Jejak dan Dilema Pelaksanaan Vonis Mati
Putusan kasasi Mahkamah Agung yang membatalkan hukuman mati bagi Ferdy Sambo dan diubah menjadi hukuman seumur hidup memunculkan sejumlah pertentangan di Indonesia.
Pembatalan hukuman mati bagi Ferdy Sambo kembali memunculkan kontroversi penetapan hukuman tersebut di Indonesia. Melihat sejarah dan perkembangannya, terdapat sejumlah pertentangan dalam penerapannya di negeri ini.
Setelah beberapa bulan tidak terdengar, nama Ferdy Sambo, terpidana kasus pembunuhan Brigadir Yoshua Hutabarat, kembali ramai disebut di media massa dan media sosial. Hal ini terkait dengan putusan kasasi Mahkamah Agung yang membatalkan hukuman mati bagi Sambo dan diubah menjadi hukuman seumur hidup.
Tak hanya Sambo, putusan yang keluar pada Selasa (8/8/2023) tersebut juga mengurangi hukuman tersangka lainnya. Hukuman Putri Candrawati (istri Sambo) berkurang dari 20 tahun menjadi 10 tahun penjara. Ricky Rizal (bekas ajudan Sambo) mengalami pengurangan hukuman dari 13 tahun menjadi 8 tahun. Hukuman untuk Kuat Ma’ruf pun (asisten rumah tangga Sambo) berubah dari 15 tahun menjadi 10 tahun penjara.
Keluarga Brigadir Yoshua menyatakan sangat terpukul atas keputusan kasasi MA ini (Kompas.id, 10/8/2023). Apalagi sebelumnya hukuman mati terhadap Ferdy Sambo sudah diperkuat melalui putusan banding dari Pengadilan Tinggi Jakarta pada 12 April 2023.
Terlepas dari keputusan kasasi itu, hukuman mati memang selalu diliputi ketegangan yang dilematik. Sebagian pihak mendukung pelaksanaan hukuman mati sebagai wujud puncak ketegasan dan supremasi hukum. Namun, pihak yang berseberangan menuntut penghapusan hukuman mati karena bertentangan dengan hak asasi manusia, yakni hak untuk hidup.
Baca juga: Putusan MA Meruntuhkan Kepercayaan...
Secara global, sebagian besar negara sebenarnya sedang gencar menghapuskan hukuman mati. Amnesty International mencatat, sampai 31 Desember 2022, terdapat 144 negara yang telah menghapus hukuman mati, baik secara hukum maupun praktik. Jumlah ini mencakup sekitar tiga perempat dari seluruh negara di dunia. Di sisi lain, ada 55 negara yang masih melanjutkan praktik penjatuhan hukuman mati.
Dari ke-55 negara tersebut, 20 di antaranya melakukan eksekusi hukuman mati pada 2022. China paling banyak mengeksekusi terpidana matinya, yakni lebih dari 1.000 orang. Di bawahnya, ada Iran yang mengeksekusi 576 orang. Berikutnya, Arab Saudi menempati peringkat ketiga dengan jumlah eksekusi sebanyak 196 orang.
Di sisi lain, tercatat setidaknya 51 negara yang menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap terpidana di tahun yang sama. Peringkat pertama masih diduduki China, yakni lebih dari 1.000 vonis. Mesir mengambil posisi kedua dengan 538 vonis dan diikuti Bangladesh dengan 169 vonis. Indonesia berada di peringkat ke-6 (112 vonis mati).
Melekat
Praktik penjatuhan hukuman mati melekat dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Hukuman mati tertuang dalam aturan tertulis pertama manusia yang diketahui sejauh ini, yakni Codex Hammurabi dari Babilonia pada masa sebelum Masehi.
Di Indonesia, hukuman mati juga jamak digunakan oleh sejumlah kerajaan sejak ratusan tahun silam. Hal ini dapat dilacak ke dalam hukum adat berbagai suku-suku di Nusantara. Sejumlah metode eksekusi yang dipakai beragam, seperti ditenggelamkan, dilempar dengan lembing, atau dipenggal.
Kala itu, hukuman mati umumnya diberikan dalam prinsip ”nyawa ganti nyawa” sehingga rata-rata hukuman mati diterapkan bagi pelaku pembunuhan. Selain itu, hal yang dapat menyebabkan orang dihukum mati adalah melawan raja atau penguasa dan melanggar norma/aturan adat.
Pemerintahan Hindia Belanda semakin memopulerkan hukuman mati sebagai sanksi atas tindak kejahatan. Eksekusi dengan digantung atau pemancungan kepala di depan umum paling sering dilakukan di masa itu. Pada masa kolonial, hukuman mati umumnya terkait pencurian, desersi, pemberontakan, dan perzinahan.
Penggunaan hukuman mati yang tidak seragam di setiap wilayah dikonsolidasikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda di era Gubernur Jenderal Daendels tahun 1808. Upaya ini merupakan bagian dari penanggulangan pemberontakan seiring penguatan kekuasaan Belanda di Nusantara.
