logo Kompas.id
Bebas AksesJalan Panjang Swasembada...
Iklan

Jalan Panjang Swasembada Daging Sapi

Sejak awal dicanangkan, yakni tahun 2000, swasembada daging sapi belum kunjung terealisasi. Artinya, lebih dari dua dekade, Indonesia masih impor sapi. Kapan kita swasembada?

Oleh
Agustina Purwanti
· 4 menit baca
Sapi yang dipelihara di peternakan hewan NusaQu di Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (4/6/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Sapi yang dipelihara di peternakan hewan NusaQu di Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (4/6/2023).

Sejak awal dicanangkan, yakni tahun 2000, swasembada daging sapi belum kunjung terealisasi. Melalui Program Kecukupan Daging Sapi, pemerintah saat itu menargetkan pada tahun 2005 Indonesia mampu memenuhi kebutuhan daging sapi secara mandiri. Namun, kurangnya anggaran hingga maraknya pemotongan sapi betina membuat harapan tersebut tidak dapat terpenuhi.

Program pun dilanjutkan dalam skema Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi dengan target capaian pada tahun 2010. Untuk merealisasikannya, pemerintah menyusun sejumlah langkah operasional, di antaranya optimalisasi kelahiran, penyediaan bibit bermutu, dan pengembangan sumber daya manusia melalui kelembagaan.

Namun, beragam strategi tersebut belum juga membuahkan hasil berupa swasembada daging sapi. Pemenuhan kebutuhan daging sapi dalam negeri masih disokong oleh impor sekitar 30 persen. Padahal, suatu negara dapat dikatakan berhasil swasembada jika mampu memenuhi pasokan domestik minimal 90 persen.

Meskipun demikian, rencana meraih swasembada daging sapi tetap terus diupayakan. Pemerintah kembali menargetkan Indonesia mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri pada tahun 2022. Selain swasembada, pemerintah juga menargetkan Indonesia mampu mengekspor daging sapi ke luar negeri.

Motor menjadi kendaraan karena luasnya padang penggembalaan ketika mereka memantau dan mengarahkan ternak sapi di Dusun Maribaya, Desa Kalinusu, Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Rabu (31/5/2023).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Motor menjadi kendaraan karena luasnya padang penggembalaan ketika mereka memantau dan mengarahkan ternak sapi di Dusun Maribaya, Desa Kalinusu, Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Rabu (31/5/2023).

Namun, lagi-lagi skenario itu belum mampu diwujudkan hingga sekarang. Kegagalan ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar, apakah akan memengaruhi peta jalan pemerintah dalam meraih swasembada daging sapi dan kerbau dan juga target lumbung pangan Asia pada tahun 2045?

Alih-alih terus meningkat, proporsi produksi daging lokal sebagai syarat swasembada justru kian menyusut. Berdasarkan data Outlook Daging Sapi 2022 Kementerian Pertanian, produksi daging sapi lokal tahun 2017 mampu mencapai 76,6 persen, tetapi pada 2022 justru susut menjadi 61 persen.

Baca juga: Mencari Alternatif Impor Sapi Hidup

Pada periode itu, volume produksi daging sapi terus berkurang dari 486.300 ton menjadi 440.700 ton. Ironisnya pada saat bersamaan, porsi impor daging kian meningkat dari 25,7 persen menjadi 34,4 persen.

Artinya, kondisinya masih belum berubah jika dibandingkan dengan satu dekade silam. Bahkan, dapat dikatakan relatif terjadi kemunduran. Pasalnya, proporsi impor terus meningkat seiring dengan volumenya yang juga kian bertambah, dari 163.000 ton menjadi 248.000 ton pada periode yang sama.

https://cdn-assetd.kompas.id/FP8QjSndNbs9Ud7YDXjma_pVzmc=/1024x3088/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F23%2F5add48cd-f7ae-4dc8-b917-871dcdb60ec9_png.png
Iklan

Berdasarkan data terbaru dari paparan Badan Pangan Nasional dalam diskusi swasembada daging, 6 Juni 2023, produksi daging sapi dan kerbau nasional hanya memenuhi 52,9 persen dari total kebutuhan nasional. Kerbau turut diperhitungkan lantaran komoditas tersebut masuk dalam klasifikasi lembu yang kini sering digunakan untuk menambal kebutuhan daging sapi nasional.

