jiwa, serta menyebabkan korban luka-luka lebih dari 6.000 orang.
Salah satu infrastruktur yang terdampak dari tsunami itu adalah Fukushima Daiichi Nuclear Power Station (FDNPS) yang dioperasikan oleh Tokyo Electric Power Company (Tepco). Gempa bumi dan tsunami saat itu telah menyebabkan kerusakan infrastruktur operasional dan pendukung keselamatan di lokasi FDNPS. Selain itu juga terjadi kerusakan jalur listrik di sekitar Fukushima Daiichi sehingga suplai listrik terputus baik dari dalam maupun luar lokasi FDNPS.
Terputusnya suplai listrik itu sangat berbahaya karena memiliki fungsi vital untuk stabilisasi mendinginkan tabung reaktor. Dalam standar operasi pembangkit energi nuklir, suplai listrik untuk keamanan reaktor itu terdiri atas tiga hal, yakni listrik dari grid jaringan, genset listrik untuk cadangan apabila jaringan grid terputus, dan baterai listrik untuk backup akhir. Sayangnya, pada kasus bencana alam Jepang itu, ketiga suplai listrik untuk FDNPS terputus dan mati. Akibatnya, reaksi nuklir terus terjadi di dalam tabung reaktor yang pendinginnya tidak berfungsi sehingga suhu panasnya terus meningkat. Proses ini dapat menyebabkan tabung reaktor meleleh atau bahkan meledak sehingga menyebabkan radiasi nuklir di sekitarnya.
Baca juga : Negara Pasifik Merasa Diabaikan Jepang
Pada saat itu, menurut laporan organisasi atom internasional, IAEA, operator di FDNPS telah berupaya semaksimal mungkin untuk mempertahankan kontrol pada fasilitas tersebut. Sayangnya, langkah ini tak berhasil dan tetap menimbulkan leleh teras reaktor pada unit reaktor 1, 2, dan 3. Selanjutnya, terjadi ledakan di dalam gedung reaktor pada unit 1, 3, dan 4 sehingga merusak struktur bangunan dan peralatan serta melukai personel. Dampaknya, dari keenam unit reaktor di Fukushima Daiichi, empat di antaranya mengalami permasalahan teknis serius yang memicu radiasi nuklir.
Radiasi nuklir saat itu meradiasi atmosfer, tanaman, tanah, air, dan lautan. Bahkan, ada sejumlah kontaminan yang langsung masuk ke dalam lautan di sekitar FDNPS. Warga dalam radius 20 kilometer dari lokasi Fukushima Daiichi dan di area lain yang ditentukan harus dievakuasi. Selain itu, warga yang berada dalam radius 20–30 kilometer diinstruksikan untuk berlindung sebelum kemudian disarankan untuk melakukan evakuasi secara sukarela. Pembatasan diberlakukan pada distribusi dan konsumsi makanan serta air minum di sekitar kawasan tersebut.
Kontaminasi radioaktif
Sejak kecelakaan pada Maret 2011, diperlukan banyak air untuk mendinginkan bahan bakar nuklir yang meleleh dan juga puing-puing bahan bakar di fasilitas Fukushima Daiichi. Dengan status terkontaminasi radioaktif, segala sesuatu yang ada di fasilitas tersebut menjadi rentan mengontaminasi. Bahkan, air hujan yang jatuh di kawasan itu menjadi rawan terkontaminasi sehingga ketika meresap ke dalam tanah sekalipun menjadi berbahaya.
Oleh karena itu, air yang dimanfaatkan untuk proses pendinginan dan air yang terkontaminasi di FDNPS diproses melalui penyaringan lebih lanjut dengan sistem Advanced Liquid Processing System (ALPS). Proses ini bertujuan menghilangkan sebagian besar kontaminan radioaktif sebelum disimpan atau dibuang secara aman ke area berikutnya.
Berdasarkan laporan presentasi Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (Himni), APLS adalah sistem pemompaan atau penyaringan yang menggunakan serangkaian reaksi kimia untuk menghilangkan 62 radionuklida dari air yang terkontaminasi. Sayangnya, ALPS ini tidak mampu menghilangkan radionuklida tritium dari air yang terkontaminasi. Radionuklida adalah isotop yang memancarkan zat radioaktif atau memiliki energi nuklir berlebih sehingga membuatnya tidak stabil. Radionuklida dapat memancarkan radiasi seperti partikel alfa, partikel beta, atau sinar gamma yang dapat berefek negatif pada sejumlah hal.
Baca juga : Pascapembuangan Limbah Fukushima, China Stop Impor Hasil Laut dari Jepang
Tritium adalah bentuk radioaktif dari hidrogen yang terjadi secara alami dan diproduksi di atmosfer saat sinar kosmis bertabrakan dengan molekul udara. Tritium memiliki dampak radioaktif paling rendah di antara semua radionuklida yang terjadi secara alami di air laut. Tritium adalah salah satu produk samping dari operasi PLTN.
