Melindungi Pekerja Informal dari Ancaman Krisis Iklim
Pekerja informal merupakan kelompok paling rentan terdampak tren pemanasan global karena sering kali harus bekerja di bawah terik matahari dengan perlindungan jaminan kesehatan yang sangat minim.
Oleh
Yoesep budianto
·5 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Buruh bangunan menyelesaikan pembuatan kompleks perumahan di Karangtengah, Jakarta, Jumat (2/12/2022). Berdasarkan data BPS, jumlah pekerja informal pada Agustus 2022 tercatat 80,24 juta orang.
Berdasarkan Organisasi Buruh Internasional (ILO), pekerja informal mencakup semua jenis mata pencarian yang minim atau tidak memiliki perlindungan hukum atau sosial di perusahaan, industri, atau rumah tangga. Ragam pekerjaan di sektor informal ini tersebar mulai dari petani, peternak, nelayan, penarik becak, ojek, pengemudi delman, hingga pedagang kaki lima.
Di bidang industri pengolahan, sektor informal dapat berupa produsen makanan, minuman, atau barang di level UMKM, pengelola bahan bangunan, atau industri lainnya. Dari sisi jumlah, keberadaan pekerja informal memiliki cakupan sangat besar di seluruh dunia, yaitu 60 persen dari total semua tenaga kerja global.
Sebagaimana fenomena di dunia, pekerja informal juga mendominasi lapangan pekerjaan di Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat per Februari 2023 ada 83,34 juta orang yang bekerja pada kegiatan informal. Dari total penduduk Indonesia yang bekerja sebanyak 138,63 juta orang, lebih dari separuhnya (60,12 persen) didominasi sektor informal.
Besarnya jumlah pekerja sektor informal menempatkan mereka pada simpul penting bagi pertumbuhan ekonomi daerah ataupun nasional. Hanya, para pekerja informal ini kerap dihadapkan dengan berbagai kenyataan memilukan.
Rata-rata pendapatan bersih tertinggi pekerja informal pada 2022 mencapai Rp 2.422.236 per bulan. Selain berpenghasilan minim dan tingkat keterampilannya yang relatif rendah, para pekerja informal juga minim fasilitas perlindungan dari ancaman kesehatan.
Bahkan, dengan tren krisis iklim yang terus meningkat saat ini, mereka masih jauh dari skema perlindungan tenaga kerja. Minimnya perlindungan tersebut dapat berisiko besar bagi kesehatan karena krisis iklim memicu banyak penyakit dan dampak ekologi lain.
Tren pemanasan global membuat kondisi bumi rentan dari berbagai ancaman yang berisiko bagi jiwa manusia. Tantangan besar pekerja informal di tengah krisis iklim adalah kerusakan fungsi tubuh karena bekerja terpapar suhu panas, pencemaran lingkungan, dan wabah penyakit di tengah perubahan sistem ekologi.
Banyak pekerja informal yang harus berjuang hidup di tengah paparan suhu ekstrem di luar ruangan. Mereka juga berada di lingkungan kerja yang memiliki kualitas udara buruk. Semua hal tersebut menyumbang penurunan fungsi organ tubuh sehingga dapat berisiko fatal. Jurnal ”Impacts of Climate Change on Outdoor Workers and Their Safety: Some Research Priorities” tahun 2019 menyebutkan sedikitnya ada 14 dampak kesehatan yang berisiko dialami pekerja informal, mulai dari dehidrasi, heat stroke, asma, kanker, hingga kecelakaan kerja dan kematian.
Kesehatan tubuh
Jenis pekerjaan informal, seperti petani, petambang, atau pekerja konstruksi, memiliki tempat kerja yang panas. Secara umum, hampir semua jenis pekerjaan informal dilakukan di ruang terbuka dengan jam kerja dimulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00. Bahkan, ada pekerjaan dengan jam kerja lebih padat dan sangat bervariasi hingga melebihi waktu kerja secara umum.
Saat ini, suhu harian di luar ruangan terasa lebih panas. Lonjakan suhu panas terjadi di sejumlah lokasi di Indonesia. Pantauan lonjakan suhu terjadi sekitar April 2023 hingga menyentuh angka 37 derajat celsius. Hal tersebut berpotensi menimbulkan dampak bagi sejumlah pekerjaan informal. Petani menjadi salah satu pekerjaan yang sangat rentan terimbas fenomena itu.
Mardiono (54), petani sayur dari Kampung Baru, Kelurahan Teluk Bayur, Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tengah mencangkul di ladangnya, Sabtu (3/6/2023) sore.
Berdasarkan pemberitaan Kompas (4 Juni 2023), panas yang terlalu terik memaksa petani di Berau, Kalimantan Timur, mengubah jam kerja. Saat ini, petani pergi ke ladang selepas shalat Subuh dan kembali ke rumah pukul 09.30. Selanjutnya, kembali lagi ke ladang menjelang petang hingga pukul 21.00 waktu setempat.
