Kereta Cepat dan LRT Jabodebek Simbol Kemajuan Indonesia
Indonesia berupaya meningkatkan penggunaan transportasi massal dengan segera mengoperasikan LRT Jabodebek dan kereta cepat.
Oleh
AGNES RITA SULISTYAWATY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Memasuki usia 78 tahun, Indonesia menambah lagi dua moda transportasi massal. Kereta cepat dan LRT tanpa masinis mengukuhkan upaya mengurangi emisi dari sektor transportasi sekaligus ikhtiar mengembangkan transportasi publik. Akan tetapi, sejumlah pekerjaan rumah menghadang di tenggat menjelang operasionalisasi.
Diperlukan delapan tahun sejak peletakan batu pertama proyek pembangunan kedua moda ini pada 2015 hingga LRT Jabodebek dan kereta cepat siap beroperasi tahun 2023.
Selain pendanaan yang besar, yakni sekitar Rp 110 triliun (7,2 miliar dollar AS) untuk kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dan Rp 32,3 triliun untuk LRT Jabodebek, penyelesaian proyek kereta modern ini menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari pembebasan lahan, penyesuaian teknologi, hingga penyediaan akses ke stasiun.
Namun, setelah mengikuti uji coba LRT, Kamis (10/8/2023), Presiden Joko Widodo optimistis LRT dan kereta cepat bisa menarik pengguna kendaraan pribadi. Dengan begitu, kerugian akibat kemacetan di Jabodetabek dan Bandung, yang disebut Presiden hampir Rp 100 triliun per tahun, bisa ditekan.
Tentu saja, efek maksimal angkutan umum bisa terasa jika penumpangnya juga banyak. Untuk menarik penumpang, ada sejumlah faktor yang memengaruhi, seperti tarif yang terjangkau, kemudahan mengakses stasiun, integrasi antarmoda, keamanan, dan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi.
Di awal operasionalisasi nanti, LRT Jabodebek ditargetkan mengangkut 137.000 penumpang per hari dengan 434 perjalanan sehari yang dilayani 31 rangkaian kereta.
Adapun 11 rangkaian kereta cepat diproyeksi melayani 68 perjalanan per hari dan mengangkut 30.000 penumpang harian dalam lima tahun pertama.
Presiden menekankan aspek keselamatan dalam angkutan perkotaan massal ini.
Urusan keselamatan ini juga menjadi salah satu pertimbangan mundurnya operasionalisasi LRT Jabodebek dan KCJB dari jadwal semula, 18 Agustus 2023.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Kamis (3/8/2023), mengatakan, para pihak tengah mengupayakan agar kedua moda transportasi itu bisa beroperasi sempurna. ”Seperti kata Presiden, enggak usah buru-buru karena kereta ini sekali berjalan, enggak bisa berhenti,” ucapnya.
Ketua Forum Transportasi Jalan dan Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Aditya Dwi Laksana mencatat potensi gangguan di jalur kereta cepat yang harus dibereskan sebelum kereta beroperasi.
Salah satunya terkait sterilisasi jalur, terutama di jalur rel yang terletak di permukaan tanah, dari intervensi orang masuk ke jalur rel. Pelemparan ke kereta yang melintas juga perlu diantisipasi. Gangguan lain adalah layangan.
Aditya mengingatkan, ruang milik jalur di sisi kanan-kiri rel harus benar-benar steril untuk mencegah gangguan perjalanan kereta. Pita frekuensi GSM untuk komunikasi di sistem kereta cepat juga harus dipastikan steril karena komunikasi menjadi bagian vital pada sistem kereta modern.
Dirjen Perkeretaapian Risal Wasal mengatakan, sterilisasi jalur kereta cepat sudah tuntas. Seluruh jalur kereta cepat sudah dipagari demi keselamatan perjalanan.
Menurut EVP LRT Jabodebek M Purnomosidi, sistem sudah menjamin keselamatan kereta apabila terjadi gangguan perjalanan, seperti gempa bumi. Skenario evakuasi penumpang juga sudah disiapkan.
Pengembangan jalur
Budi Karya Sumadi menuturkan, seyogianya pemerintah selanjutnya melihat keberadaan moda angkutan umum ini sebagai inisiasi yang holistik dan diterapkan tak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar lain di Indonesia.
Khusus untuk kereta cepat, Menhub menyebut, jalur Jakarta-Bandung saat ini merupakan awal. ”Kita lihat teori umum, kereta cepat itu bagusnya (panjang jalur) di atas 500 kilometer. Jadi suatu keniscayaan itu terjadi,” ucapnya.
Saat ini, Kementerian Perhubungan belum memastikan jalur lanjutan kereta cepat karena memberi kesempatan kabinet mendatang untuk mengevaluasi dan menentukan rute berdasarkan pengalaman pembangunan KCJB.
Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi mengatakan, pembangunan KCJB jadi bekal pengalaman apabila kelak rute kereta cepat diperluas.
Salah satunya terkait dengan pengadaan lahan yang memakan porsi 16-17 persen dari total investasi KCJB. Dwiyana berpendapat, pemerintah mendatang bisa mempertimbangkan pengambilalihan pengadaan lahan di proyek pembangunan jalur kereta. Dengan demikian, nilai investasi di bidang perkeretaapian bisa dipangkas sehingga menarik bagi pihak swasta. Selain itu, proses pembangunan juga lebih cepat.
Terkait pengembangan kawasan berorientasi transit (TOD), Dwiyana mengatakan, rencana itu dihentikan sementara karena belum ada dana pengembangan. ”Kami mencoba mencari lahan yang sudah kami akuisisi. Ini yang ingin kami kembangkan,” katanya.
Ia menambahkan, pengelolaan TOD sebenarnya berpotensi menambah pemasukan bagi perusahaan di luar pendapatan dari penjualan tiket. Pemasukan di luar tiket ini sedikit-banyak tergantung dari pusat keramaian yang bisa diciptakan di sekitar kawasan stasiun.
Ketua Umum MTI Tory Damantoro mengatakan, pembangunan infrastruktur transportasi adalah salah satu syarat untuk mendorong dan mengembangkan perekonomian.
Adanya sarana transportasi bisa meningkatkan mobilitas masyarakat dengan lebih efisien sehingga pada akhirnya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. ”Transportasi itu juga salah satu tujuan akhirnya adalah memfasilitasi pertumbuhan ekonomi,” ujar Tory.