Merunut Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat
Banyak kasus pelanggaran ham berat belum terselesaikan, bagaimana nasibnya saat ini?
Sebagian besar kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu belum memasuki proses penyidikan. Perkara yang telah disidangkan pun hampir membebaskan semua terdakwa. Tak terbantahkah upaya pengusutan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini jalan di tempat, di jalur yudisial yang panjang.
Sebagian besar peristiwa yang ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat masih di babak awal proses penuntasan. Deretan panjang kejahatan terhadap kemanusian yang terjadi di Indonesia pun niscaya makin dilupakan masyarakat.
Secara terperinci, terdapat 19 kasus dengan dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut terbentang dari tahun 1965 hingga 2014. Merujuk laporan-laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebanyak 17 kasus telah rampung diselidiki dan ditetapkan sebagai peristiwa dengan pelanggaran HAM berat.
Dari kasus-kasus tersebut, empat diantaranya telah disidangkan. Kasus Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, dan Abepura 2000 telah diproses di persidangan hingga tingkat kasasi. Semua terdakwa pada kasus Tanjung Priok dan Abepura diputus bebas oleh Mahkamah Agung (MA).
Adapun pada kasus Timor Timur, hanya satu terdakwa yang dinyatakan bersalah. Pada 13 Maret 2006, MA memvonis Eurico Guterres dengan hukuman 10 tahun penjara. Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Prointegrasi Timor Timur ini diyakini melakukan pelanggaran HAM berat di Timor Timur.
Kasus Paniai 2014 juga telah diproses di Pengadilan HAM di Makassar. Pada 8 Desember 2022, Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar memvonis bebas terdakwa tunggal yang dituntut hukuman 10 tahun penjara.
Sementara itu, berkas dari 13 kasus pelanggaran HAM berat lainnya masih bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Sejumlah kasus telah berusia dua dekade sejak hasil penyelidikan diserahkan Komnas HAM kepada Kejagung.
Hasil penyelidikan pertama kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998-1999 telah diserahkan Komnas HAM ke Kejagung pada 29 April 2002. Adapun hasil penyelidikan kasus Kerusuhan Mei 1998 telah diserahkan pada 19 September 2003. Sementara kasus Wasior 2001-2002 dan Wamena 2003 telah diserahkan pada 3 September 2004.
Selain kasus-kasus yang sudah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat, dua kasus sedang dalam proses penyelidikan untuk menggali apakah terdapat pelanggaran HAM berat di dalamnya. Keduanya adalah Peristiwa Bumi Flora 2001 dan pembunuhan Munir Said Thalib 2004.
Baca juga : Melawan Lupa Duka Korban Reformasi
Jalan panjang
Jalan panjang penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bukanlah pepesan kosong semata. Mayoritas kasus dengan pelanggaran HAM berat yang dituntaskan Komnas HAM masih belum ditindaklanjuti dengan proses penyidikan.
Padahal, setelah proses penyidikan masih banyak tahapan-tahapan yang harus dilalui hingga tersangka mendapatkan hukuman dan keluarga korban mendapatkan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
Tidak hanya proses yang panjang, penuntasan kasus juga melibatkan banyak pemangku kepentingan untuk mendukung jalannya proses yudisial. Dengan silih bergantinya kepemimpinan, langkah mencapai titik akhir penuntasan sungguh sangat berat.
Pada 7 Juni 2023 ini Komnas NAM genap berusia 30 tahun dan sepanjang berdirinya tersebut, komisi yang menangani pelanggaran hak asasi manusia ini telah menerima 109.095 aduan sejak 1993 hingga 2023 ini.
Sesuai dengan mandat UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat.
Selanjutnya, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang melibatkan unsur masyarakat untuk melakukan penyelidikan guna menindaklanjuti kasus dengan dugaan pelanggaran HAM berat. Penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat dapat dilakukan terhadap peristiwa yang terjadi setelah maupun sebelum adanya undang-undang tersebut.
Dengan bukti permulaan yang cukup, Komnas HAM lalu menyampaikan hasil penyelidikan kepada penyidik, yakni Jaksa Agung. Dalam pelaksanaan tugasnya, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.
Setelah hasil penyidikan lengkap, Jaksa Agung melakukan penuntutan perkara. Pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim pengadilan HAM yang terdiri dari hakim pada pengadilan HAM dan hakim ad hoc. Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan presiden atas usul ketua MA.
Adapun pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diundangkannya UU No.26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan ini dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Keputusan Presiden.
Perkara pelanggaran HAM berat dapat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi dan dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung. Hakim ad hoc di MA diangkat oleh presiden atas usulan DPR.
Setiap korban pelanggaran HAM berat atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Akan tetapi, melihat fakta persidangan sebelumnya di mana hampir seluruh terdakwa dibebaskan, hak-hak inipun tak diterima korban maupun keluarga korban.
Baca juga : Komitmen Capres Tuntaskan Pelanggaran HAM Masa Lalu
Tugas media
Merujuk hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Mei 2023, kurang lebih separuh responden tidak menghiraukan peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu. Sebagian besar dari proporsi tersebut mengaku sudah lupa, sementara yang lainnya tidak mengetahui sama sekali.
Mengambil contoh pada kasus pelanggaran HAM berat dalam Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Sebanyak 34,2 persen responden mengaku lupa pada peristiwa ini dan 12,6 persen menyebut tidak mengetahui sama sekali.
Pudarnya memori kolektif pada kejahatan kemanusiaan di masa lalu ini semakin memprihatinkan jika melihat jomplangnya pengetahuan yang dimiliki tiap generasi.
Sebagai contoh, 40,9 persen publik muda tidak tahu sama sekali adanya pelanggaran HAM berat pada Peristiwa Mei 1998. Kalangan ini diwakili oleh responden berusia 17-24 tahun.
Adapun pada kalangan yang lebih matang secara usia, proporsi yang tidak mengetahui sangatlah sedikit. Tercatat hanya 4,2 persen pada 24-39 tahun dan 7,5 persen pada 40-55 tahun. Responden usia 56 tahun ke atas tidak ada yang tidak mengetahui peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Menjadi tugas media massa untuk tidak lelah mengabarkan perkembangan kasus ini untuk menjaga ingatan lintas generasi. Lebih lagi, media massa menjadi sumber yang dirujuk oleh separuh publik untuk mengetahui sejarah pelanggaran HAM di Indonesia.
Di tengah arena perlombaan untuk menjadi paling viral, bertekun dalam mengabarkan kondisi pengusutan HAM menjadi tugas mulia. Sinergi bersama masyarakat yang semakin berkesadaran, niscaya akan memberikan energi baik untuk melangkah di jalan panjang peradilan HAM.
Merunut kembali peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu tidak lepas dari upaya memperkuat ingatan bangsa dan negara ini pada pekerjaan rumahnya untuk memberikan keadilan pada korban, keluarganya, dan sejarah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Negara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat