Tiga Kriteria Penting Komunikasi Politik Melalui Media Sosial
Dalam mengoptimalkan komunikasi politik melalui media sosial perlu mempertimbangkan tiga hal penting. Platform medsos yang dipilih, kelompok usia yang disasar, dan wilayah geografis yang dituju.
Media sosial menjadi saluran komunikasi politik yang kian diperhitungkan di Indonesia. Dalam melakukan pendekatan kepada audiens media sosial, para tokoh politik perlu memperhatikan sejumlah aspek, seperti pilihan kanal medsos yang digunakan, pengelompokan usia, hingga mempertimbangkan faktor geografis kewilayahan.
Mengonsumsi informasi digital yang bergulir melalui media sosial , kini sudah menjadi bagian keseharian masyarakat Indonesia. Laporan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bertajuk Survei Penetrasi dan Perilaku Internet 2023 menunjukkah sebesar 78,19 persen populasi Indonesia mengakses konten digital dari internet setiap hari, termasuk konten dari kanal medsos. Artinya pada tahun 2023 diperkirakan sekitar 215 juta orang Indonesia secara aktif berinteraksi dan berbagi informasi melalui platform medsos.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Berdasarkan laporan APJII, platform medsos yang paling sering diakses oleh warganet Indonesia adalah Youtube dengan proporsi pengguna hingga mencapai 65,4 persen. Selanjutnya, disusul oleh Facebook dengan pangsa pengguna 60,2 persen, Instagram pada urutan ketiga dengan pengakses sekitar 30 persen, dan terakhir ditempati Tiktok dengan pengguna sebesar 26,8 persen. Data ini menunjukkan besarnya potensi audiens pada masing-masing platform sehingga dapat dimanfaatkan para pembuat konten untuk berbagai tujuan, termasuk mendongkrak popularitas.
Oleh karena itu, pemanfaatan medsos tentu saja sudah menjadi bagian penting dari strategi komunikasi politik bagi para kandidat calon wakil rakyat hingga calon presiden dalam meningkatkan dukungan secara luas. Namun, untuk meningkatkan popularitas ini, para tokoh politik beserta tim pendukungnya harus tepat dalam menyiapkan materi konten dan juga pilihan kanal medsos yang sesuai dengan konten bersangkutan. Jadi, penggunaan medsos akan efektif dalam meningkatkan dukungan berdasarkan kriteria audiens yang ingin disasar.
Secara umum, perilaku audiens di ranah medsos dibedakan oleh beberapa faktor. Di antaranya, audiens yang cenderung memiliki preferensi atau kesukaan tertentu pada suatu hal, audiens yang cenderung terkelompok pada tingkatan usia atau generasi, dan juga warganet yang terpilah-pilah berdasarkan faktor geografis. Tiga aspek tersebut menjadi faktor penting yang dapat dikalkulasi aktor politik untuk mendulang dukungan melalui medsos.
Baca juga: Tingginya Belanja Iklan Politik Prabowo dan Golkar di Media Sosial
Basis dukung politik
Survei periodik Kompas yang dilaksanakan pada 29 April-10 Mei 2023 lalu memotret keragaman pola konsumsi informasi dari media sosial, terutama terkait informasi perpolitikan di Indonesia. Hasil survei menunjukkan bahwa sosok bakal capres yang didukung responden pada Pemilu 2024 nanti dapat dikelompokkan berdasarkan pilihan kanal medsos yang menjadi rujukan informasinya.
Responden pendukung Prabowo Subianto paling banyak mengakses informasi dari Facebook. Sebesar 24,7 persen responden pendukung Prabowo mengakui bahwa Facebook menjadi sumber informasi utamanya. Selanjutnya, responden pendukung Prabowo lainnya juga memanfaatkan platform medsos lain seperti Instagram sebanyak 15,2 persen dan Youtube sebesar 13,2 persen. Untuk memperluas informasi yang diperoleh dari ketiga kanal medsos itu, para pendukung Prabowo juga membagikannya melalui aplikasi berkirim pesan, Whatsapp.