Air yang mengandung tritium memiliki waktu paruh biologis yang relatif singkat di dalam tubuh manusia, yakni berkisar 7-14 hari. Waktu paruh biologis dari suatu bahan kimia dalam organisme hidup adalah waktu yang diperlukan dari setengah bahan kimia itu untuk habis atau dikeluarkan dari dalam tubuh. Tritium mengeluarkan partikel beta yang lemah, yaitu elektron dengan energi rata-rata 5,7 kiloelektron-volt (keV). Elektron tritium ini dapat menembus udara, tetapi tidak dapat menembus jaringan kulit manusia. Radiasi tritium dapat berbahaya bagi manusia ketika terpapar dalam dosis besar, terutama melalui pernapasan ataupun tertelan.
Secara teknis, sangat sulit menghilangkan air yang mengandung tritium. Pasalnya, tritium adalah isotop hidrogen di mana air yang mengandung tritium memiliki sifat kimia hampir identik dengan air yang memiliki kandungan hidrogen biasa. Teknologi yang ada saat ini hanya dapat mengambil tritium berkonsentrasi tinggi di dalam air dengan jumlah sedikit, seperti halnya di dalam fasilitas fusi nuklir. Hal ini berbeda dengan kasus Fukushima Daiichi di mana dalam volume air yang besar itu, kandungan konsentrasi tritiumnya relatif rendah sehingga sulit untuk dipisahkan dengan teknologi terkini.
Pengolahan dan pembuangan
Saat ini, air terkontaminasi di Fukushima Daiichi yang sudah diolah dengan sistem APLS disimpan di lokasi yang telah disiapkan khusus. Per Juni 2022, operator Tepco menginstal 1.000 tangki di PLTN Fukushima untuk menampung sekitar 1,3 juta meter kubik air yang telah diolah. Sejak tahun 2011, volume air yang disimpan terus meningkat dan kapasitas tangki kian mendekati maksimal. Oleh karena itu, Tepco memerlukan solusi pembuangan jangka panjang untuk membantu memastikan kelanjutan decommissioning fasilitas nuklir di FDNPS.
Gayung bersambut, pada tahun 2011, Pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan dasar yang menjelaskan arah untuk membuang air yang telah diolah melalui pembuangan terkendali ke laut yang akan dimulai pada tahun 2023. Tentu saja, kebijakan ini harus mendapat persetujuan dari badan pengawas tenaga atom dunia, IAEA, dan juga regulator di negara bersangkutan.
Rencana tersebut disikapi oleh IAEA dengan membentuk gugus tugas yang melibatkan sejumlah pakar internasional dari 11 negara. Gugus tugas itu melibatkan sejumlah ahli di berbagai bidang dari Argentina, Australia, Kanada, China, Perancis, Kepulauan Marshall, Korea Selatan, Rusia, Amerika Serikat, Britania Raya, dan Vietnam.
Baca juga : Jepang Kebanjiran Teror dari China, Hubungan Tokyo-Beijing Memanas
Sejumlah hasil kajiannya, terutama pada kelompok flora dan fauna di sekitar FDNPS, menunjukkan bahwa dampak yang masuk dalam kategori aman. Dampak paparan radiasi yang terjadi pada ikan pipih, kepiting, dan rumput laut, misalnya, sekitar 0,0000007 miligray (mGy) per hari. Angka paparan radiasi ini sangat jauh di bawah ukuran standar keamanan umum internasional yang berkisar 1-10 mGy per hari. Bahkan, untuk kepiting, standar baku amannya berkisar 10-100 mGy per hari. Artinya, paparan radiasi pada sejumlah flora dan fauna yang diteliti sangat minim dan tidak berbahaya bagi makhluk hidup tersebut.
Temuan IAEA itu secara tidak langsung memberikan lampu hijau bagi Jepang untuk melepas air olahan APLS-nya ke lautan. Meskipun demikian, tinjauan IAEA tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengikat Pemerintah Jepang. Keputusan dikembalikan lagi kepada Pemerintah Jepang untuk menerapkan kebijakannya sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan IAEA. Selanjutnya, IAEA akan terus melakukan pengawasan dan mengevaluasi kebijakan melepas air olahan ALPS Fukushima Daiichi itu demi melindungi manusia dan lingkungan dari efek berbahaya radiasi ionisasi.
Kebijakan internal Jepang sudah bulat, mulai membuang air olahan ALPS di lautan Pasifik sejak 24 Agustus lalu. Berbagai kritik, tekanan, dan juga embargo sejumlah komoditas Jepang di beberapa negara menjadi tantangan diplomatik yang kian kompleks dan harus segera diatasi Jepang. Tingginya atensi publik dan dunia terhadap persoalan ini menunjukkan bahwa energi nuklir membutuhkan standar yang sangat tinggi dalam keamanan dan keselamatannya. Air yang terkontaminasi radiasi akibat bencana alam 12 tahun silam pun kini menuai polemik yang memicu ketegangan antarbangsa. (LITBANG KOMPAS)