Empat Pelanggaran HAM Berat, Hanya Satu Bersalah
Sebanyak 4 dari 17 kasus pelanggaran HAM berat telah disidangkan. Dari sederet tersangka, hanya satu yang dinyatakan bersalah.
Sebanyak 4 dari 17 kasus pelanggaran HAM berat telah disidangkan. Dari sederet tersangka, hanya satu yang dinyatakan bersalah. Di tengah upaya untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu, apa makna yang bisa kita petik dari belum ditemukannya dalang dari kejahatan kemanusiaan ini?
Kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, Abepura 2000, dan Paniai 2014 telah disidangkan. Perjalanan panjang pengusutan kasus ini hanya membuat satu nama dijatuhi hukuman. Proses yudisial yang melelahkan dan sulit akhirnya belum bisa memberikan jalan keadilan bagi korban dan keluarga korban.
Proses persidangan kasus Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, dan Abepura 2000 telah sampai ke tingkat kasasi. Adapun pada kasus Paniai, sidang pertama baru digelar di Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar pada 8 Desember 2022.
Kesamaan dari keempat kasus tersebut adalah hampir semua terdakwa yang dihadapkan ke pengadilan dinyatakan bebas. Dalam kasus Paniai, terdakwa tunggal Mayor Inf (Purn) Isak Sattu divonis bebas dari hukuman 10 tahun penjara.
Kasus Paniai ini terjadi di tengah aksi unjuk rasa warga di Koramil 1705-02 Enarotali yang memprotes pemukulan yang dilakukan oleh sejumlah oknum TNI pada 8 Desember 2014. Dalam peristiwa ini, pasukan TNI menembak warga yang menyebabkan 4 orang meninggal dan 10 lainnya luka-luka.
Adapun pada kasus Abepura, dua terdakwa Brigjen (Pol) Johny Wainal Usman selaku Wakil Komandan Satuan Brimob dan Kombes Daud Sihombing selaku Kapolres Jayapura divonis bebas baik di tingkat pertama maupun kasasi. Lalu, bagaimana dengan peristiwa yang terjadi di masa Orde Baru? Tidak adakah yang bertanggung jawab pada kejahatan terhadap kemanusiaan ini?
Baca juga: Merunut Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat
Tanjung Priok
Pada kasus Tanjung Priok, butuh waktu sampai 15 tahun hingga peristiwa ini diselidiki. Kasus ini dibuka tak lepas dari upaya warga Tanjung Priok yang memperjuangkan hak mereka untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi terhadap kawan atau saudara mereka pada 12 September 1984. Butuh waktu lebih kurang empat tahun hingga kasus ini tuntas diproses hingga ke peradilan.
Peristiwa Tanjung Priok sendiri terjadi ketika perekonomian Indonesia dihantam krisis akibat anjloknya harga minyak dunia pada tahun 1980-an. Aktivitas ekonomi di Tanjung Priok pun ikut terganggu, misalnya ketika pemerintah membatalkan berlabuhnya 200 kapal setiap hari di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Kondisi tersebut membuat masyarakat mengkritik pemerintahan Orde Baru, salah satunya lewat penempelan pamflet-pamflet kritik dan ceramah-ceramah di masjid. Kritik yang disampaikan turut menyoal kebijakan asas tunggal Pancasila yang membuat kelompok Islam semakin tersingkir. Penyeragaman ideologi Pancasila ini dijalankan negara atas nama stabilitas politik.
Perjumpaan tragis antara kritik rakyat dengan represi negara muncul saat massa menuntut empat warga yang ditangkap untuk dibebaskan. Pada 12 September 1984, aksi massa yang bergerak ke Kodim Jakarta Utara berkembang menjadi bentrokan hingga penembakan oleh aparat.
Gayung bersambut, Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Tanjung Priok (KP3T) pada 29 Februari 2000. Hasil penyidikan rampung dalam kurun empat bulan lalu diserahkan kepada Jaksa Agung. Namun, berkas dikembalikan untuk dilengkapi dan diserahkan kembali pada 14 November 2000.
KP3T merekomendasikan 23 nama pelaku dan penanggung jawab yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat di Tanjung Priok. Dalam peristiwa tersebut, disimpulkan telah terjadi pembunuhan kilat (summary killing), penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention), penyiksaan, dan penghilangan orang secara paksa. Pelanggaran terhadap kemanusian ini menyebabkan 33 orang meninggal dan 55 korban luka.
