Wisata Politik Sandiaga Uno
Berpolitik seolah baginya suatu kegembiraan, layaknya kegembiraan berwisata. Sekalipun untuk yang ia nikmati itu, tidak sedikit kekayaan pribadi dan pengorbanan yang dicurahkan.
Dalam gelanggang politik kepresidenan di negeri ini, tidak banyak petarung dengan modal selengkap Sandiaga Uno. Ia menjadi ikon politisi kekinian. Sosok muda sekaligus rupawan, cerdas dan energik, kaya namun rela pula merugi. Berpolitik dan sengitnya pertarungan kekuasaan ia hadapi layaknya suatu kegembiraan berwisata.
Semula, berpolitik bukan suatu tujuan hidup bagi Sandiaga. Ia justru sering menyebutnya sebagai suatu kecelakaan. Penggalan jejak hidup yang bukan pilihan ataupun kehendak semulanya. Bagian terbesar dalam kisah hidupnya terajut justru dalam dunia usaha. Pergulatan dunia usaha pula yang telah membentuknya menjadi sosok yang dikenal mapan secara material.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Menjadi politisi jelas suatu perubahan radikal. Sandiaga kerap menyebut tiga hal yang membedakan proses kehidupan politik dan dunia usaha. Ketiganya menyangkut loyalitas, risiko, dan janji. Jika dalam bisnis, loyalitas adalah segalanya, maka dalam politik menjadi absurd. Risiko dalam dunia usaha sedapat mungkin dihindari, namun dalam politik menjadi semakin menarik dihadapi, terlebih dengan semakin besarnya ketidakpastian. Begitu pula dalam urusan janji, sesuatu yang wajib ditepati dalam bisnis, maka menjadi fleksibel dalam politik.
Langgam kehidupan yang berubah itu, bagaimanapun, telah ia selami sejak pertengahan 2015 lalu tatkala menyatakan mundur dari berbagai jabatan eksekutif di berbagai perusahaan. Saat itu, Sandiaga memilih fokus pada kedudukan sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto.
Ia mengawali pertarungan politik sesungguhnya dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Berpasangan dengan Anies Baswedan, kemenangan ia genggam. Dalam tarung politik dua babak yang dramatik itu, banyak sudah yang ia korbankan. Secara finansial, ia pernah mengungkapkan sudah mencapai Rp 108 miliar dari kocek pribadinya. Ia juga banyak menguras ide dan program wirausaha racikannya, ”Oke Oce”, yang bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dengan konsep ekonomi berbagi. Belakangan, program ikonik ini berlanjut dalam tarung program Pemilu Presiden 2019.
Tidak tergolong lama, lompatan politiknya semakin spektakuler. Tidak cukup dalam panggung jabatan wakil gubernur DKI Jakarta, kursi wakil presiden pun ia tuju. Dalam Pemilu Presiden 2019, bersama patron politiknya, Prabowo Subianto, ia mencoba mengakhiri jabatan kepresiden Jokowi.
Tampilnya Sandiaga dalam persaingan Pemilu 2019 menarik dicermati. Pada level wakil presiden, lawan politiknya, pasangan wakil presiden Jokowi, Ma’ruf Amin, teramat kontras. Sejatinya, persaingan yang terbentuk lebih berwujud pada gambaran dikotomik sosok, kaum muda berhadapan dengan kaum tua, progresif berhadapan dengan konservatif, politisi asal pebisnis melawan politisi dari ulama, dan beragam pembeda diametral lainnya.
Sekalipun dalam momen Pemilu 2019 lalu Prabowo-Sandi kalah, kehadiran sosoknya terbilang mampu memikat banyak kalangan di negeri ini. Dari penggalan jalan politik yang ia lalui, dalam waktu singkat telah mendudukkannya sebagai ikon politik. Sandiaga juga menjadi salah satu referensi yang menempatkan politik atau berpolitik sebagai suatu capaian aktualitas diri, setelah problem-problem kebutuhan material dirinya telah usai ia penuhi. Bukan sebaliknya, menjadikan politik sebagai ladang pemenuhan kebutuhan material.