Baca juga: Saat KUHP Baru Berlaku, Hukuman Ferdy Sambo Bisa Lebih Ringan Lagi
Selanjutnya, pada 1873, Pemerintah Hindia Belanda memformalkan praktik hukuman mati melalui Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiaers) dan diperkuat melalui Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (WvSI) pada 1918. Ini merupakan kali pertama hukuman mati di Indonesia diatur ke dalam sebuah kitab hukum pidana dan berlaku secara nasional.
Pada saat itu, hukuman mati dibatasi pada kejahatan-kejahatan terberat, seperti mengancam keamanan negara, pembunuhan, pencurian, dan perampokan. Meski demikian, terdapat bukti-bukti kuat bahwa penerapan hukuman mati bersifat diskriminatif dan rasial terhadap pribumi.
Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia memilih mempertahankan penjatuhan hukuman mati sebagai sanksi pidana. Hampir sama dengan pemerintah penjajah, Pemerintah Indonesia merasa hukuman mati masih diperlukan untuk mencegah pemberontakan yang marak terjadi di masa awal pembentukan negara ini. Namun, seiring dengan semakin kondusifnya situasi dan keamanan, alasan ini beralih menjadi demi menjaga keamanan negara dan pencegahan timbulnya tindak kejahatan berat.
Penghentian sementara
Meskipun masih menerapkan vonis hukuman mati, Indonesia sejatinya berada dalam fase penghentian sementara atau moratorium eksekusi hukuman mati. Hal ini ditunjukkan dari tidak adanya eksekusi terpidana mati dari tahun 2017 hingga sekarang.
Pemerintah Indonesia terakhir melakukan eksekusi pada 2016 kepada empat terpidana kasus peredaran narkoba. Meski demikian, moratorium masih sebatas de facto atau dalam praktik saja, belum diperkuat dengan aturan tertulis.
Hal tersebut merupakan satu langkah menuju penghapusan hukuman mati. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat, terdapat total 78 orang yang dieksekusi regu tembak sepanjang tahun 1979-2016. Jenis kejahatan yang dilakukan terpidana meliputi kejahatan politik, narkoba, dan pembunuhan.
Baca juga: Keluarga Brigadir J Kecewa MA Kurangi Hukuman Ferdy Sambo
Proporsi terbesar disumbang oleh terpidana kejahatan politik, yakni 25 orang yang semuanya dieksekusi pada masa Orde Baru. Kemudian, terpidana terkait kasus narkoba yang dieksekusi berjumlah 24 orang dan terpidana kasus pembunuhan sebanyak 23 orang. Jumlah paling sedikit disumbang oleh terpidana kasus terorisme, yakni 6 orang.
Hukuman mati berevolusi dari masa ke masa, begitu pula dengan alasan yang melatarbelakangi penerapannya. Pada awalnya, hukuman mati diberikan untuk memberikan efek jera yang setimpal atas kejahatan yang dilakukan. Namun, kemudian, hukuman mati mulai kerap dipakai untuk mempertahankan keteraturan dan stabilitas keamanan masyarakat.
Hal ini ditempuh karena hukuman mati dirasa mampu menciptakan deterrence effect atau daya ancam kuat bagi masyarakat sehingga diharapkan mencegah munculnya tindak kejahatan tersebut. Di samping itu, hukuman mati dipakai untuk mempertahankan otoritas penguasa, yakni dengan menyingkirkan secara permanen ”musuh” yang dipandang dapat mengancam penguasa.
Namun, hukuman mati juga memiliki permasalahan utama yang melekat di dalamnya, yakni melanggar hak manusia untuk hidup. Hal ini menjadi argumen utama untuk menentang penerapan hukuman mati sejak masa awal kemerdekaan hingga sekarang oleh banyak pihak. Berbagai argumen menyatakan, sekalipun terpidana telah melanggar hak asasi orang lain, tidak seharusnya sistem peradilan menentukan hidup atau matinya orang bersangkutan.
John Truskett, pakar hukum dari University of Tulsa, di dalam jurnalnya (2004) juga menyatakan, negara-negara yang mempertahankan hukuman mati secara konsisten cenderung memiliki tingkat pelanggaran hak asasi yang tinggi. Di samping itu, kesalahan-kesalahan dalam sistem peradilan masih kerap terjadi sehingga orang yang tak bersalah dapat mati di tangan negara akibat dijatuhi pidana mati.
Merunut sejarah dan perkembangan hukuman mati, sejumlah pertentangan masih terjadi. Meski secara global sebagian besar negara mulai menghapus hukuman mati, tetap ada sebagian negara yang mempertahankannya.
Regulasi terbaru Indonesia mengambil jalan tengah di antara dua perspektif tersebut. KUHP baru yang disahkan pada Desember 2022 masih mengakomodasi hukuman mati. Namun, regulasi ini memberi ruang perubahan hukuman menjadi seumur hidup apabila berkelakuan baik selama sepuluh tahun masa percobaan. Pertimbangan ini diputuskan dengan melihat dalam-dalam adanya rasa penyesalan terdakwa dan adanya harapan untuk memperbaiki diri di kemudian hari. (LITBANG KOMPAS)