Pasang Surut Penanganan Polusi Udara Jakarta
Berita tentang buruknya udara di Jakarta kemungkinan akan berulang seperti sebelumnya, yakni surut dan menghilang tanpa solusi penanganan yang tegas.
Buruknya kualitas udara di Jakarta sebenarnya sudah menjadi isu perbincangan sejak empat dekade silam. Sayangnya, bahasan terkait persoalan itu hanya terkesan timbul tenggelam tanpa penanganan yang serius dan berkelanjutan. Saat ini, munculnya berita tentang buruknya udara di Jakarta kemungkinan akan berulang seperti sebelumnya, yakni surut dan menghilang tanpa solusi penanganan yang tegas.
Selama dua minggu terakhir, kondisi Jakarta yang berkabut karena polusi udara menjadi perbincangan hangat baik di dunia maya maupun dalam keseharian masyarakat. Di media sosial dan berita daring bertebaran informasi tentang Jakarta yang menjadi kota dengan kualitas udara paling buruk di dunia.
Seperti pada Minggu (13/8/2023) pagi, situs pemantau kualitas udara IQAir menyatakan indeks kualitas udara Jakarta berada pada angka 172 atau termasuk dalam kategori tidak sehat. Jika dirunut ke belakang lagi, sebetulnya kualitas udara di Jakarta memang menunjukkan perburukan sejak beberapa minggu sebelumnya. Data indeks AQI sebulan terakhir, menunjukkan ada 16 hari kualitas udara Jakarta tergolong tidak sehat.
Fenomena tersebut patut menjadi kekhawatiran bersama karena salah satu indikator dari indeks AQI itu adalah kandungan PM 2,5 menunjukkan angka yang buruk, yaitu 96,8 mikrogram per kubik. Angka ini jauh dari standar WHO yang hanya 15 mikrogram per kubik per 24 jam. Partikel halus atau PM 2,5 merupakan polutan udara paling berbahaya dan menjadi faktor utama yang berkontribusi terhadap berbagai efek kesehatan, seperti asma, stroke, serta penyakit jantung dan paru-paru.
Laporan buruknya kualitas udara Jakarta itu kemudian berkembang menjadi isu yang besar karena di saat bersamaan muncul laporan gangguan pernapasan terutama pada anak-anak. Sejumlah anak di Jakarta dan sekitarnya mengalami batuk dan pilek berkepanjangan. Meskipun belum diketahui penyebab pastinya, ada dugaan bahwa penyakit itu turut diperparah oleh buruknya kualitas udara.
Isu tentang polutifnya udara Jakarta tersebut bagaikan siklus yang rutin terjadi secara periodik. Dalam periode waktu yang hampir sama pada tahun lalu, topik polusi udara Jakarta juga mencuat di percakapan media sosial. Lagi-lagi perbincangan itu muncul karena laporan kualitas udara Jakarta menjadi yang terburuk sedunia pada Juni tahun lalu, tepatnya pada Rabu (15/6/2022) dan Senin (20/6/2022). Secara spesifik, warganet memunculkan banyak foto langit Jakarta yang berkabut abu-abu di pagi hari. Mereka mempertanyakan apakah itu karena polusi atau memang cuaca mendung (Kompas, 25 Juni 2022).
Baca juga : Kebijakan Lemah Tak Diperbaiki, Polusi Udara Kian Menjadi
Nyatanya, kabut itu memang benar merupakan polusi udara. Indikasinya terlihat dari pengukuran indeks kualitas udara Ibu Kota pada waktu itu. Pada pukul 09.50 WIB tercatat indeks kualitas udara berada di angka 183 US AQI dengan PM 2,5 sebesar 118 mikrogram per meter kubik dan PM 10 sebesar 20,6 mikrogram per meter kubik.