Proporsi sumber informasi itu juga mirip dengan responden yang menjadi pendukung sosok bakal capres Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Basis pendukung Ganjar paling sering mengakses informasi dari Facebook (21,7 persen), kemudian disusul oleh Instagram (16,3 persen) dan terakhir dari Youtube (13 persen). Meskipun persentasenya berbeda, tetapi secara urutannya informasi medsos yang diterima pendukung Anies tetap sama seperti tokoh lainnya. Responden pendukung Anies, sumber utama informasinya berasal dari Facebook (23,2 persen), Instagram (18,3 persen), dan Youtube (12,2 persen).
Secara umum, preferensi atau pilihan medsos yang diakses oleh basis pendukung tiga calon kandidat capres itu memiliki kesamaan. Hal ini sejalan dengan hasil survei APJII bahwasanya ketiga media sosial tersebut masih menjadi favorit warganet di Indonesia. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam ekosistem medsos, arus informasi tidak bersifat searah.
Khalayak atau warganet yang menjadi bagian dari kerumunan maya pengguna medsos juga dapat secara aktif membagikan bahkan membuat konten mereka sendiri terkait kontestasi politik. Jadi, dapat dibayangkan bahwa potensi gesekan antarpendukung tokoh politik sangatlah besar dan dapat memicu munculnya konflik horizontal.
Kelompok generasi
Untuk menyasar audiens secara tepat, para tokoh politik perlu mengenal demografi audiens dalam ekosistem medsos. Misalnya, apabila akan menyasar kelompok anak muda generasi Z (17-24 tahun), maka pilihan medsos yang tepat adalah Instagram. Hasil survei Kompas menunjukkan mayoritas pengguna Instagram merupakan kalangan generasi Z dengan proporsi pengguna hingga 34,3 persen.
Kondisi ini memberikan gambaran bahwa Instagram menjadi kanal yang relatif sesuai untuk membangun komunikasi dan interaksi dengan kelompok pemilih pemula. Bagi sebagian besar gen Z, Pemilu 2024 menjadi pengalaman perdana dalam menyampaikan suara melalui mekanisme pemilihan umum.
Baca juga: Media Sosial dan Televisi Penopang Popularitas Capres 2024
Hal tersebut menjadi peluang besar bagi para tokoh politik dan juga partai politik untuk menabur citra baik bagi para generasi muda. Gen Z ini patut menjadi ajang mendulang suara yang cukup besar karena jumlah mereka dalam daftar pemilih tetap (DPT) menurut perhitungan KPU mencapai 22,85 persen atau sekitar 46,8 juta jiwa (Kompas, 2/7/2023).
Dengan demikian kanal media Instagram bisa menjadi ujung tombak sebagai platform sosialisasi seputar pemilu bagi generasi muda. Terutama untuk mengedukasi dan meningkatkan kepedulian serta partisipasi ketika pemungutan suara nantinya. Selain Instagram, medium medsos lain yang dapat digunakan adalah Facebook. Walaupun hanya separuh dari proporsi pengguna Instagram, yakni sekitar 18 persen, tetapi platform ini bisa dilirik juga sebagai kanal alternatif untuk mendekati gen Z.
Generasi selanjutnya, yang dibidik untuk meraih suara dalam kontestasi politik adalah kelompok gen Y atau Milenial. Generasi ini rentang usianya cukup lebar, yakni dari 25-44 tahun, yang mana dapat dikelompokkan menjadi generasi Milenial Muda dan Milenial Tua. Peta konsumsi medsos pada generasi ini terbilang dinamis karena pada generasi Milenial Muda cenderung memilih Instagram sebagai sumber informasinya. Ketika usia kian bertambah, preferensi pilihan media gen Y senior berubah dan bergeser ke Facebook.
Secara umum, data dari survei Kompas terkini menunjukkan bahwa mayoritas gen Y sebanyak 32,6 persen memilih Facebook sebagai sumber informasi yang diandalkan. Responden pada kelompok usia ini yang menggunakan Instagram sebagai sumber informasinya hanya 19,4 persen. Temuan ini tentu saja bertolak belakang dengan fenomena asupan medsos pada gen Z yang usianya lebih muda. Hal ini menunjukkan bahwa dua generasi yang berdekatan secara pengelompokan usia ternyata memiliki preferensi bermedia yang sangat kontras.
