Rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas dan Pengalaman Negara Lain
Rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas melahirkan polemik. Regulasi ini dinilai berpotensi membawa kemunduran dunia media digital. Pengalaman negara lain dapat jadi referensi yang memperkaya penyusunan regulasi ini.
Polemik mengiringi munculnya draf Rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau juga kerap disebut sebagai Perpres Jurnalisme Berkualitas.
Melihat tujuannya, rancangan peraturan itu mempertimbangkan sejumlah hal, terutama berkaitan dengan tanggung jawab perusahaan platform digital untuk mencegah berita bohong dan penghargaan terhadap hak cipta pemilik berita.
Perusahaan platform digital juga diminta bertanggung jawab mendukung jurnalisme berkualitas melalui penegakan kedaulatan informasi dan keterbukaan algoritma.
Namun, di sisi lain, kehadiran regulasi ini juga dipandang sebagai ancaman oleh sebagian pembuat konten digital. Terlebih, apabila nanti perusahaan teknologi seperti Google dan Meta mengambil langkah retaliasi atau semacam pembalasan.
Setidaknya, ada dua isu yang paling banyak disorot dari Rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas ini. Pertama, ialah potensi abuse of power dari pemerintah yang bisa membahayakan kebebasan atas informasi.
Sebab, berdasarkan peraturan ini, perusahaan platform digital diwajibkan untuk mencegah penyebaran dan komersialisasi konten yang dirasa tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik. Perusahaan juga diwajibkan untuk menghapus konten yang dianggap tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pers.
Ketentuan-ketentuan tersebut menimbulkan kekhawatiran karena pasal ini berpotensi digunakan oleh pemerintah untuk membungkam konten pemberitaan yang dianggap ”sumbang”. Dengan adanya ”cap” tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik, platform digital harus menghapus konten pemberitaan yang dimaksud.
Lebih lanjut, posisi Dewan Pers dalam regulasi ini juga sangat strategis. Sebelumnya, siapa pun bisa mencari nafkah di rimba raya digital asalkan bisa mengikuti cara main yang ditentukan oleh pemilik platform digital. Namun, hadirnya regulasi ini akan membuat Dewan Pers memiliki kuasa, siapa pembuat konten yang bisa dimonetisasi dan siapa yang tidak.
Kedua, publik juga mengkhawatirkan jika nantinya para perusahaan platform digital akan mengambil langkah untuk melawan regulasi ini. Hingga kini, setidaknya dua perusahaan platform, yakni Meta dan Google, yang telah menyatakan keberatannya. Apabila nantinya kedua perusahaan ini ”hengkang” dari Indonesia, ribuan pembuat konten pun terancam putus mata pencariannya.
Sebenarnya, langkah pemerintah untuk menyusun aturan ini berlandaskan oleh niat yang baik. Regulasi tersebut dibuat karena lanskap media massa di Indonesia yang dirasa mulai tidak sehat semenjak masuknya perusahaan-perusahaan asing digital.
Memburuknya bisnis industri media ini salah satunya ditandai dengan ambruknya perusahaan-perusahaan media konvensional, padahal tidak sedikit dari mereka yang telah hadir mengawal bangsa semenjak puluhan tahun silam.
Pengaruh dari perusahaan digital terhadap situasi ini sulit untuk disangkal. Sebab, dengan sistem dan algoritma yang mereka punya, mereka dapat menjadi kawanan oligopoli yang menguasai pasar media massa di Indonesia.
Dalam ekosistem bisnis yang mereka miliki, organisasi media pun harus puas untuk bertahan hidup dari remah-remah pendapatan yang dijatah oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
Baca juga: Meta Menolak Rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas
Pengalaman negara lain
Sebenarnya, upaya pemerintah untuk meregulasi konten media digital bukan hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara di dunia telah mencoba untuk membentuk regulasi yang mirip dengan Perpres Jurnalisme Berkualitas. Salah satunya ialah Kanada.
Pada 2022, Pemerintah Kanada menerbitkan peraturan yang bertajuk Online News Act (UU Berita Daring)/C-18 Bill. Terdapat lima poin penting yang tercakup dalam UU tersebut. Pertama, menjamin adanya bagi hasil yang adil antara platform digital dan penyedia berita. Kedua, memperkuat posisi tawar para perusahaan media secara kolektif.
