Prioritas Impor Daging dalam Bentuk Sapi Hidup
Dalam mengimpor daging sapi, pemerintah sebaiknya mendatangkan sapi hidup daripada berbentuk daging sapi beku. Hal ini diperlukan untuk menyelamatkan peternakan nasional dan sekaligus meningkatkan perekonomian domestik.
Banyaknya daging impor yang masuk ke pasar domestik berimbas pada lesunya budidaya ternak di dalam negeri. Selain itu, juga menyurutkan pendapatan sejumlah sektor ekonomi lainnya yang berkaitan dengan budidaya peternakan.
Seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian masyarakat, kebutuhan konsumsi protein hewani, khususnya dari daging sapi juga turut meningkat. Badan Pangan Nasional (Bapanas) memperkirakan, rata-rata konsumsi daging sapi penduduk Indonesia tahun ini naik sekitar lima persen dari tahun lalu menjadi sebanyak 2,57 kilogram per kapita setahun.
Sayangnya, peningkatan konsumsi tersebut tidak berbanding lurus dengan kemampuan produksi daging dalam negeri. Alhasil, pemerintah harus mendatangkan daging impor guna menutup kebutuhan secara nasional. Tak hanya daging sapi, tetapi juga daging kerbau turut didatangkan untuk menambal kekurangan pasokan di Indonesia. Secara akumulatif, volume impor tahun ini naik menjadi sekitar 371 ton atau bertambah 30.000-an ton dari volume impor tahun lalu yang mencapai 340.000 ton.
Selain untuk menyuplai permintaan, langkah impor tersebut juga untuk stabilisasi harga karena harga daging impor dinilai lebih murah daripada daging produksi dalam negeri. Bahkan, secara lugas pemerintah menyatakan bahwa daging impor, salah satunya yang berasal dari India, dimaksudkan untuk menurunkan harga daging domestik yang cenderung lebih mahal.
Baca juga: Jalan Panjang Swasembada Daging Sapi
Harga daging India itu memang relatif lebih murah karena permintaan di negara asalnya tidak terlalu tinggi seiring dengan keyakinan mayoritas penduduknya yang tidak mengonsumsi daging sapi. Rendahnya permintaan domestik di India itu membuat produksi sapi atau daging di India menjadi over suplly sehingga membuat harga daging di negara tersebut relatif murah.
Meskipun demikian, masuknya daging beku impor yang diyakini lebih murah itu ternyata tidak serta-merta mampu menurunkan harga daging di pasaran Indonesia. Alih-alih turun, tren harga daging justru menunjukkan adanya kenaikan dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, konsumen tetap harus membayar dengan harga yang tidak murah untuk menikmati sepotong daging sapi (Kompas, 23 Maret 2023).
Nilai ekonomi
Dampak impor daging yang harapannya dapat menurunkan harga pasaran nyatanya belum juga terwujud. Akibatnya, konsumen tetap harus membeli daging dengan harga yang relatif mahal seperti biasanya. Tidak ada manfaat positif secara ekonomi yang dapat dirasakan di dalam negeri selain tercukupinya suplai daging secara nasional.
Eksternalistas negatif itu tidak hanya terasa pada sisi konsumen, pada sisi produsen pun merasakan dampaknya dari impor daging tersebut. Pasalnya, harga daging impor yang dinilai lebih murah itu membuat kalkulasi hasil produksi dalam negeri menjadi kalah bersaing. Akibatnya, antusiasme peternak menjadi turun tidak bergairah sehingga tidak menarik bagi para generasi muda, pengusaha, ataupun investor untuk mencoba mengembangkan usaha peternakan di Indonesia.
