Pascapembuangan Limbah Fukushima, China Stop Impor Hasil Laut dari Jepang
Meski ditentang di dalam dan luar negeri, Jepang tetap membuang limbah dari tiga reaktor nuklir PLTN Fukushima Daiichi yang rusak. China, Hong Kong, dan Makau langsung melarang impor hasil laut dari Jepang.

Ikan tiruan dipajang saat unjuk rasa di Korea Selatan menuntut penghentian keputusan Jepang melepaskan air radioaktif yang telah diolah ke laut dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima yang rusak, Kamis (24/8/2023).
TOKYO, KAMIS - Jepang mulai melepaskan air radioaktif olahan dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi ke Samudera Pasifik. Pembuangan tahap pertama akan sebanyak 7.800 meter kubik atau setara dengan air yang memenuhi tiga kolam renang ukuran Olimpiade. Proses pembuangan akan berlangsung sekitar 17 hari. Negara-negara tetangga Jepang seperti Korea Selatan, Korea Utara, dan China sudah melayangkan protes dan mendesak Jepang menghentikan pelepasan limbah olahan ini.
China, Hong Kong, dan Makau bahkan sudah melarang impor hasil laut apa pun dari Jepang. “Tindakan Jepang membuang air yang terkontaminasi itu tidak bertanggungjawab, ilegal, dan tidak bermoral. Tidak ada yang bisa membuktikan limbah dan bahan-bahan nuklir itu aman,” kata Jacay Shum (73), aktivis Hong Kong, yang menentang pembuangan air olahan itu.
Baca juga: Pelepasan Air Olahan PLTN Fukushima Tunggu Restu Nelayan
TEPCO, Kamis (24/8/2023), mengumumkan pelepasan air olahan itu sudah dimulai sejak pukul 13.03 waktu setempat dan tidak ditemukan adanya kelainan. Hasil tes operator PLTN Fukushima, Tokyo Electric Power Company atau TEPCO menunjukkan hasil tes bahwa air olahan yang dibuang itu mengandung sekitar 63 becquerel (satuan radioaktivitas) tritium per liter, jauh di bawah batas air minum Organisasi Kesehatan Dunia, yakni 10.000 becquerel per liter.
Meskipun demikian, China tetap melarang impor hasil laut dari Jepang karena sangat khawatir dengan risiko kontaminasi radioaktif yang dibawa makanan dan produk pertanian Jepang. China berpandangan Jepang belum membuktikan air olahan yang dibuang benar-benar aman.
Tuduhan ini dibantah Jepang yang mengkritik balik China karena menyebarkan tuduhan yang tidak berdasar secara ilmiah. “Jepang tidak akan merugikan masyarakat lokal bahkan masyarakat dunia karena kepentingannya sendiri,” sebut pernyataan tertulis Kementerian Luar Negeri Jepang.

Pemandangan dari udara ini menunjukkan pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi di Fukushima, Jepang, Kamis (24/8/2023), tak lama setelah operatornya Tokyo Electric Power Company Holdings TEPCO mulai melepaskan gelombang pertama air radioaktif yang telah diolah ke Samudera Pasifik.
Aman
Jepang bersikukuh air olahan dari Fukushima itu aman. Badan Energi Atom Internasional (IAEA), bulan lalu, sudah memberikan lampu hijau pelepasan karena menyimpulkan dampak yang ditimbulkan air olahan itu terhadap manusia dan lingkungan “dapat diabaikan”. Konsentrasi tritiumnya jauh di bawah batas standar WHO. Pelepasan air olahan ini merupakan langkah penting dalam penghentian operasional PLTN Fukushima Daiichi setelah tiga reaktornya hancur akibat gempa bumi berkekuatan 9,0 skala Richter dan gelombang tsunami pada 2011.
“Tidak akan ada dampak kesehatan apa pun. Tidak ada alasan ilmiah untuk melarang impor makanan Jepang apa pun itu,” kata Guru Besar Patologi Molekuler di Imperial College London, Geraldine Thomas.
Baca juga: 10 Tahun Setelah Tsunami, Fukushima Terseok-seok
Kementerian Lingkungan Hidup Jepang menjanjikan pemerintah Jepang akan terus melakukan pemantauan di sekitar area pelepasan air dan mempublikasikan hasilnya setiap minggu. Seluruh proses pelepasan air olahan itu diperkirakan akan memakan waktu hingga sekitar 30 tahun. Di lokasi PLTN Fukushima sendiri masih ada sekitar 1,3 juta ton air yang akan dilepaskan. Jumlah air ini bisa untuk mengisi 540 kolam renang ukuran Olimpiade.