Pada saat itu, rata-rata indeks kualitas udara dalam sebulan belakangan berada pada skor 120 dengan kategori ”tidak sehat bagi kelompok sensitif”. Merujuk pada tren pendataan sebulan, indeks kualitas udara berada pada kategori ”tidak sehat” terjadi selama tujuh hari berturut-turut mulai Selasa (14/6/2022) hingga Senin (20/6/2022).
Munculnya isu kualitas udara Jakarta yang buruk pada periode waktu yang hampir sama itu memang bertepatan dengan musim kemarau. Hadirnya musim kering memang memperburuk kualitas udara di Jakarta. Pasalnya, polutan yang bertebaran terperangkap di udara dan tidak ada hujan yang melarutkan atau membawa zat-zat itu dari udara.
Problem laten
Meskipun demikian, musim kemarau itu bukan alasan atas buruknya kondisi udara Jakarta saat ini. Justru situasi sekarang menegaskan bahwa kualitas udara yang buruk menjadi permasalahan laten yang cenderung diabaikan sehingga tidak ada upaya perbaikan atau pencegahan. Jadi, terkesan hal buruk dibiarkan terus berlangsung tanpa upaya mitigasi yang serius.
Padahal, kekhawatiran terhadap pencemaran udara di Jakarta sebenarnya sudah muncul setidaknya sejak empat dekade silam. Kompas edisi 26 Juli 1980 merekam tingkat pencemaran udara Jakarta yang tergolong tinggi kala itu. Indikatornya terlihat dari hasil pengukuran suspended particulate concentration (SP) di beberapa lokasi.
Di Glodok dan Bandengan, hasil pengukuran menunjukkan angka rata-rata SP tiap bulan mencapai 457,03 mikrogram per kubik dan 461,9 mikrogram per kubik. Di Monas, angka SP lebih rendah, yaitu 120 mikrogram per kubik. Angka tersebut melampaui standar aman kebersihan udara saat itu, dengan angka SP dikatakan tinggi apabila melebihi 260 mikrogram per meter kubik udara (Kompas, 26 Juli 1980).
Baca juga : Mayoritas Sumber Emisi di Jabodetabek Berasal dari Aktivitas Transportasi Lokal
Selain itu, jika dibandingkan dengan daerah lain di luar Jakarta, seperti Manado, Sulawesi Utara, kondisi udara Ibu Kota juga jauh lebih buruk. Hasil pengukuran SP di Manado menunjukkan angka kandungan SP hanya 43,3 mikrogram per meter kubik.
Saat itu, isu pencemaran udara dikaitkan dengan banyaknya jumlah kendaraan dan debu jalanan. Pada tahun 1980 tercatat ada 692.817 kendaraan di Jakarta. Jumlah itu sudah dirasa mengkhawatirkan karena banyaknya kandungan gas karbon monoksida atau CO yang dikeluarkan. Di wilayah padat lalu lintas, kandungan CO itu cukup tinggi. Di Glodok, misalnya, kadar CO di udara bisa mencapai 71-111 ppm pada hari kerja. Sebagai perbandingan, standar maksimal kandungan CO di Amerika Serikat dalam kategori berbahaya berada pada angka 40 ppm per delapan jam.
Situasi tersebut menandakan Ibu Kota tidak dapat terhindarkan dari bahaya polusi udara seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan tingginya mobilitas masyarakat. Pada masa itu, warga Jakarta sebenarnya juga sudah mengeluhkan udara yang kotor. Kompas pun mencatat, warga berbondong-bondong mengunjungi taman Monas pada Minggu pagi demi mencari udara segar dan bersih. Pasalnya, hanya di lokasi tertentu saja bisa dirasakan udara yang lebih bersih dibandingkan lokasi lain.
