Memburuknya Daya Dukung Bumi, Mengancam Kehidupan Manusia
Tujuh dari delapan parameter daya dukung ekosistem bumi telah melampaui ambang batas sehingga risiko kegagalan sistem ekologi dunia yang membahayakan manusia kian besar.
Daya dukung bumi untuk menjamin kehidupan makhluk hidup kian menurun. Tujuh dari delapan parameter kesehatan bumi telah menunjukkan perburukan signifikan ke masa depan.
Akumulasi aktivitas manusia selama ribuan tahun telah mendorong munculnya degradasi ekologis yang menggerus ruang hidup berbagai spesies makhluk hidup di muka bumi ini. Beberapa wujud degradasi itu berupa kerusakan lingkungan, munculnya wabah penyakit, terjadi kasus konflik sosial, hingga kemiskinan dan ketimpangan.
Dari sejumlah degradasi itu, kerusakan lingkungan merupakan salah satu dampak yang sulit untuk dihindari dan diatasi. Pasalnya, kerusakan alam ini berkaitan erat dengan fenomena pemanasan suhu global yang menyebabkan krisis iklim di berbagai seluruh dunia. Akibatnya, muncul anomali iklim dan cuaca yang mendorong perubahan pada berbagai siklus alam. Selain mengganggu kesetimbangan kehidupan, krisis iklim ini juga memicu peningkatan intensitas kejadian bencana di berbagai lokasi.
Badan Meteorologi Dunia (WMO) mencatat ratusan kejadian anomali iklim yang menimbulkan bencana katastropik. Di antaranya, kejadian suhu ekstrem tahun 2010 di Rusia menyebabkan kematian hingga 55,7 ribu jiwa. Dua tahun sebelumnya juga terjadi badai Nargis di Myanmar menewaskan 138,4 ribu orang. Bencana tersebut menimbulkan kerugian ekonomi yang relatif besar. Lima dekade terakhir nilai valuasi kehilangan ekonomi akibat bencana yang terjadi mencapai 3,64 triliun dollar AS atau sekitar Rp 54.600 triliun.
Ada berbagai faktor yang mendorong terjadinya krisis iklim di dunia. Salah satunya disebabkan oleh degradasi lingkungan akibat eskalasi laju deforestasi di permukaan bumi. Berdasarkan data Global Forest Watch, sepanjang periode 2002-2022 sedikitnya 16 persen tutupan alami hutan habis dibabat. Persentase tersebut setara dengan luasan sebesar 72,5 juta hektar atau 38 kali luas negara Indonesia. Alhasil, Living Planet Index yang menunjukkan daya dukung lingkungan terhadap keberlangsungan hidup suatu spesies turun hingga 69 persen dibandingkan tahun 1970.
Penurunan kualitas lingkungan itu membuka celah penyebaran vektor penyebab penyakit berupa bakteri dan virus. Kejadian paling fenomenal di abad ke-21 adalah munculnya pandemi Covid-19 yang berdampak pada sektor kesehatan, ekonomi, dan kehidupan sosial manusia di seluruh dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan akan munculnya potensi wabah penyakit lainnya seiring dengan terus memburuknya lingkungan bumi.
Baca juga: Menyusutnya Separuh Cadangan Air Tawar Danau di Dunia
Kerusakan lingkungan global diprediksi akan terus berlanjut dengan semakin bertambahnya populasi manusia. PBB mencatat jumlah manusia telah mencapai 8 miliar pada pertengahan November 2022 lalu. Penambahan populasi ini mencapai empat kali lipat dibandingkan tahun 1950. Dengan berlipatnya jumlah orang ini maka pemenuhan kebutuhan pangan dan tempat tinggal akan terus menjadi persoalan di berbagai belahan dunia.
Selain persoalan dasar kehidupan itu, masalah lain yang mengancam dari pertambahan populasi dunia ialah penurunan kualitas pendukung ekosistem dunia. Sebuah riset yang dilakukan oleh Johan Rockstrom dan tim peneliti lainnya mengungkap bahwa kualitas kesehatan bumi untuk mendukung kehidupan makhluk hidup mengalami kerusakan parah. Ada delapan parameter penentu yang diteliti oleh Rockstrom, yaitu anomali iklim, fungsi biosfer, area ekosistem alami, kualitas air permukaan, kualitas air tanah, siklus nitrogen, kadar fosfor, dan kadar aerosol.
Penelitian yang berjudul “Safe and just Earth system boundaries” yang dirilis pada Mei 2023 tersebut mengungkap bahwa dari delapan parameter yang diselidiki, tujuh parameter telah melampaui batas amannya. Artinya, ketahanan dan stabilitas sistem bumi kian dipertaruhkan. Implikasi terbesarnya adalah makin lebarnya paparan bahaya yang signifikan bagi kehidupan karena kegagalan sistem ekologi dunia.
Makin rusak
Pemodelan dan penilaian batas ekologi bumi yang dilakukan Rockstrom itu dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan kedalaman dampaknya terhadap kehidupan manusia. Parameter pertama yang telah melampaui batas amannya adalah iklim. Tiga unsur utama penilaiannya adalah kenaikan suhu global, emisi karbon, dan dampak krisis iklim.
Kenaikan suhu rata-rata global dibandingkan masa pra-industrialisasi dipatok sebesar 1,5 derajat Celsius saat ini. Hanya saja, ukuran paling ideal kenaikan suhu global seharusnya 1 derajat Celsius. Berdasarkan pengamatan laju peningkatannya sekarang, tercatat suhu global sudah naik mencapai 1,2 derajat Celsius. Makin memanasnya suhu mendorong banyak kerusakan pada sistem ekologi.
Salah satu penyebab utama pemanasan global adalah emisi karbon. Ada tiga gas utama penyumbang pemanasan global, yaitu karbon dioksida, metana, dan nitrogen oksida. Berdasarkan data NASA, ketiga gas tersebut meningkat tajam lebih dari 100 persen dibandingkan pra-industrialisasi. Kondisi ini turut memicu krisis iklim yang mendorong peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian bencana alam.
Selanjutnya, untuk parameter kedua dan ketiga dikategorikan sebagai sistem biosfer yang terdiri dari keanekaragaman hayati dan intervensi antroposen. Keanekaragaman hayati diukur melalui kepadatan vegetasi dalam luasan per satu kilometer persegi. Batasan yang ditetapkan adalah setiap satu kilometer persegi harus terdapat vegetasi seluas lebih dari 20 persen total luas wilayahnya. Sayangnya, saat ini lebih dari 40 persennya telah diubah ke lahan terbangun dan luasan vegetasinya kurang dari batasan yang disarankan.
Baca juga: Perlunya Skema Pendanaan untuk Mitigasi Krisis Iklim
Sementara itu, untuk poin intervensi manusia dijustifikasi berdasarkan seberapa luas lahan yang masih alami secara ekologis. Artinya, tidak ada perubahan fungsi dari ekosistem yang terbentuk sejak sedia kala. Batasannya adalah 60 persen, tetapi saat ini hanya tersisa sekitar 45-50 persen saja bagian bumi yang masih alami.
Parameter berikutnya yang telah melampaui batas aman adalah kualitas air permukaan dan air tanah. Kondisi kualitas air baik di permukaan ataupun di dalam tanah terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Berdasarkan pengamatan secara global menyebutkan bahwa sedikitnya 66 persen wilayah aliran sungai dan danau telah rusak, sedangkan ekosistem cadangan air tanah rusak sebanyak 53 persen dari luasan total di seluruh dunia.
Untuk menilai daya dukung bumi secara keseluruhan maka harus dilihat pula dua siklus utama nutrisi, yaitu siklus nitrogen dan fosfor. Keduanya termasuk dalam daur biogeokimia utama dunia yang berfungsi untuk mengembalikan semua unsur yang telah terpakai agar kelangsungan hidup komponen biotik dan abiotik tetap terjaga. Sayangnya, ketidakseimbangan ekologi menyebabkan surplus kadar nitrogen dan fosfor melampaui batasan sehingga menyebabkan eutrofikasi, pelepasan senyawa beracun ke lingkungan, hingga kematian sejumlah makhluk hidup.
Dari delapan parameter penilaian kualitas daya dukung bumi, hanya parameter polusi aerosol yang terpantau masih di dalam batas aman atau terkendali. Berdasarkan hasil pengamatan pola mobilitas partikel aerosol global, ada perbedaan signifikan antara bumi belahan utara dan selatan. Pola yang berbeda menunjukkan bahwa kadar polutan di beberapa tempat memburuk, tetapi di tempat lainnya cenderung terkendali.
Komitmen global
Buku There Is No Planet B, judul karya Mike Berners-Lee yang diterbitkan Cambridge University Press pada 2019, mengisahkan nasib keberlanjutan biodiversitas bumi. Ekosistem dan keanekaragaman hayati yang terancam serta lingkungan hidup manusia yang makin tercemar menjadi kombinasi sempurna yang membahayakan kondisi bumi saat ini.
Sayangnya, dari tahun ke tahun belum ada perbaikan signifikan dari fenomena itu. Laporan kerusakan lingkungan terus bermunculan dari segala penjuru dunia. Salah satu lokus permasalahan tersebut adalah pemanasan global yang bermuara pada krisis iklim. Mempertimbangkan kondisi tersebut, muncul inisiasi kuat secara global melalui Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang dimulai sekitar tahun 1994.
Baca juga: Beban Berat Generasi Muda Mengatasi Krisis Iklim
Setiap tahun, para pemimpin dunia, ilmuwan, pegiat lingkungan hidup, dan pemangku kepentingan terkait perubahan iklim duduk bersama dalam satu forum. Hasil keputusan konvensi tersebut, salah satunya adalah perumusan kebijakan untuk mempertahankan target batasan kenaikan suhu rata-rata global.
Kebijakan awal yang dihasilkan dari konvensi UNFCCC adalah Protokol Kyoto. Implementasi kebijakan tersebut mulai berlaku pada tahun 2005, meskipun perumusannya sudah dilakukan sejak tahun 1997. Proses ratifikasi tergolong rumit dan berlangsung lama karena Protokol Kyoto menargetkan kelompok negara maju untuk bertanggungjawab karena emisi karbon yang besar.
Berselang satu dekade, perumusan kebijakan pengendalian kerusakan lingkungan karena krisis iklim diperkuat melalui Perjanjian Paris 2015. Apabila Protokol Kyoto menargetkan kelompok negara maju, maka Perjanjian Paris mengikat semua negara di dunia. Peran negara maju masih serupa, yaitu mengurangi emisi karbon. Sementara itu, negara berkembang ikut aktif berperan dalam menjaga lingkungan dengan menekan deforestasi dan manajemen limbah.
Dampak krisis iklim terhitung sangat besar. Dana Moneter Internasional (IMF) mengestimasi kerugian ekonomi karena krisis iklim mencapai lebih dari 1,3 triliun dollar AS atau setara dengan Rp 19.527 triliun. Langkah mitigasi harus terus dilakukan oleh semua negara agar berbagai potensi kerugian akibat krisis iklim dapat terus diminimalkan. Oleh karena itu, komitmen untuk mencegah reduksi emisi karbon dan juga menjaga kelestarian lingkungan harus teguh dilakukan seluruh bangsa-bangsa di dunia guna menjamin keberlangsungan hidup umat manusia di masa depan. (LITBANG KOMPAS)