Bekerja di lingkungan yang sangat panas membuat sistem metabolisme tubuh terganggu bahkan memicu sistem tubuh yang stres. Ini terjadi karena peningkatan suhu inti tubuh dan kulit ketika paparan panas lebih besar diterima tubuh daripada pelepasan panas.
Bagian tubuh yang terdampak paparan suhu tinggi adalah kulit, sistem pernapasan, dan organ vital, seperti ginjal dan paru-paru. Jenis penyakit yang dialami dapat berupa dehidrasi, gagal ginjal kronik, kanker, hingga heat stroke. Infeksi saluran pernapasan, asma, dan infeksi paru-paru kronik juga mengancam keselamatan jiwa pekerja informal.
Sebuah riset berjudul ”The Effect of Global Warming on Mortality” tahun 2020 mengungkap signifikansi hubungan suhu harian dengan tingkat kematian individu. Secara umum, setiap orang memiliki sistem pengatur suhu yang disesuaikan dengan fluktuasi suhu lingkungan tempat tinggalnya. Meski demikian, ada risiko kekurangan atau defisiensi dalam sistem pengaturan suhu tubuh.
Ironisnya, studi tersebut menyebut ada 27 cara suhu ekstrem dapat mengancam keselamatan manusia. Setidaknya ada lima sistem tubuh yang sangat sensitif terhadap suhu panas, yaitu peradangan (inflamasi), aliran darah terhambat (iskemia), pengentalan darah, gangguan sel tubuh, dan kerusakan jaringan otot (rhabdomyolysis).
Selain penyakit yang menyerang organ tubuh, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memperingatkan bahwa setiap individu yang terpapar pemanasan global berisiko menerima berbagai tekanan yang menyebabkan gangguan mental. Setidaknya ada dua jenis tekanan krisis iklim, yaitu lingkungan dan sosial-ekonomi. Tekanan lingkungan yang dimaksud adalah polusi udara, kualitas dan kuantitas air bersih, ketahanan pangan, dan dampak degradasi lingkungan lainnya.
Tekanan sosial-ekonomi berhubungan dengan kerusakan dan kehilangan properti karena krisis, kemiskinan struktural, konflik dan kekerasan, penurunan daya tahan tubuh, serta migrasi paksa. Semua tekanan ini mampu mendorong individu pada kondisi gangguan mental.
Adaptasi komunal
Melihat potensi dampak tersebut, keberadaan pekerja informal di tengah krisis iklim sangat mengkhawatirkan. Dampak buruk yang diterima oleh pekerja sangat banyak dan membahayakan keselamatan jiwa. Dibutuhkan langkah adaptasi yang relevan terhadap kondisi krisis iklim saat ini.
Langkah adaptasi diawali dengan kesadaran bahwa tengah terjadi anomali iklim akibat pemanasan global. Kesadaran tersebut akan membentuk pola pikir untuk membuat rencana penanggulangan dengan baik.
Pengojek daring mengantar pelanggan di sekitar Stasiun Palmerah, Jakarta, Jumat (12/5/2023). BPJS Ketenagakerjaan mendorong pekerja informal seperi pengojek daring untuk menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Hingga akhir 2022, baru 6 juta pekerja informal yang terdaftar jadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Selain memiliki literasi krisis iklim, pekerja informal perlu melengkapi diri dengan jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan dapat berupa asuransi yang diselenggarakan pemerintah atau swasta.
Di Indonesia, jumlah peserta aktif BPJS ketenagakerjaan untuk kategori penerima upah hingga Juni 2023 mencapai 23,5 juta jiwa. Penerima upah ini terbagi dalam pekerjaan di sektor formal ataupun informal. Jumlah ini terbilang kecil dibandingkan jumlah angkatan kerja yang mencapai lebih dari 140 juta jiwa.
Apabila melihat persentase pekerja informal sekitar 60 persen, peserta BPJS Ketenagakerjaan dari kalangan ini diperkirakan 14 juta jiwa. Angka tersebut hanya 17 persen dari total pekerja informal nasional. Artinya, perlindungan pekerja informal sangat minim dari sisi jaminan kesehatan.
Oleh sebab itu, upaya meningkatkan kepesertaan pekerja informal dalam skema perlindungan BPJS Kesehatan perlu terus didorong. Selain itu, adaptasi komunal juga perlu dibangun melalui jejaring sosial, organisasi, dan berbasis keluarga. Ketangguhan komunal akan mendorong penanggulangan dampak krisis iklim lebih baik karena melibatkan banyak orang untuk bergotong royong. Adaptasi komunal juga mampu memperkuat komunikasi sebagai jaring pengaman antarkelompok dan keluarga.
Semua langkah adaptasi yang dilakukan tersebut adalah usaha terbaik untuk menekan serendah mungkin dampak krisis iklim bagi pekerja informal. Mereka yang harus berjuang hidup di ruang terbuka dan lingkungan yang berubah karena anomali iklim perlu mendapat perlindungan. Kesadaran pribadi dan kekuatan komunal dapat menjadi benteng yang ampuh untuk melindungi para pekerja informal dari degradasi lingkungan yang mengancam kesehatan dan jiwa mereka. (LITBANG KOMPAS)