Seorang konsumen melihat kemasan bungkus makanan laut impor dari Chili, Perancis, dan Kanada di dekat plakat dan monitor yang menunjukkan cara memasak ala Jepang, di supermarket Jepang di Beijing, China, Kamis (24/8/2023).
Untuk mengurangi kekhawatiran publik, IAEA sudah mengirimkan tim khusus ke PLTN Fukushima untuk memastikan proses pembuangannya dilakukan dengan cara aman dan transparan. Para ahli IAEA mengambil sampel dari kloter pertama air olahan yang siap dibuang. Analis independen IAEA mengonfirmasi bahwa konsentrasi tritium dalam air olahan yang dibuang jauh di bawah batas operasional 1.500 becquerel per liter.
Batas tersebut 40 kali lebih rendah dari standar keamanan nasional Jepang untuk kadar tritium dalam air yang sejalan dengan standar internasional sebesar 60.000 becquerel per liter. Angka ini juga sekitar tujuh kali lebih rendah dari batas yang ditetapkan WHO untuk air minum.
Baca juga: Pasifik Bukan Tempat Sampah Nuklir
IAEA juga mengatakan air yang mengandung tritium secara rutin dikeluarkan oleh PLTN di seluruh dunia. Menurut artikel di majalah Scientific American tahun 2014, tritium dianggap relatif tidak berbahaya karena radiasinya tidak cukup energik untuk menembus kulit manusia. Jika tertelan dalam kadar di atas kadar air yang dikeluarkan maka hal ini dapat meningkatkan risiko kanker.
Harian Financial Times menyebutkan tritium adalah isotop hidrogen yang diproduksi di reaktor nuklir dan juga dihasilkan secara alami oleh sinar kosmik di atmosfer. Waktu yang dibutuhkan 50 persen atom radioaktif untuk meluruh sekitar 12 tahun. Secara teknis tidak praktis memisahkan molekul air yang mengandung tritium dari molekul air yang tersusun dari hidrogen non-radioaktif karena keduanya identik secara kimia.

Seorang pedagang di kios pasar ikan grosir di Beijing, China, Kamis (24/8/2023). China melarang semua impor makanan laut Jepang karena pembuangan air limbah Fukushima dinilai langkah yang egois dari Jepang.
Sebaliknya, air olahan yang mengandung tritium akan diencerkan lebih dari 100 kali dengan air laut sebelum dibuang ke laut melalui pipa sepanjang 1 kilometer sehingga konsentrasi tritium akan menjadi sepertujuh dari standar air minum WHO.
Guru Besar Ilmu Lingkungan di Universitas Portsmouth, Jim Smith, yakin tidak ada ilmuwan di Inggris atau bahkan di seluruh dunia yang mempelajari proteksi radiologi yang menentang pembuangan air olahan Fukushima. Bahkan Smith mengatakan mestinya Jepang melakukannya sejak lama dan dengan lebih cepat.
Baca juga: Ingin Buang Air Paparan Radiasi Nuklir, Jepang Bujuk Kepulauan Pasifik
Berdasarkan standar isotop lain yang diproduksi di reaktor nuklir, seperti sesium, strontium, dan yodium, tritium hanya bersifat radioaktif lemah. Para pendukung pembuangan air olahan ini juga menyatakan jumlah tritium yang dilepaskan setiap tahun ke Samudera Pasifik dari masing-masing PLTN di China dan dan Korea Selatan adalah 2 hingga 10 kali lebih besar daripada yang dibuang Fukushima.
Hanya saja, orang masih tetap tidak bisa percaya dengan Jepang karena, kata Ketua Masyarakat Nuklir Hong Kong, Luk Bing-lam, tinjauan yang mendukung kesimpulan IAEA sangat bergantung pada data dari TEPCO dan catatan keamanan TEPCO dinilainya tidak terlalu bagus. Pemerintah Jepang memfokuskan pembelaannya terhadap pelepasan tritium yang relatif tidak berbahaya, sementara air limbah mengandung radionuklida yang lebih beracun dalam jumlah yang tidak diketahui jumlahnya.
“Tidak ada seorang pun yang benar-benar mengetahui dampak jangka panjang dari pelepasan air limbah dalam jumlah besar terhadap lingkungan alam,” ujarnya.
Stop impor
Menteri Perindustrian Jepang, Yasutoshi Nishimura, memohon China mencabut larangan impor hasil laut dari Jepang karena itu akan mengguncang industri hasil lautnya. Jepang mengekspor hasil laut atau produk akuatik senilai 600 juta dolar AS atau Rp 9,1 triliun ke China pada 2022 sehingga menjadikannya pasar terbesar bagi ekspor Jepang. Dan Hong Kong berada di urutan kedua. Penjualan ke China dan Hong Kong menyumbang sekitar 42 persen dari seluruh jumlah ekspor perairan Jepang pada 2022. China, Hong Kong, dan Makau melarang impor hasil laut Jepang dari 10 wilayah di Jepang.