Lesunya regenerasi peternak itu salah satunya terlihat dari jumlah peternak sapi potong yang terus menyusut . Berdasarkan data Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2022, Kementerian Pertanian, jumlah rumah tangga peternak sapi potong pada kurun 2013-2018 turun sebesar 8,6 persen. Pada tahun 2013, jumlah peternak sapi potong mencapai 5,08 juta rumah tangga, tetapi pada tahun 2018 menurun menjadi 4,64 juta rumah tangga. Secara spasial, penurunan jumlah rumah tangga peternak terjadi di semua pulau, baik di Jawa maupun di Luar Jawa.
Fenomena tersebut kemungkinan tidak akan terjadi apabila pemerintah tidak terus-menerus memilih cara instan dengan mendatangkan daging impor dalam bentuk daging beku. Maksudnya, pemerintah mengimpor daging dalam bentuk sapi hidup atau bakalan, bukan dalam bentuk daging siap olah. Perbedaan bentuk impor tersebut membuat perbedaan signifikan dalam hal dampak berganda (multiplier effect) yang dihasilkannya. Nilai ekonomi impor sapi hidup lebih tinggi daripada sekadar mendatangkan daging beku dari luar negeri.
Baca juga: Menagih Komitmen Swasembada Daging Sapi
Dalam sebuah seminar daring yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) terlihat nilai tambah yang dihasilkan sapi hidup relatif sangat tinggi bagi perekonomian. Ketua Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) Didiek Purwanto mengilustrasikan, 100 kilogram daging sapi yang diimpor akan bernilai sama dalam tempo dua maupun tiga bulan berikutnya. Artinya, tidak ada nilai tambah yang dihasilkan dari 100 kilogram daging beku. Jika pun memiliki nilai tambah, akan sangat minim besarannya. Kemungkinan terbesar hanya akan melibatkan sektor transportasi dan pergudangan untuk distribusi dan penyimpanan.
Berbeda jika pemerintah mendatangkan sapi bakalan atau sapi hidup. Sebagai gambaran, sapi dengan bobot 300 kilogram atau setara 100 kilogram daging akan mampu menghasilkan daging siap konsumsi sebanyak 167 kilogram dengan pemeliharaan sekitar dua hingga tiga bulan. Perhitungan tersebut dengan asumsi pertambahan bobot badan harian atau average daily gain (ADG) sekitar 1,2 atau 1,3 kali.
Dampak berganda
Selain bobot yang bertambah, proses pemeliharaan sapi hidup akan menghasilkan nilai tambah lainnya. Nilai tambah itu tercipta karena adanya dampak berganda atau multiplier effect, baik ke belakang (backward linkage) maupun ke depan (forward linkage).
Sebagai contoh dampak berganda ke belakang, pemeliharaan sapi membutuhkan pakan atau hijauan. Artinya, dibutuhkan keterlibatan subsektor pertanian lainnya. Ditambah lagi dengan kebutuhan konsentrat. Untuk menghasilkannya diperlukan industri pakan konsentrat ataupun pakan olahan sehingga diperlukan keterlibatan sektor lainnya untuk menghasilkan mesin atau alat pengolah pakan.
Untuk menunjang kesehatan ternak diperlukan juga produk-produk kesehatan hewan, mulai dari vitamin hingga vaksin. Sama seperti pakan, untuk menghasilkannya dibutuhkan keterlibatan sektor industri. Setidaknya dua kebutuhan tersebut menggambarkan bahwa impor sapi hidup akan memberi nilai tambah bagi banyak sektor lainnya. Rangkaian proses ini hanya dilihat dari sisi pemeliharaan (on farm) saja, belum melibatkan sisi lainnya.
Pascapemeliharaan pun (off farm) juga memberikan nilai tambah pada sektor lainnya. Untuk diedarkan ke pasar diperlukan keterlibatan jasa pemotongan hewan. Tak ketinggalan, sektor transportasi juga berperan dalam semua proses tersebut guna mendistribusikan pakan hingga daging sampai ke tangan konsumen.
