Kerusuhan sepekan di Perancis menguak luka lama di negeri itu. Dari rasialisme sistemik, masalah kepolisian, hingga isu tersisihnya anak muda dari keluarga imigran.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Sekitar sepekan menyusul tewasnya remaja berusia 17 tahun keturunan imigran di tangan petugas kepolisian, 27 Juni 2023, Perancis diguncang kerusuhan besar. Unjuk rasa disertai penjarahan, pembakaran mobil dan kantor-kantor polisi serta gedung pemerintah, dan aksi-aksi vandalisme lainnya membuat otoritas negeri itu kewalahan.
Data yang dirilis Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin per Senin (3/7/2023) menunjukkan, lebih dari 5.600 kendaraan dibakar massa, 1.000 properti milik swasta dibakar atau dirusak, dan 250 kantor polisi diserang. Untuk meredakan kerusuhan, Perancis mengerahkan sekitar 45.000 polisi.
Yang mengejutkan dari data yang diungkap Darmanin, dari 3.354 orang yang ditangkap aparat selama kerusuhan sepekan itu, rata-rata usia mereka adalah 17 tahun. Ada pula yang berusia 12 tahun. Seperti dilaporkan, rasa frustrasi yang mengakar di ”warga terpinggirkan”, terutama anak muda, di Perancis meluap menjadi aksi penjarahan dan vandalisme. Frustrasi mereka karena tidak mendapat akses pendidikan dan lapangan kerja dilampiaskan dalam amuk massa sepekan itu.
Kerusuhan terbaru ini dipicu tewasnya Nahel Merzouk(17), remaja keturunan imigran asal Aljazair dan Maroko, akibat ditembak polisi, Florian M (38). Dalam rekaman video yang beredar, Nahel dicegat Florian dan seorang polisi lainnya di Nanterre, pinggiran Paris, 27 Juni pagi. Disebutkan, saat dicegat, Nahel tidak mempunyai SIM. Ia ditembak Florian dari jarak dekat saat mulai memacu mobilnya untuk kabur.
Rekaman video tersebut viral, menyulut kemarahan luas di seantero Perancis dan memantik kerusuhan besar. Presiden Emmanuel Macron menyebut penembakan terhadap Nahel ”tak dapat dimengerti dan tak termaafkan”. Florian telah ditahan dan didakwa dengan pembunuhan tanpa sengaja.
Bagi publik Perancis, kerusuhan yang dipicu oleh kekerasan aparat kepolisian terhadap warga keturunan imigran seperti deja vu. Pada tahun 2005, kerusuhan serupa meletus di Clichy-sous-Bois setelah dua remaja keturunan Afrika, Zyed Benna dan Bouna Traore, tewas tersengat listrik di sebuah gardu listrik karena menghindari kejaran polisi.
Jacques Chirac, Presiden Perancis kala itu, berjanji untuk memerangi ”racun” diskriminasi. Laporan tahun 2017, yang dikutip Financial Times (3/7/2023) dan The New York Times (29/6/2023), menyebutkan, laki-laki muda yang dipersepsikan sebagai orang Arab atau warga kulit hitam bakal 20 kali lebih sering diperiksa identitasnya oleh polisi dibandingkan warga Perancis lain.
Sudah lama keluhan rasialisme sistemik dan kekerasan polisi itu muncul. Sesuai doktrin universalisme tanpa pandang bulu, Perancis tak merekam data populasi berdasarkan ras dan etnis dengan tujuan untuk memperlakukan warganya setara. Namun, di mata pengkritiknya, doktrin itu justru menyembunyikan rasialisme sistemik dari generasi ke generasi.