Sandiaga juga menjadi salah satu referensi yang menempatkan politik atau berpolitik sebagai suatu capaian aktualitas diri.
Mencapai tahapan aktualitas diri semacam itu memang tidak mudah. Secara material, tidak kurang banyak yang ia telah korbankan. Menilik harta kekayaannya, misalnya, perubahan tampak kontras. Jika relatif banyak para politisi yang mencatatkan peningkatan aset kekayaan materialnya dari waktu ke waktu, justru terbalik bagi Sandiaga.
Berdasarkan laporan kekayaan pada KPK, Februari 2021 lalu, total harta kekayaan Sandiaga sebesar Rp 3,81 triliun. Jumlah tersebut menurun dibandingkan dengan laporan kekayaannya pada Agustus 2018 lalu, yang tercatat masih sebesar Rp 5,01 triliun. Artinya, dalam periode pemilu presiden lalu, tidak kurang Rp 1 triliun hartanya susut. Suatu jumlah penurunan harta teramat besar, yang bisa jadi tidak pernah dialami oleh tokoh politik mana pun di negeri ini.
Penurunan kekayaan tidak membuatnya patah arang dalam panggung politik. Setidaknya, tidak tampak beban penyesalan yang teraut dalam wajahnya. Ia tetap menjadi Sandiaga, dengan beragam sisi energik yang ia tampilkan. Karakter semacam itu pula yang masih ia tunjukkan dalam babak baru jabatannya sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sejak pengujung Desember 2020 lalu. Sebuah jabatan yang ia terima justru dari lawan politiknya. Berpolitik seolah baginya suatu kegembiraan, layaknya kegembiraan berwisata. Sekalipun untuk yang ia nikmati itu, tidak kurang banyak pengorbanan yang dicurahkan.
Persoalannya kini, apakah karier politiknya tetap berlanjut dalam penguasaan panggung politik pemilu mendatang?
Dengan kelengkapan modal yang ia miliki, tentu saja jaminan keberlanjutan ”wisata politik” dirinya terjaga. Hanya persoalannya, dalam pemilu mendatang diperlukan suatu kalkulasi politik yang lebih rumit jika target pencapaiannya lebih tinggi dari sebatas calon wakil presiden.
Becermin dari hasil survei opini publik, proporsi dukungan kepada Sandiaga belum juga mencapai posisi papan atas calon presiden preferensi publik. Ia masih bertengger pada posisi tengah, dengan dukungan tidak lebih dari 5 persen. Urutannya masih di bawah Prabowo Subianto, Anies Baswedan, serta Ganjar Pranowo. Kondisi demikian tidak banyak berubah setahun terakhir (Grafik 1).
Berdasarkan survei tersebut, benak sebagian besar masyarakat tampaknya belum menempatkan Sandiaga sebagai sosok calon presiden. Namun, tidak berarti pula pupus peluang sebagai pemimpin nomor satu di negeri ini. Setidaknya masih terdapat waktu yang terbilang cukup bagi dirinya, termasuk siapa pun tokoh pesaing politik, dalam menarik dukungan publik yang lebih besar sekaligus menjaminkan dirinya sebagai calon presiden papan atas preferensi publik.
Sejauh ini, basis dukungan publik yang ia kuasai menunjukkan berbagai sisi potensial yang belum banyak tergarap. Paling menonjol dari karakteristik pemilihnya, bagian terbesar pemilih Sandiaga berusia muda. Sebesar 44,4 persen dari total pemilihnya berusia di bawah 23 tahun, atau kalangan pemilih mula yang belum pernah memilih. Inilah kelebihan utama Sandiaga yang tidak didapati pada tokoh politik lainnya. Semua kompetitor politik segenerasinya, seperti Anies Baswedan ataupun Ganjar Pranowo, tidak lebih dari separuh bagian dari proporsinya (Grafik 2).
Sisi menonjol lainnya terkait dengan distribusi pilihan partai politik para pendukung Sandiaga. Sekalipun Sandiaga menjadi kader Gerindra, tidak berarti para pendukungnya hanya terkonsentrasi pada para pemilih Gerindra. Ia juga banyak dipilih oleh para pendukung partai lain. Pemilih partai yang kini tidak masuk dalam kekuasaan rezim pemerintahan Presiden Jokowi, seperti PKS dan Demokrat, terbilang besar yang menjadi pendukung Sandiaga. Sebaliknya, para pendukung partai yang tergolong masuk dalam pemerintahan pun tidak kurang banyak yang mendukung Sandiaga. PDI-P, Golkar, hingga Nasdem, misalnya, menjadi pendukung dirinya (Grafik 3).
Begitu pula dalam penilaian terhadap eksistensi kerja pemerintahan saat ini, para pemilih Sandiaga cenderung bukan berasal dari kalangan yang terjebak dalam ekstremitas pilihan. Bagian terbesar pemilihnya (48,9 persen) menyatakan rasa puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi saat ini. Sebagian lainnya (44,4 persen) menyatakan ketidakpuasan. Perbedaannya, pesaing politiknya, Ganjar Pranowo, justru didukung oleh para pendukung dengan derajat kepuasan yang mayoritas (83 persen). Sebaliknya, Anies Baswedan, justru dua pertiga pendukungnya (68,9 persen) menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi (Grafik 4).
Pola perbedaan penilaian kinerja semacam itu jelas menggambarkan kekuatan figur Sandiaga yang diterima setiap kalangan berlatar belakang politik yang berbeda-beda. Hal semacam ini pula yang sesungguhnya menjadi potensi modal politik bagi dirinya dalam memperluas penguasaan di panggung politik nasional.
Akan tetapi, dari sisi pendukungnya juga masih terlihat celah kelemahan. Terkait dengan distribusi domisili, misalnya, tampak bahwa para pendukung Sandiaga masih terkonsentrasi pada kekuatan politik dukungan dari luar Pulau Jawa. Hampir dua pertiga dari total pendukungnya (62, persen) bermukim di luar Jawa. Jika ditelusuri, Sumatera yang tersebar di sebagian besar provinsi dan Sulawesi yang menjadi salah satu akar identitasnya menjadi bagian terbesar. Di Pulau Jawa, hanya sekitar sepertiga bagian dari pendukungnya.
Konsentrasi dukungan luar Jawa semacam itu diperkuat pula dari basis identitas kesukuan pada pendukungnya. Terbesar, mereka yang mengaku bersuku bangsa Melayu, termasuk beragam suku bangsa Melayu yang mukim di Sumatera. Sebenarnya terdapat dalam proporsi yang cukup besar pula kalangan bersuku bangsa Jawa dan Sunda. Hanya saja, jika diproporsikan secara nasional, masih lebih rendah dari proporsi kedua suku bangsa tersebut di negeri ini.
Jika tidak terjadi suatu perubahan keseimbangan pemilih yang lebih proporsional secara nasional, sulit mengejar peluang kepresidenan.
Sisi distribusi pendukung Sandiaga yang tersegmen cenderung dapat dinilai sebagai kelemahan. Jika tidak terjadi suatu perubahan keseimbangan pemilih yang lebih proporsional secara nasional, semakin sulit baginya untuk mengejar peluang kepresidenan. Namun, pada sisi yang lain, pola dukungan yang tersegmentasi semacam itu dapat pula menjadi kekuatan politik yang membedakan dirinya dengan yang lain. Faktor pembeda yang dimiliki akan menjadi suatu kekuatan jika dipasangkan dengan sosok calon presiden lain. Itulah mengapa, posisi keterpilihan Sandiaga saat ini lebih berdaya guna dalam penguasaan dukungan jika berpasangan ketimbang bertarung dalam kesendirian.
Karakteristik pasangan seperti apakah yang dapat meningkatkan daya guna keterpilihannya? Kalkulasi matematis sederhana tentu saja merujuk pada peluang keberhasilan yang diperoleh dari penambahan dukungan dari kalangan pemilih yang memang tidak ia kuasai. Hanya saja, dalam politik, seperti pengalaman yang ia hadapi, tidak semua rigid terprediksikan. Namun, bisa jadi dalam wisata politiknya kali ini, kegembiraan yang sesungguhnya akan ia nikmati. (LITBANG KOMPAS)