Dihitung berdasarkan populasi, pada Pemilu 2024 nanti, generasi Milenial potensial menyumbang suara hingga 68,8 juta pemilih atau mengakuisisi sebesar 33,6 persen dari total DPT nasional. Angka ini merupakan populasi suara terbesar dari berbagai generasi yang akan memilih nanti. Potensi suara dari gen Y itu cukup jauh meninggalkan peluang suara dari gen Z yang sekitar 23 persen, gen X 28,07 persen, Generasi Baby Boomers 13,73 persen, dan generasi sebelumnya yang hanya 1,74 persen.
Oleh karena itu, generasi usia produktif pada gen Z dan gen Y tentu saja akan menjadi sasaran utama para tokoh politik untuk meraih dukungan. Pasalnya, diakumulasi suara antara gen Z dan gen Y terhadap seluruh DPT mencapai 56,45 persen.
Selain bahasan pada usia produktif itu, ada hal lainnya yang juga menarik dilihat pada generasi yang berusia 60 tahun ke atas. Pada kelompok usia ini ternyata medsos juga masih dimanfaatkan untuk mencari sumber informasi. Medsos yang populer di kalangan ini adalah Youtube. Hal ini tidak terlepas dari model penyajian konten di Youtube serupa dengan televisi yang banyak dikonsumsi kelompok lanjut usia tersebut. Bahkan, bercermin dari pengamatan langsung, orang dengan usia lanjut bisa menonton Youtube secara berkesinambungan, dibiarkan memutar video selanjutnya secara terus-menerus. Padahal, secara sistem otomasinya, Youtube akan menampilkan video yang topiknya serupa dengan video sebelumnya.
Faktor kewilayahan
Selain faktor generasi dan preferensi media yang diakses, aspek kewilayahan juga perlu diperhatikan. Pasalnya, ketika dikelompokkan berdasar gugusan kepulauan, muncul keragaman medsos yang dipilih oleh masyarakat dari tiap-tiap wilayah. Hal ini bisa menjadi rujukan untuk memilih kanal yang tepat sebagai medium komunikasi yang jamak di suatu wilayah.
Gugusan kepulauan yang dijadikan dasar analisis yakni Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, serta Maluku dan Papua. Secara garis besar di seluruh wilayah tersebut Facebook menduduki peringkat teratas sebagai medsos yang paling sering diakses dan diyakini kebenaran informasinya.
Baca juga: Menjaga Citra Partai Politik di Media Sosial
Warganet di wilayah Maluku dan Papua memiliki preferensi pilihan paling tinggi tertuju pada Facebook. Sekitar 34 persen warganet di wilayah paling timur Indonesia itu memilih platform Facebook sebagai sumber informasinya. Daerah berikutnya yang juga mengandalkan Facebook adalah Sumatera dengan jumlah pengguna mencapai 30,3 persen. wilayah dengan tingkat kepercayaan yang paling rendah terhadap Facebook berada di Pulau Jawa dengan besaran pengguna hanya 19 persen saja.
Untuk platform medsos lainnya juga tidak berbeda jauh dengan Facebook dalam hal pemetaan konsumennya. Instagram juga sangat populer di wilayah Maluku dan Papua dengan jumlah pengguna mencapai 21,4 persen. Wilayah yang relatif minim peminatnya terhadap kanal medsos ini adalah Bali dan Nusa Tenggara dengan jumlah pengguna sekitar sembilan persen. Untuk wilayah Jawa, jumlah pengguna platform Instagram mencapai sekitar 15 persen atau menduduki peringkat kedua secara nasional.
Beragamnya fenomena media sosial tersebut dapat dimanfaatkan sebagai kanal informasi yang tepat dan efisien dengan mempelajari karakteristik dari masing-masing platform. Pilihan kanal medsos yang digunakan, pengelompokan usia, hingga mempertimbangkan faktor geografis kewilayahan menjadi tiga faktor yang dapat dicermati aktor politik dalam melakukan komunikasi politiknya.
Selain itu, hal lain yang juga harus dicermati dalam melakukan komunikasi politik ialah menyesuaikan format konten dengan kekhasan setiap kanal medsos. Ini perlu dilakukan untuk mengoptimalkan dukungan audiens media sosial. Setali tiga uang, tidak hanya demi tujuan menarik dukungan publik semata, para tokoh politik dan parpol diharapkan dapat memanfaatkan keterbukaan dan kebebasan kanal media sosial secara bijak supaya tidak menimbulkan konflik yang justru menyulut perpecahan bangsa. (LITBANG KOMPAS)