Demokrasi Perancis Hadapi Rasialisme Sistemik dan Gelombang Kerusuhan
Terlalu gegabah jika menyimpulkan persoalan rasialisme sistemik dan imigran akan membuat Perancis jatuh.
”Apa yang membuat Perancis jatuh adalah fakta bahwa tidak ada lagi Dreyfusard, tidak ada orang yang percaya bahwa demokrasi dan kebebasan, serta kesetaraan dan keadilan dapat dipertahankan atau diwujudkan di bawah republik. ” Begitulah cuplikan tulisan Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism (1951).
Dreyfusard yang ditulis Arendt dalam penggalan kalimat itu merujuk pada kasus Dreyfus (l’Affaire) yang menjadi tonggak penting dalam sejarah Republik Ketiga Perancis (La Troisième République). Kasus ini melibatkan Alfred Dreyfus yang dihukum atas tuduhan pengkhianatan spionase militer Perancis kepada Jerman pada 1894. Hukuman terhadap Dreyfus menimbulkan sentimen antisemitisme dan membagi Perancis ke dalam dua kubu.
Meski akhirnya Dreyfus terbukti tidak bersalah pada September 1899, efeknya masih berlanjut hingga memunculkan gejolak antara kekuatan politik dan sosial di Perancis beberapa tahun setelahnya. Hingga akhirnya pada 1905, Perancis secara resmi menetapkan undang-undang yang berisi pemisahan antara gereja (kekuasaan agama) dan negara (kekuasaan politik administratif). Penetapan negara dengan prinsip sekularisme (laïcité) dapat dikatakan sebagai proses pendewasaan pertama demokrasi Perancis setelah Revolusi Perancis (1789-1799).
Kembali ke kutipan tulisan Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism, Perancis dan negara Eropa lainnya masih meninggalkan persoalan sentimen rasial yang sudah terjadi sejak lama. Dalam tulisannya, Arendt menyinggung gerakan sosial kaum Yahudi di Eropa, termasuk di Perancis yang turut ambil bagian dalam mendukung dan mempertahankan negara, tapi gagal berasimilasi ke dalam masyarakat kelas Eropa. Memang, kritik Arendt ini perlu dipahami dalam konteks paham totalitarian yang saat itu memengaruhi gerakan imperialis-kolonialisme negara-negara Eropa.
Terlepas dari itu, dapat dilihat bahwa persoalan rasialisme sistemik sudah lama terjadi di daratan Eropa hingga Amerika meskipun pada kurun waktu yang sama Undang-Undang Penghapusan Perbudakan telah disahkan. Dengan konteks sejarah inilah, dapat dipahami sentimen rasial telah lama terjadi dan menjadi bom waktu bagi negara-negara tersebut. Inilah benang merah antara gerakan ”Black Lives Matter” setelah tewasnya George Floyd di Amerika Serikat pada 2020 lalu dan kerusuhan di Perancis menyusul tewasnya Nahel Merzouk pekan ini.
Di hadapan peristiwa kerusuhan yang terjadi, publik Perancis pun terbagi dalam dua kubu. Kubu pendukung imigran konsisten menyoroti praktik diskriminasi seperti sulitnya mendapat pekerjaan yang berimbas pada terjebaknya mereka dalam kemiskinan struktural. Bagi kubu anti-imigran, mereka melihat bahwa para imigran dan keturunannya masih erat membawa kultur mereka, enggan untuk berbaur, terasosiasi dengan tindakan kriminal, dan stereotipe negatif lainnya.
Baca juga: Kerusuhan Perancis, Antara Imigran dan Sentimen Antaretnis
Aksi kerusuhan dan penjarahan juga memperlihatkan dua sisi. Di satu sisi, adanya penjarahan membuktikan bahwa makin parahnya kesenjangan sosial ekonomi, khususnya para imigran dan keturunannya seturut pandangan kubu pendukung. Di sisi lain, kubu anti-imigran mendapat validasinya karena kerusuhan ini justru mengeksploitasi sisi anarkis para pendemo yang sebagian besar dari kalangan imigran.
Apalagi, peristiwa ini dengan segera ditumpangi dengan kepentingan politik antara sayap kanan dan sayap kiri yang sudah lama berseteru sejak terpilihnya Presiden Macron pada 2017. Pendukung sayap kanan melihat bahwa kerusuhan ini adalah implikasi atas terbukanya Perancis pada kedatangan para imigran. Di sisi lainnya, sayap kiri menyoroti lemahnya kepemimpinan Macron karena membiarkan praktik diskriminasi antaretnis dan menuntut pembaruan pemerintahan.
Persoalan rasialisme sistemik ini begitu kompleks karena melibatkan historisitas dan kultur sosial masyarakat. Perlu ada perubahan dua arah yang berjalan secara simultan. Para imigran dan keturunannya perlu menghormati konstitusi Perancis sebagai negara sekuler dengan mengikuti tata cara hidup di dalamnya. Sementara itu, penduduk asli perlu menerapkan prinsip kesetaraan dan universalitas terhadap warga imigran dan ”kulit berwarna”.
