Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Simbol Transformasi Transportasi Indonesia
Setelah menunggu 15 tahun sejak digagas pertama kali pada 2008, Indonesia akhirnya akan segera merasakan kehadiran layanan kereta cepat pada paruh kedua tahun ini.
Oleh
Yulius Brahmantya Priambada
·5 menit baca
Dengan segera beroperasinya layanan Kereta Cepat Jakarta-Bandung, maka Indonesia akan masuk ke dalam jajaran segelintir negara yang memiliki transportasi berbasis rel berteknologi mutakhir. Hadirnya kereta cepat ini diharapkan dapat mendorong transformasi layanan transportasi publik secara lebih luas di seluruh Indonesia.
Setelah menunggu 15 tahun sejak digagas pertama kali pada 2008, Indonesia akhirnya akan segera merasakan kehadiran layanan kereta cepat pada paruh kedua tahun ini. Kedatangan layanan transportasi berteknologi tinggi ini disambut antusias oleh sebagian besar kalangan masyarakat. Meski demikian, tak sedikit pula yang masih meragukan efektivitas dan kesiapan operasional moda transportasi canggih tersebut.
Tak dapat dimungkiri, proses kemunculan kereta cepat di Indonesia disertai dengan sejumlah kontroversi, mulai dari besarnya biaya yang dikeluarkan, penggunaan APBN untuk menambal pembengkakan biaya, hingga beberapa insiden kecelakaan kerja yang merenggut korban jiwa pekerja.
Meskipun demikian, keberhasilan pemerintah membawa kereta cepat ke Indonesia tetap merupakan sebuah prestasi yang patut mendapat apresiasi. Sebab, Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) ini merupakan layanan kereta cepat pertama dan satu-satunya di kawasan Asia Tenggara. Tak hanya itu, kereta KCIC400AF yang dioperasikan di Indonesia merupakan salah satu tipe kereta tercepat di dunia hingga sekarang. Kereta yang merupakan varian dari CR400AF pabrikan CRRC Qingdao Sifang asal China ini mampu mencapai kecepatan operasional maksimal hingga 350 kilometer per jam. Satu-satunya negara lain yang memiliki kereta dengan kecepatan operasional yang sama hanyalah China, yang tak lain adalah negara asal KCIC400AF.
Selain menjadi pertama dan satu-satunya di kawasan sekitar, kehadiran kereta cepat juga menjadikan Indonesia sebagai bagian dari segelintir negara di dunia yang memiliki layanan transportasi canggih itu. Melansir data dari International Union of Railways (UIC), hingga 2022 hanya terdapat 20 negara yang memiliki layanan kereta cepat. Jumlah tersebut hanya mencakup 10,3 persen dari total 195 negara dunia yang diakui oleh PBB.
Dari dua puluh negara itu, Jepang adalah pionirnya. Ia mulai mengembangkan layanan kereta cepat Shinkansen pada 1959 dan meresmikannya pada 1964. Shinkansen ternyata tidak hanya menawarkan kecepatan, tetapi juga peningkatan efisiensi dan efektivitas layanan kereta api ke tahap yang belum pernah dilakukan negara lain. Sejumlah inovasi terobosan yang menyertai kelahiran Shinkansen adalah sistem automatic train control (ATC) dan centralised traffic control (CTC).
Unggul
Dengan terobosan tersebut, Jepang mampu membuktikan bahwa layanan kereta api yang diimprovisasi dengan optimal dapat menjadi layanan transportasi yang masif, andal, terjangkau, dan cepat. Keberhasilan ”Negeri Matahari Terbit” itu akhirnya menjadi inspirasi bagi sejumlah negara lainnya untuk berlomba menciptakan layanan kereta cepat karya anak bangsa.
Semangat itu akhirnya mendorong kehadiran layanan kereta api cepat sepanjang total 58.840 km yang tersebar di 20 negara di dunia. Dari jumlah ini, sebesar 68,8 persen di antaranya berada di China. Hal ini menunjukkan, betapa besar komitmen ”Negeri Tirai Bambu” dalam berinvestasi pada layanan kereta cepat. Padahal, China tergolong pendatang baru dalam pengembangan teknologi kereta cepat karena baru memulainya pada 2008. Artinya, hingga 2022, China rata-rata membangun 2.891 km jalur kereta cepat setiap tahun.