Penyelidikan kemudian dimulai pada 13 November 2000. Kejaksaan Agung menetapkan 14 tersangka, yakni Mayjen Sriyanto (mantan Perwira Seksi Operasi Kodim Jakarta Utara), Mayjen (Purn) Pranowo (mantan Kepala Pomdam Jaya), Mayjen Rudolf Butar-butar (mantan Komandan Kodim Jakarta Utara), dan Kapten Sutrisno Mascung (mantan Komandan Regu I Arhanud) beserta 10 anggotanya.
Proses peradilan kemudian berjalan lebih kurang selama satu tahun sejak majelis hakim untuk perkara ini dibentuk pada 28 Agustus 2003. Dari 14 terdakwa yang diadili dalam empat berkas perkara, semuanya divonis bebas di tingkat kasasi.
Baca juga: Komitmen Capres Tuntaskan Pelanggaran HAM Masa Lalu
Timor Timur
Rentetan pelanggaran HAM berat di Timor Timur terjadi sejak Presiden BJ Habibie mengeluarkan opsi referendum kepada Timtim. Referendum kemudian dilaksanakan pada 30 Agustus 1999. Butuh waktu sekitar tujuh tahun hingga kasus ini tuntas diproses ke peradilan.
Untuk menyelidiki dugaan pelanggaran tersebut, Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur (KPP HAM Timtim) pada 23 September 1999.
Kasus utama yang diselidiki mencakup pembunuhan di kompleks Gereja Liquica, penculikan enam warga Kailako-Bobonaro, pembunuhan penduduk sipil di Bobonaro, penyerangan rumah Manuel Carrascalao, dan penyerangan Diosis Dili.
Selain itu, juga kasus penyerangan rumah Uskup Belo, pembakaran rumah penduduk di Maliana, penyerangan kompleks Gereja Suai, pembunuhan di Polres Maliana, pembunuhan wartawan Belanda, Sander Thoenes, pembunuhan wartawan dan rohaniwan di Los Palos, dan beberapa peristiwa kekerasan terhadap perempuan.
Komnas HAM mengindikasi kuat telah terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara terencana, sistematis, serta dalam skala besar dan luas.
Pelanggaran ini berupa pembunuhan massal, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan, pemerkosaan, dan perbudakan seksual terhadap perempuan dan anak, pengungsian paksa, pembumihangusan dan perusakan harta benda.
Aparat sipil, militer, dan kepolisian bekerja sama dengan milisi telah menciptakan situasi yang mendukung terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut merupakan tanggung jawab tiga kelompok, yaitu para pelaku di lapangan, mereka yang melaksanakan pengendalian operasi, dan pemegang tanggung jawab kebijakan keamanan.
Hasil penyelidikan diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada 31 Januari 2000. Sebanyak 31 nama direkomendasikan untuk disidik, termasuk merekomendasikan Kejaksaan Agung melakukan penyidikan terhadap Panglima ABRI Jenderal Wiranto.
Komnas HAM memastikan keseluruhan pelanggaran HAM sepenuhnya diketahui dan disadari oleh Wiranto selaku penanggung jawab keamanan nasional, serta pejabat sipil dan militer di Timtim pada masa itu.
Proses penyelidikan kasus Timtim dimulai pada 17 April 2000. Tim Penyidik Gabungan Pelanggaran HAM Timtim selanjutnya mengumumkan 19 tersangka pada 1 September 2000.
Beberapa di antaranya memiliki jabatan tinggi, yakni mantan Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana Mayjen Adam Damiri, Brigjen Tono Suratman, Brigjen (Pol) Timbul Silaen, dan mantan Gubernur Timtim Abilio Jose Osorio Soares.
Dari sederet nama besar yang menjadi terdakwa, kasus pelanggaran HAM berat yang berskala masif di Timtim ini hanya memvonis satu orang bersalah.
Pada 13 Maret 2006, MA memvonis Eurico Guterres dengan hukuman 10 tahun penjara. Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Pro-Integrasi Timor Timur ini diyakini melakukan pelanggaran HAM berat di Timtim.
Pelanggaran HAM berat diakui benar terjadi, tetapi tidak ada tersangka yang terbukti bertanggung jawab. Keadaan ini membuat para korban dan keluarga korban tidak mendapatkan rekomendasi dari pengadilan untuk mendapatkan hak atas kompensasi maupun restitusi. Dengan preseden ini, ke mana lagi keadilan harus dicari? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Melawan Lupa Duka Korban Reformasi