Kedewasaan demokrasi
Meskipun demikian, terlalu sempit jika hanya melihat gejolak masyarakat di Perancis sebatas pada kerusuhan pekan ini. Dibandingkan dengan negara di Eropa Barat lainnya, Perancis adalah yang terbanyak mengalami gejolak sosial politik dalam kurun lima tahun ke belakang. Tercatat, terdapat enam gelombang protes beserta aksi kerusuhan dengan beragam isu, termasuk ”gerakan rompi kuning” (Gilets Jaunes) dan reformasi pensiun.
Dengan adanya gejolak sosial politik yang terjadi, banyak pengamat mulai mempertanyakan kembali jalannya pemerintahan Perancis di bawah Presiden Emmanuel Macron. Lebih dalam lagi, kaum oposisi membawa isu krisis demokrasi (krisis de régime) yang menuntut perubahan radikal dengan pembaruan konstitusi dengan semboyan ”A bas la cinquième République” (Ganyang Republik Kelima). Pertanyaannya, perlukah Perancis memperbarui sistem demokrasi dan konstitusinya untuk menghadapi gejolak saat ini?
Baca juga: Kerusuhan Cerminan Wajah “Generasi Baru” Perancis
Perlu dilihat bahwa proses pendewasaan demokrasi di Perancis telah lama berjalan seiring bergantinya periode pemerintahan ke Republik Keempat Perancis dengan sistem pemerintahan parlementer (1946-1958). Sistem itu kemudian diperbarui menjadi Republik Kelima Perancis sejak 5 Oktober 1948 hingga kini dengan sistem semi-presidensial.
Meskipun pemerintahan terus berganti, Perancis tetap berpegang teguh pada semangat kebebasan ( liberté), kesetaraan ( égalité), dan persaudaraan ( fraternité) yang diusung sejak Revolusi Perancis dan diterjemahkan dalam konstitusinya.
Pasal 1 Konstitusi Perancis Tahun 1958 (Konstitusi Republik Kelima) tertulis, ”Perancis adalah negara yang tidak terbagi-bagi, sekuler, demokratis, dan republik sosialis. Menjamin persamaan semua ras dan agama, semua keyakinan yang diorganisasikan berdasarkan sistem desentralisasi”. Dalam filsafat politik, Perancis menegaskan prinsip universalisme dalam memperlakukan warga negaranya.
Terkait isu rasialisme sistemik, para pengkritik pemerintahan berargumen bahwa prinsip universalisme inilah yang menjadi penyebabnya. Pandangan ini tidak tepat karena justru dengan prinsip itulah setiap warga negara dapat menuntut hak sekaligus dituntut kewajiban yang sama. Hal yang perlu menjadi fokus kritik ialah praktik diskriminasi antaretnis yang disertai kekerasan polisi kepada warga imigran dan keturunannya.
Begitu juga dalam isu reformasi pensiun yang mengundang banyak kritik. Meskipun secara pemungutan suara hasilnya mayoritas penduduk menolak perpanjangan dua tahun masa pensiun, Presiden Macron tetap teguh akan mengesahkan aturan baru masa pensiun tersebut. Macron berpandangan bahwa banyak penyakit Perancis (termasuk keuangan negara yang bermasalah) diakibatkan oleh keputusan presiden masa lalu yang “takut terhadap aksi protes masyarakat di jalanan”.
Tantangan baru
Dengan gejolak sosial politik yang terjadi, Perancis terbukti berhasil membuktikan kedewasaan demokrasi dalam sistem pemerintahannya. Dalam konteks ini, demokrasi yang dimaksud tidak serta-merta mengikuti suara rakyat secara mutlak, tetapi berpegang pada dasar-dasar negara yang tertuang dalam konstitusi. Tentu saja, hal ini mensyaratkan warga negara yang dapat berpikir serta bertindak secara rasional.
Baca juga: Terkuaknya Luka Lama di Perancis
Namun, pendewasaan demokrasi ini mendapat tantangan baru dengan hadirnya media sosial yang gencar digunakan dalam gerakan-gerakan sosial. Sayangnya, konten bermuatan provokasi hingga hoaks juga berseliweran di media sosial selama sepekan terjadinya kerusuhan. Hal ini menjadi semacam pola baru dalam gerakan sosial yang terjadi di sejumlah negara.
Tidak heran jika setelah bertemu dengan lebih dari 250 wali kota di Istana Élysée, Paris, keluar wacana bahwa Pemerintah Perancis akan memberlakukan penangguhan sementara terhadap akses media sosial. Pejabat Élysée memberi keterangan, para pertemuan itu para menteri menyalahkan anak muda yang menggunakan media sosial seperti Snapchat dan TikTok untuk mengorganisasi serta mendorong aksi kerusuhan dan kekerasan.
Maka, dinamika sosial-politik di Perancis masih menarik untuk diperhatikan dalam beberapa waktu ke depan setelah peristiwa kerusuhan terjadi. Pastinya, Perancis tidak akan runtuh seperti tafsiran yang banyak beredar di media massa dan media sosial akhir-akhir ini, apalagi mewanti-wanti akan berefek juga ke Indonesia. Akhirnya seperti yang dituliskan Arendt, Perancis jatuh jika tidak ada lagi yang percaya bahwa demokrasi dan kebebasan serta kesetaraan dan keadilan dapat dipertahankan atau diwujudkan di bawah republik. (LITBANG KOMPAS)