Survei Litbang Kompas: Emil, Sandi, dan Erick Bersaing di Bakal Cawapres
Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, tiga bakal cawapres dengan elektabilitas tertinggi diisi Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Erick Thohir. Porsi pemilih yang belum menentukan pilihan masih cukup besar.
Oleh
Eren marsyukrilla
·4 menit baca
Hasil survei Litbang Kompas periode Agustus 2023 ini memperlihatkan dinamika elektabilitas yang akan mendampingi kandidat bakal calon presiden atau capres mulai mengerucut pada sejumlah tokoh.Dua tokoh, yaitu Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atau biasa disapa Kang Emil serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, sejauh ini masih konsisten menempati posisi elektabilitas bakal calon wakil presiden (cawapres) teratas. Dalam survei terbaru Kompas, Emil memimpin dengan mengantongi 8,4 persen keterpilihan.
Hasil Survei Elektabilitas Cawapres Agustus 2023
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sementara Sandi, yang pada dua periode survei sebelumnya, Januari 2023 dan Mei 2023, masih unggul, kini berada di posisi kedua sekalipun hanya terpaut tipis dengan Emil, yakni dengan elektabilitas 8,2 persen. Tingkat keterpilihan untuk keduanya selama kurun tahun 2023 terbaca mengalami penurunan.
Gejala yang berbalik justru dialami figur potensial lainnya yang selama ini juga sudah meramaikan bursa bakal cawapres. Nama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pada survei kali ini cukup memberi kejutan. Erick yang sebelumnya hanya mengantongi keterpilihan di bawah 5 persen, pada Agustus 2023 ini angkanya meningkat menjadi 8 persen.
Erick kini ada di urutan ketiga elektabilitas tertinggi bakal cawapres, membayangi Emil dan Sandi. Dengan proporsi keterpilihan yang terpaut sempit, kurang dari 1 persen dan tentunya di bawah ambang margin error survei sebesar 2,6 persen, tiga figur bakal cawapres teratas ini bisa dikatakan tengah berada pada posisi seimbang.
Dinamika elektabilitas ini tidak terlepas dari gerak politik dalam tiga bulan terakhir yang cukup dinamis. Keputusan Sandi hengkang dari Partai Gerindra dan berlabuh ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ternyata tak serta-merta melahirkan efek kejut bagi insentif elektoralnya.
Sebelum Sandi bergabung dengan PPP, partai itu telah menyepakati kerja sama politik dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang secara resmi mendukung Ganjar Pranowo sebagai capres. Masuknya Sandi ke PPP direspons cepat dengan menggadangnya sebagai figur yang dinilai paling tepat menjadi pendamping Ganjar.
Sementara itu, Emil yang memilih menjadi kader Partai Golkar kini tak cukup masif melakukan manuver politik. Hal berbeda terlihat pada Erick yang cukup masif bermanuver politik dengan mencitrakan diri kepada publik sebagai kandidat bakal cawapres potensial. Dalam sejumlah kesempatan, nama Erick terus digadang oleh Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi bakal cawapres.
Papan tengah
Selain tiga nama yang menghuni papan atas elektabilitas bakal cawapres di atas, ada nama potensial lainnya. Sebut saja Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Keterpilihan AHY sebagai bakal cawapres saat ini berada di angka 5,1 persen. Sebelumnya, pada Januari 2023 ada di 3,7 persen, lalu meningkat menjadi 4,1 persen pada Mei 2023. AHY kerap digadang untuk menjadi bakal cawapres Anies Baswedan yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan.
Sementara elektabilitas Mahfud MD sebagai bakal cawapres pada survei Mei 2023 di angka 3,8 persen. Di survei Agustus 2023 ini angkanya relatif stagnan, yaitu 3,7 persen. Pencapaian Mahfud yang konsisten ini membuktikan namanya dinilai layak berada pada barisan para sosok yang dapat diperhitungkan dalam bursa bakal cawapres.
Pemilih bimbang
Di luar mengerucutnya pilihan publik terhadap figur potensial bakal cawapres ini, sebenarnya dibayangi oleh masih tingginya porsi pemilih bimbang (undecided voters). Porsi mereka yang belum menentukan pilihan yang diekspresikan dengan menjawab tidak tahu atau tidak menjawab relatif cukup besar.
Jika ditilik lebih lanjut, setidaknya dalam tiga periode survei terakhir Kompas pada tahun ini, porsi mereka yang masih bimbang memilih sosok bakal cawapres ideal tampak tidak banyak berubah. Dari tiga survei terakhir, rata-rata yang masuk kategori pemilih bimbang ini mencapai 44 persen.
Kerahasiaan ataupun kebimbangan publik untuk menentukan pilihan ini boleh jadi karena masih menunggu momentum final terkait koalisi partai politik pengusung pasangan bakal capres dan bakal cawapres. Jika mengacu pada kecenderungan dari hasil survei, secara umum, baik sosok capres maupun cawapres, keduanya dinilai sama-sama penting sebagai bahan pertimbangan memilih.
Namun, jika dibanding antara hanya sosok capres dan cawapres, sosok capres lebih banyak dipilih sebagai bahan pertimbangan dibandingkan dengan cawapres. Hampir sepertiga responden menyatakan hanya melihat sosok capres untuk menguatkan pertimbangannya memilih. Besaran itu sangat berselisih jauh dengan hanya sekitar 3,3 persen responden yang mengaku akan mempertimbangkan figur cawapres sebagai pertimbangan utama menentukan pilihan.
Gejala yang sama terbaca pada kelompok pemilih yang telah mengungkapkan pilihan bakal cawapres yang akan didukungnya. Kecenderungan mereka lebih akan menyandarkan pertimbangan pada figur capres ataupun kandidat sebagai kesatuan pasangan capres dan cawapres. Faktor pertimbangan untuk melihat kedua figur, baik capres maupun cawapres, juga tampak dinyatakan dari pendukung setiap tokoh yang berpeluang menjadi bakal cawapres, seperti pendukung AHY, Erick, Mahfud MD, Emil, dan Sandi.
Bagaimanapun, kandidat yang nanti akan maju dalam pemilihan presiden memang akan bertarung sebagai pasangan calon. Kondisi ini di satu sisi juga menjadi gambaran bahwa sebagian besar responden cukup realistis melihat hal tersebut.
Kecenderungan untuk melihat hanya salah satu figur sebagai pertimbangan memang sah saja terjadi sebagai bentuk preferensi memilih, tetapi dukungan dan suara pemilih yang diberikan akan terkonversi untuk kedua figur sebagai satu kesatuan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Hal ini tentunya kembali menguatkan bahwa baik figur capres maupun cawapres yang nantinya akan maju di pemilihan presiden-wakil presiden akan saling melengkapi dan sama-sama memiliki andil besar dalam memenangi pilihan rakyat. Namun, jika dibandingkan dengan pilihan figur capres yang porsi pemilih bimbangnya relatif lebih rendah, pada akhirnya memberi sinyal pemilih lebih bertumpu pada sosok capres dibandingkan dengan cawapres.
Boleh jadi ini makin menguatkan sinyalemen bahwa pilihan bakal cawapres tidak serta-merta mengandalkan elektabilitas di mata publik ataupun pemilih. Sebaliknya, penentuan bakal cawapres akan lebih banyak mempertimbangkan faktor di luar tingkat keterpilihan. (Litbang Kompas)