Seiring berjalannya waktu, kondisi polutif tersebut tidak banyak berubah, bahkan tampak lebih parah dari masa-masa sebelumnya. Pada tahun 1996, misalnya, Program Lingkungan PBB (UNEP) menyimpulkan, Jakarta termasuk kota tercemar udara nomor tiga setelah Mexico City dan Bangkok. Tanpa ada pernyataan itu pun, sebenarnya warga sudah bisa mengindikasikan tingginya pencemaran udara di Ibu Kota hanya dengan debu dan asap hitam tebal di jalanan.
Penanganan sementara
Pemerintah sebenarnya sudah menerapkan berbagai upaya untuk mencegah polusi udara di Jakarta. Pada tahun 1988, Gubernur Jakarta menginstruksikan Biro Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup (BKLH) DKI Jakarta untuk menyusun program Cuci Udara. Program ini salah satunya berupa imbauan kepada masyarakat untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor pada hari libur.
Selain itu, pemerintah juga mengatur penggunaan bahan bakar gas pada kendaraan bermotor untuk mengurangi kadar timah hitam sebagai hasil pembakarannya. Kendaraan bermotor juga akan dicek kelaikannya berdasarkan uji asap. Jika lolos pengujian, maka kendaraan itu akan mendapatkan sertifikat bebas asap. Pengawasan dan ketentuan khusus terhadap pabrik dengan cerobong-cerobong pembuang asap juga dilakukan.
Baca juga : Saling Tuding Penyebab Polusi Udara
Di tingkat nasional, pemerintah juga turut memfasilitasi upaya perbaikan kualitas udara di Jakarta dan daerah lain melalui berbagai kebijakan. Salah satunya, pada tahun 1991, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mencanangkan program pengujian knalpot kendaraan, baik kendaraan baru maupun yang sudah beroperasi di jalan. Cara ini masih dilakukan hingga saat ini melalui uji emisi kendaraan.
Sayangnya, upaya-upaya tersebut gencar dilakukan hanya ketika kondisi udara Ibu Kota sedang tampak keruh. Seperti disebutkan Kompas (10/6/1993), pengujian knalpot pada kendaraan di Jakarta memang menjadi program yang bagus, tetapi sayangnya baru beberapa saat kemudian tidak terdengar lagi gaungnya.
Bahkan, program uji emisi kendaraan bermotor yang gencar dilakukan dalam beberapa tahun belakangan ternyata baru menyasar sedikit dari total kendaraan di Jakarta. Data DLH DKI Jakarta menunjukkan, hanya 902.286 mobil yang telah melaksanakan uji emisi di 339 lokasi. Untuk sepeda motor, jumlahnya lebih sedikit lagi, yakni baru 73.597 motor yang melakukan pengujian emisi di 108 lokasi. Jumlah tersebut hanya mencakup 5 persen dari total kendaraan bermotor di Jakarta.
Fenomena tersebut menunjukkan betapa kompleks persoalan yang berkaitan dengan polusi udara di Ibu Kota. Transportasi publik yang sudah semakin beragam sekalipun ternyata belum mampu membendung penggunaan kendaraan pribadi yang semakin meningkat. Penerapan standar baku mutu udara ambien yang dikeluarkan KLHK juga masih di atas standar kualitas udara dari WHO sehingga kualitas udara di Indonesia menjadi lebih buruk dari standar dunia.
Upaya-upaya yang sudah diimplementasikan itu memang sebagian kecil dari keseluruhan langkah pemerintah untuk mengurangi polusi udara. Hanya. sangat disayangkan, berbagai program tersebut hanya berlangsung sementara dan tidak berkelanjutan. Akibatnya, polusi udara yang menjadi isu empat dekade lalu masih terus bergema karena tidak adanya perbaikan.
Situasi sekarang ini hendaknya menjadi peringatan bahwa kondisi kualitas udara di Jakarta sudah semakin kritis sehingga perlu segera diatasi. Jangan sampai isu buruknya polusi udara yang marak saat ini hanya berlangsung begitu saja dan terus terulang hingga menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan dan menurunkan kualitas kehidupan warga Ibu Kota. (LITBANG KOMPAS)