Dalam jangka pendek, kebijakan impor daging dapat meredam situasi pasar, salah satunya dengan mengendalikan harga. Namun, dalam jangka panjang, ketahanan pangan dan swasembada daging makin pelik untuk diwujudkan.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·4 menit baca
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Suasana blok kandang sapi Perumda Dharma Jaya, Jakarta Timur, 13 Juni 2022. Sejak merebaknya penyakit mulut dan kuku (PMK), Perumda memastikan kondisi hewan ternak yang masuk harus dalam kondisi sehat sebelum dilepas ke pasar.
Impor daging dapat dipandang sebagai langkah untuk menjaga ketersediaan barang dan menekan harganya agar tidak melambung. Namun, di sisi lain, hal ini menjadi masalah tatkala dihadapkan pada arah swasembada daging dalam negeri.
Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait impor daging lembu pada tahun 2017-2021, tren impor daging cenderung meningkat. Dalam lima tahun terakhir, penurunan jumlah impor hanya terjadi dari tahun 2019 ke tahun 2020. Pada tahun 2019, jumlah impor daging sejenis lembu 262.300 ton. Angka ini sedikit turun menjadi 223.400 ton pada tahun 2020.
Selebihnya, dari tahun ke tahun, jumlah impor terus meningkat. Bahkan, jika membandingkan jumlah impor daging pada tahun 2017 dengan tahun 2021, angkanya naik signifikan, yakni dari 160.200 ton menjadi 273.500 ton. Artinya, dalam lima tahun terakhir, kenaikan impor daging sapi mencapai 70,7 persen.
Ketergantungan impor daging sejenis lembu terbesar berasal dari dua negara, yakni Australia dan India. Dalam kurun lima tahun terakhir, hampir separuh jumlah daging sapi yang diimpor Indonesia berasal dari Australia.
YOHANES MEGA HENDARTO
Usman Saliman (70) menunggu pembeli di lapak daging sapinya, Senin (13/3/2023). Selama lebih dari 30 tahun berdagang di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, ia selalu mendulang keuntungan dari larisnya berjualan daging sapi, terutama menjelang hari raya.
Data tahun 2021 menunjukkan, impor daging sapi dari Australia 122.900 ton atau 44,9 persen dari total seluruh impor. India berada di urutan berikutnya dengan 84.900 ton atau 31,1 persen. Hal ini menunjukkan sekitar tiga perempat impor daging sapi Indonesia bergantung pada dua negara ini.
Problem yang harus dihadapi pemerintah dengan tren kenaikan jumlah impor adalah konsistensi kebijakan. Pemerintah mengandalkan impor salah satunya untuk menjaga ketersediaan barang, padahal swasembada daging pernah menjadi narasi kebijakan yang ingin diperjuangkan pemerintah.
Pada tahun 2016, misalnya, pemerintah menyatakan target swasembada daging dalam sepuluh tahun. Niat ini diungkapkan Presiden Joko Widodo.
”Dari hitung-hitungan, rencana program itu akan selesai dalam sembilan hingga sepuluh tahun ke depan. Program ini memerlukan proses karena harus ada seleksi untuk mendapatkan sapi-sapi yang memiliki performa yang bisa dipakai menghasilkan bibit unggul,” ujar Presiden (Kompas, 22/6/2016).
Arah kebijakan
Target waktu yang dicanangkan pemerintah tampaknya masih sulit diwujudkan. Di tengah usaha pemerintah untuk melakukan swasembada daging, faktanya tren impor daging sejenis lembu terus naik dari tahun ke tahun.
Ketidakjelasan arah dan langkah nyata pemerintah untuk melakukan swasembada daging tecermin pula dari data produksi daging sapi dalam negeri. Dengan rentang waktu yang sama dengan tren kenaikan angka impor daging sejenis lembu dalam lima tahun terakhir, data produksi daging sapi dalam negeri menunjukkan angka stagnan, malah cenderung turun.
Tahun 2017, BPS mencatat produksi daging sapi dalam negeri 486.300 ton. Angka ini sedikit naik menjadi 504.800 ton pada 2019.
Namun, jumlahnya cenderung turun pada tahun berikutnya. Pada 2021, jumlah produksi daging sapi dalam negeri bahkan menyentuh 437.800 ton saja. Jika membandingkan data 2017 dengan 2021, terlihat ada penurunan produksi daging sapi dalam negeri sebanyak 48.500 ton atau 10 persen.
Tak hanya dari data di atas, arah pemerintah dalam tata niaga daging sapi juga terlihat abu-abu pada tataran regulasi. Pada Februari 2022, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2022 yang mengubah PP Nomor 4/2016 tentang Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona dalam Suatu Negara Asal Pemasukan.
Mengacu pada aturan tahun 2016, impor daging sapi awalnya hanya dapat dilakukan perusahaan milik negara (BUMN). Dalam perubahan peraturan tahun 2022, pelaku usaha lain di luar BUMN, yakni swasta, diperbolehkan melakukan impor daging sapi setelah memenuhi persyaratan tertentu. Kebijakan setidaknya dapat dimaknai makin besar keran dibuka untuk impor daging sapi.
Pihak importir memang dapat dipandang akan terdampak jika pemerintah tegas menjalankan swasembada. Namun, asumsi ini tak sepenuhnya dibenarkan oleh importir. Direktur Utama PT Berdikari (Persero), salah satu perusahaan impor daging sapi, Harry Warganegara menyatakan bahwa pihaknya sudah siap dengan berbagai skema jika memang langkah tegas swasembada diimplementasikan.
”Kami terus membaca arah kebijakan pemerintah, seperti apa yang diinginkan. Jika arahnya swasembada daging, kami sudah menyiapkan skema-skemanya. Apa pun arah kebijakan pemerintah soal daging, kami siap,” ujar Harry, Jumat (17/3/2023).
Menurut Harry, PT Berdikari selama ini lebih fokus mendatangkan daging sapi beku dari Brasil dengan volume 20.000 ton per tahun. Memasuki tahun 2023, menurut dia, perusahaan yang berinduk pada IDFood ini sedang dalam proses untuk menambah volume impor hingga 100.000 ton.
”Prosesnya saat ini, salah satunya, kami menunggu keluarnya rekomtek (rekomendasi teknis) untuk bisa menambah jumlah impor daging sapi,” ujar Harry.
Berbicara soal kebijakan untuk mengatasi persoalan daging sapi, apa pun langkah kebijakan yang diambil mau tak mau memuat konsekuensi. Dalam jangka pendek, kebijakan impor dapat meredam situasi pasar, salah satunya dengan memenuhi kebutuhan ketersediaan barang sekaligus menekan harga semurah mungkin.
Namun, dalam jangka panjang, ketahanan pangan dan swasembada daging makin pelik untuk diwujudkan. Pada akhirnya, peternak dalam negeri makin terimpit jika kebijakan tata niaga daging sapi tak segera diperjelas arahnya.(LITBANG KOMPAS)