Gambar yang diambil pada 30 Januari 2023 dan diterima dari Jiji Press ini menunjukkan ikan flounder yang dibesarkan dalam tangki menggunakan air yang diolah dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi.
Meski Jepang dan IAEA menjamin keamanan air olahan yang dibuang itu, kelompok nelayan Jepang memprotes keras karena selama bertahun-tahun mereka berusaha bangkit kembali memperbaiki reputasi mereka yang rusak akibat publik yang takut dengan radiasi dari hasil laut Jepang. “Kami hanya ingin agar masih bisa terus menangkap ikan,” kata Ketua Koperasi Perikanan Jepang dalam pernyataan tertulisnya.
Bersikap sama dengan China, Kementerian Luar Negeri Korea Utara menuntut agar pembuangan air olahan segera dihentikan karena itu merupakan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara Korea Selatan berbeda. Rakyatnya menentang pembuangan air olahan itu tetapi pemerintahnya tidak keberatan dari aspek ilmiah dan teknis pembuangan. Perdana Menteri Korea Selatan Han Duck-soo melarang impor produk perikanan dan makanan dari Fukushima dan ketentuan ini akan tetap berlaku sampai kekhawatiran masyarakat mereda.
Baca juga: Berlindung dari Bencana Terburuk Buatan Manusia
Pemerintah Malaysia juga sedang mengatasi kemungkinan risiko radiasi pada makanan yang diimpor dari Jepang dengan cara yang sama seperti yang dilakukan pada 2011. Harian the Star yang mengutip Penasihat Khusus Kementerian Kesehatan Malaysia, Kelvin Yii, yang menegaskan pemerintah akan memastikan keamanan pangan bagi rakyat.
Impor hasil laut Jepang yang berisiko tinggi akan menjalani pemeriksaan tingkat 4 untuk menyaring unsur radioaktif. Sampel makanan akan dikumpulkan dan dianalisis untuk memastikan batasan yang diperbolehkan sesuai peraturan pangan 1985. “Cara ini sudah kita lakukan pada impor pangan Jepang mulai dari bulan Mei 2011 sampai April 2012 setelah bencana di Fukushima,” ujarnya.

Wakil Menteri Pertanian dan Ketahanan Pangan, Malaysia, Chan Foong Hin, menyatakan saat ini tidak ada ikan laut hidup yang diimpor dari Jepang. Sementara untuk produk perikanan non-hidup apa pun dari Jepang akan tetap dipantau, termasuk pemeriksaan kesehatan, sertifikasi, dan radiasi pada pascaimpor.
Indonesia
Badan Pengawas Tenaga Nuklir Republik Indonesia (Bapeten) dalam pernyataan tertulisnya menyebutkan tritium bisa menimbulkan risiko kesehatan jika dikonsumsi langsung ke dalam tubuh dalam jumlah sangat besar karena radiasinya bisa merusak jaringan lunak dan organ dalam tubuh. Efek kesehatan dari tritium mirip dengan kerusakan sel yang disebabkan radiasi pengion yang dihasilkan dari peluruhan radioaktif dan berpotensi kanker.
Baca juga: Derita Tiada Akhir Korban Nuklir
Namun, risiko itu hanya akan terjadi jika seseorang terpapar tritium hingga miliaran becquerel. Batas “aman” tritium tidak lebih dari 100 Bq/gram dengan mempertimbangkan dosis efektif individu yang diterima masyarakat tidak lebih dari 10 μSv (mikro Sievert)/tahun.
Nilai konsentrasi tritium tersebut dapat dilampaui dengan persyaratan bahwa hasil kajian dosis terhadap pembuangan limbah tritium tidak akan memberikan dosis efektif ke masyarakat lebih dari 100 μSv/tahun. Pada nilai dosis yang diterima oleh masyarakat kurang dari 100 μSv/tahun, efek radiasi yang ditimbulkan dapat diabaikan. Secara total, kriteria dosis yang diterima masyarakat akibat suatu lepasan zat radioaktif ke lingkungan tidak boleh lebih dari 1 mSv/tahun.
Sesuai aturan internasional, WHO memberikan batasan tritium dalam air minum sebesar 10.000 Bq/L. Untuk beberapa negara batasan tritium dalam air minum adalah Amerika Serikat 740 Bq/L, Kanada 7.000 Bq/L, Swiss 10.000 Bq/L, dan Australia 76.103 Bq/L. “Bapeten berpandangan pembuangan limbah cair Fukushima ke laut dapat dimungkinkan selama kadar tritium maupun radionuklida lain yang terkandung di dalamnya berada di bawah batas konsentrasi yang ditetapkan nasional dan internasional,” sebut Bapeten. (REUTERS/AFP/AP)