Capaian ini merupakan rekor yang belum dapat dikalahkan negara mana pun hingga saat ini. Keseriusan China dan sejumlah negara lain menanamkan modalnya pada transportasi kereta cepat tersebut tentu saja berdasarkan alasan yang kuat. Melansir dari Asosiasi Transportasi Publik Ameria (APTA), layanan kereta cepat disebutkan mampu mendongkrak aktivitas ekonomi. Dikatakan pula bahwa setiap satu dollar AS yang diinvestasikan dapat mendatangkan keuntungan ekonomi sebesar 4 dollar AS. Hal ini dilatarbelakangi dampak lanjutan atas terhubungnya pusat-pusat perekonomian dengan lebih efisien dan produktif.
Selain itu, manfaat penting lainnya dari kehadiran kereta cepat itu adalah dapat mengurangi tingkat kepadatan lalu lintas dan kemacetan di jalan raya. Misalnya di China, dengan layanan kereta api cepat yang begitu masif, pada 2022 China mampu mengantarkan penumpang sekitar 1,5 miliar orang atau setara 4,2 juta penumpang per hari.
Seandainya penumpang sejumlah itu menggunakan mobil berkapasitas empat penumpang, maka kereta cepat di China telah mengurangi jumlah pergerakan mobil hingga sekitar 1 juta perjalanan per hari. Keunggulan lainnya yang juga menjadi kelebihan kereta cepat adalah efisiensi waktu dan juga kehematan bahan bakar. UIC mengatakan bahwa layanan kereta cepat mampu menghemat bahan bakar empat kali lipat dibandingkan kendaraan pribadi dan hampir sembilan kali lipat dibandingkan pesawat terbang.
Kemudian, berdasarkan perhitungan dari US High Speed Rail Association, kereta cepat terbukti lebih cepat 2,3 kali lipat untuk mengantarkan orang dari pusat kota San Francisco ke pusat kota Los Angeles daripada menggunakan mobil. Efisiensi waktu kereta cepat juga masih lebih unggul daripada pesawat untuk jarak yang sama, yakni 1,6 kali lipat lebih cepat.
Tantangan
Meski mendatangkan segudang manfaat dan memiliki banyak keunggulan, menghadirkan layanan kereta cepat tetap bukanlah perkara mudah. Hal ini karena layanan kereta cepat bukan hanya soal menghadirkan kereta, rel, dan stasiunnya, tapi juga membangun sebuah sistem yang komprehensif dan terintegrasi.
Salah satunya, perlu dimulai dari menyediakan sumber daya manusia yang memiliki keterampilan tinggi, disiplin, dan terlatih. Sebab, mengoperasikan kereta dengan kecepatan tinggi membutuhkan keakuratan yang berbasis pada nilai-nilai kedisiplinan. Jika tidak, justru akan menimbulkan ancaman keselamatan bagi para pengguna jasa layanan kereta cepat itu.
Selain itu, persoalan integrasi dengan sistem moda transportasi lainnya juga perlu diperhatikan agar kehadiran kereta cepat itu dapat bermanfaat secara optimal. Tanpa adanya integrasi, penumpang mungkin dapat berpindah antarstasiun kereta cepat dalam hitungan menit, tetapi membutuhkan waktu berjam-jam untuk sampai ke tujuan. Hal ini jelas mengurangi potensi efektivitas waktu dan manfaat ekonomi yang dapat diperoleh bagi para penumpang kereta cepat.
Halangan lainnya yang mungkin menjadi pertimbangan banyak negara adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Untuk dapat mewujudkan KCJB, PT Kereta Cepat Indonesia China dan Pemerintah Indonesia harus merogoh kocek 7,27 miliar dollar AS atau sekitar Rp 108,14 triliun. Jika dibagi dengan panjang jalur, setiap kilometer jalur KCJB membutuhkan investasi sekitar Rp 758 miliar. Jumlah ini jelas lebih tinggi jika dibandingkan dengan biaya pembangunan jalan tol yang hanya Rp 90 miliar-Rp 110 miliar per kilometer.
Besarnya nilai investasi yang dibelanjakan pada pengembangan kereta cepat tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia memiliki keberpihakan untuk mengembangkan layanan transportasi umum yang kian efektif dan mutakhir. Kehadiran KCJB beserta seluruh infrastruktur pendukungnya diharapkan menjadi katalis bagi terciptanya reformasi transportasi umum di Indonesia yang kian berkualitas, andal, dan aman. (LITBANG KOMPAS)