Secara rata-rata, produksi daging sapi dalam negeri hanya menyumbang 55 persen sepanjang 2020-2022. Sisanya ditutup dengan mendatangkan daging impor. Sama seperti data Kementerian Pertanian, tren impor daging sapi dan kerbau juga terus meningkat. Tahun 2020 sebanyak 329.000 ton dan diproyeksikan meningkat hingga 371.000 ton pada tahun ini seiring dengan perkiraan kenaikan total konsumsi daging. Kondisi tersebut menunjukkan, cita-cita swasembada daging sapi masih di angan-angan.

Peternak lokal

Selain tidak terbukti mewujudkan swasembada daging, serbuan daging impor juga mengganggu gairah para peternak untuk melanjutkan usahanya. Salah satu indikasinya terlihat dari kian berkurangnya pelaku usaha peternakan. Merujuk data Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2022, jumlah pelaku usaha peternakan sapi potong turun dari 5.078.979 rumah tangga pada tahun 2013 menjadi 4.642.186 rumah tangga pada tahun 2018.

Salah satu faktor penyebab turunnya minat beternak itu adalah iklim usaha yang tidak menentu serta kesejahteraan peternak yang cenderung minim. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tren nilai tukar petani peternakan (NTPT) lima tahun terakhir relatif menurun, terutama pada 2019-2021 dengan nilai NTPT di bawah 100 yang mengindikasikan peternak dalam keadaan tidak sejahtera.

Sejumlah sapi dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Barat dipamerkan dalam Kontes Ternak Jabar di GOR Singalodra, Kabupaten Indramayu, Jabar, Selasa (23/7/2019).
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Sejumlah sapi dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Barat dipamerkan dalam Kontes Ternak Jabar di GOR Singalodra, Kabupaten Indramayu, Jabar, Selasa (23/7/2019).

Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya NTPT konsisten berada di atas angka 100. Perbaikan baru mulai tampak tahun 2021 dengan rata-rata NTPT sebesar 101,2. Meskipun bermakna sejahtera karena lebih dari 100, tetap saja tingkat kesejahteraannya masih tergolong sangat minim.

Analisis uji korelasi menunjukkan ada keterkaitan yang signifikan dan cukup kuat antara impor dan NTPT. Arah korelasinya negatif. Artinya, jika terjadi kenaikan impor, NTPT atau kesejahteraan peternak akan menurun.

Baca juga: Perjalanan Ribuan Kilometer demi Memasok Sapi Ibu Kota

Dengan kondisi tersebut, keengganan peternak untuk melanjutkan usahanya pun menjadi tak terhindarkan lantaran tidak ada jaminan kesejahteraan. Biaya operasional pemeliharaan ternak terus meningkat, sedangkan tidak ada jaminan harga jual yang menguntungkan karena harus berkompetisi dengan daging impor yang kemungkinan jauh lebih murah. Sebaliknya, jika swasembada daging dapat terwujud, lebih berpotensi mengangkat pendapatan dan kesejahteraan peternak (Arif dkk, 2011).

Selain itu, skala usaha ternaknya pun relatif masih subsisten, yakni didominasi skala kecil (1-2 ekor) per rumah tangga.

Pekerja membongkar-muat ratusan sapi lokal yang baru tiba dari Nusa Tenggara Timur ke dalam truk di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (9/2/2016).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pekerja membongkar-muat ratusan sapi lokal yang baru tiba dari Nusa Tenggara Timur ke dalam truk di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (9/2/2016).

Fenomena ”tradisional” itu bisa jadi menjelaskan alasan turunnya produksi daging sapi di tengah konsistensi kenaikan populasi sapi. BPS mencatat, populasi sapi potong meningkat 16 persen atau sekitar 2,6 juta ekor sepanjang satu dekade terakhir. Namun, pada periode yang sama, jumlah sapi yang tercatat dipotong di rumah pemotongan hewan justru turun 38,9 persen atau sekitar 553.000 sapi.

Kondisi ini menuntut perhatian lebih dari pemerintah jika swasembada daging sapi ingin diwujudkan. Menjadi ironi ketika produksi dalam negeri tak mampu mencukupi kebutuhan domestik, sedangkan populasi sapinya tercatat tertinggi. Atau, catatan populasi itu hanya sekadar proyeksi tanpa ada realitasnya? Pasalnya, di tengah populasi yang meningkat, nyatanya impor daging justru kian membanjiri negeri ini.

(Litbang Kompas)

Editor:
ALBERTUS SUBUR TJAHJONO, HARYO DAMARDONO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000