Ketiga, mendukung adanya perjanjian komersial antara platform digital dan organisasi media. Keempat, menciptakan kerangka arbitrase dalam hal perusahaan platform digital tak bisa bersepakat dengan perusahaan media.
Terakhir, menjadikan Komisi Telekomunikasi Radio-Televisi (Canadian Radio-Television Communication/CRTC) sebagai regulator dari peraturan. Regulasi ini dibuat dalam semangat yang serupa dengan Perpres Jurnalisme Berkualitas yang sedang digagas Pemerintah Indonesia.
Pemerintah Kanada melihat bahwa dominasi perusahaan platform di ekosistem media sudah mencapai titik tidak sehat. Hal ini utamanya dirasa akibat penyedia platform mendapat untung yang jauh lebih besar dibandingkan dengan perusahaan media yang memproduksi berita.
Langkah Pemerintah Kanada ini pun mendapat balasan dari Meta dan Google. Sebagai bentuk protes, kedua perusahaan platform tersebut menarik diri dari ekosistem media Kanada.
Hasilnya, konten-konten pemberitaan lenyap dari hasil pencarian kedua platform ini. Meskipun demikian, warga masih bisa membaca konten pemberitaan di situs-situs berita daring secara langsung tanpa melalui mesin pencari.
Selain Kanada, Uni Eropa juga tengah membuat regulasi terkait pemberitaan daring. Regulasi bertajuk European Media Freedom Act (UU Kebebasan Media Eropa) ini sedikit berbeda dengan Online News Act di Kanada.
Jika dibandingkan, European Media Freedom Act lebih banyak berfokus pada aspek kebebasan dan independensi pers. Hal ini tampak dari beberapa pasal yang menekankan pada kewenangan pemilik media daring untuk mengunggah berita yang sebelumnya kerap bertubrukan dengan ketentuan platform media sosial.
Acapkali, konten pemberitaan diturunkan secara paksa oleh platform digital karena dianggap mengandung unsur yang sensitif seperti kekerasan.
Padahal, konten pemberitaan tersebut penting untuk diketahui publik karena berkaitan dengan kasus yang bisa membahayakan khalayak umum. Regulasi ini nantinya akan memberikan posisi tawar lebih bagi perusahaan media terkait dengan regulasi moderasi di platform digital.
Namun, aspek bisnis justru cenderung tidak banyak disentuh oleh regulasi ini. Dalam hal membantu perusahaan media, Uni Eropa hanya ingin mendorong adanya keterbukaan data para pembaca yang selama ini sulit untuk didapatkan dari perusahaan platform digital.
Harapannya, keterbukaan data ini dapat membantu perusahaan media untuk dapat lebih mengenal pembacanya hingga bisa mengembangkan bisnisnya dari informasi tersebut.
Baca juga: Perpres Media Berkelanjutan Tidak Memerlukan Lembaga Baru
Dialog
Pengalaman dari Kanada dan Uni Eropa ini bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam menghadapi polemik terkait Perpres Jurnalisme Berkualitas.
Langkah keras untuk membatasi perusahaan platform digital dan menodong mereka untuk membayar royalti ke organisasi media terbukti memantik resistensi di kasus Kanada. Pada akhirnya, justru publik dan para pengusaha media yang terkena getahnya.
Adapun reaksi terhadap langkah yang lebih halus seperti yang dilakukan Uni Eropa. Sejauh ini, Google dan Meta belum memberikan tanggapan yang kontras terhadap inisiatif dari Parlemen Eropa tersebut. Artinya, masih ada ruang dialog yang terbuka antara para pihak yang berkepentingan, termasuk perusahaan-perusahaan platform digital.
Pada akhirnya, diperlukan langkah yang bisa mengakomodasi semua kepentingan aktor dalam ekosistem media digital. Sebab, dalam lanskap media di Indonesia, media daring masih memegang porsi paling besar.
Dari 1.728 media yang terverifikasi oleh Dewan Pers, sekitar 52 persen atau 915 media di antaranya media daring. Artinya, nasib puluhan ribu pekerja bergantung pada Perpres Jurnalisme Berkualitas yang kini tengah disiapkan. (LITBANG KOMPAS)