Selain itu, masih ada lagi produk sampingan yang dihasilkan dari sekadar daging. Meskipun menimbulkan pro dan kontra, produk sampingan seperti jeroan, kulit, lemak, dan tulang juga memberikan nilai tambah. Bahkan, kotorannya pun bisa menjadi pupuk tanaman hingga proses pengolahan biogas yang ramah lingkungan. Dapat dibayangkan betapa banyaknya sektor atau bidang usaha yang dapat turut serta merasakan dapak positif dari siklus peternakan sapi.
Baca juga: Menagih Komitmen Swasembada Daging Sapi
Secara makro ekonomi, setidaknya ada empat sektor besar akan terlibat dalam siklus peternakan sapi potong itu, yakni sektor pertanian, industri, transportasi, dan jasa kesehatan hewan. Untuk mengoptimalkan proses produksi barang dan jasa pada keempat sektor tersebut tentu saja dibutuhkan keterlibatan tenaga kerja yang tidak sedikit. Artinya, hal itu juga turut menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah pengangguran. Seluruh rangkaian tersebut pada gilirannya akan mendorong kemajuan perekonomian secara nasional.
Peternakan sapi potong menjadi salah satu kontributor subsektor peternakan yang secara agregat menyumbang sekitar 1,5 persen pada PDB nasional. Jika dinominalkan, nilai PDB peternakan pada tahun 2022 mencapai Rp 178 triliun.
Hanya saja, besarnya dampak berganda dari peternakan sapi potong tersebut tampaknya kurang menjadi perhatian serius, baik bagi pemerintah ataupun para pengusaha yang terlibat dalam tata niaga daging itu. Indikasinya terlihat dari impor sapi maupun kerbau bakalan justru terus menurun dari tahun ke tahun. Berdasarkan catatan Bapanas, impor sapi/kerbau bakalan tahun 2019 mencapai lebih dari 651.565 ekor, tetapi pada tahun 2022 lalu hanya tersisa sekitar 307.392 ekor. Sebaliknya, impor daging beku justru naik dari 204.055 ton menjadi 284.566 ton pada periode yang sama.
Kondisi tersebut bisa jadi disebabkan siklus panjang peternakan sapi yang dinilai menjadi penyebab kurang menariknya impor daging dalam bentuk sapi hidup. Masa pemeliharaan yang lama dan fluktuatifnya harga faktor produksi peternakan yang cenderung mahal membuat budidaya ternak menjadi tidak efisien. Akibatnya, mendorong biaya produksi ternak dan harga daging menjadi mahal. Jadi, lebih efisien langsung saja mengimpor daging dalam bentuk beku siap jual.
Opsi impor daging dalam bentuk beku itu memang tidak memberikan dampak positif yang luas bagi tata niaga daging secara nasional. Berbeda dengan impor daging dalam bentuk sapi hidup yang lebih banyak memberikan manfaatnya bagi banyak pihak. Apalagi, impor dalam bentuk daging beku itu nyatanya belum terbukti mampu memberikan harga yang lebih rendah hingga kini. Jadi, impor daging dalam bentuk sapi hidup layak menjadi prioritas yang harus diutamakan.
Setidaknya, dengan impor sapi hidup atau sapi bakalan, segala proses pemeliharaan dan pascaproduksinya dilakukan di dalam negeri. Artinya, perputaran ekonominya turut dirasakan oleh penduduk negeri sendiri. Berbeda dengan impor dalam bentuk daging karena dampak ekonominya lebih banyak dinikmati negara eksportir dan segelintir pihak yang terlibat dalam kegiatan impor tersebut.
Dengan kata lain, akan lebih adil jika harga daging yang relatif tinggi itu turut memberikan kesejahteraan bagi banyak masyarakat luas daripada mayoritas keuntungan dari tata niaga daging itu hanya dinikmati oleh segelintir pihak. Sama-sama mengeluarkan biaya untuk impor, tetapi memberikan andil ekonomi yang berbeda pada rangkaian proses produksi dan distribusinya. Oleh karena itu, impor daging dalam bentuk sapi hidup layak untuk diprioritaskan. (LITBANG KOMPAS)