Menakar Kembali Tren Elektoral Partai Politik Islam
Tren elektoral partai politik Islam cenderung menurun. Apa penyebabnya?

Perjalanan pemilihan umum di Indonesia merekam bagaimana tidak mudah bagi partai politik berbasis pemilih Islam untuk mendulang elektoral. Orientasi partai yang lebih menggarap semua segmen pemilih dan tidak tunggalnya orientasi politik pemilih Muslim menjadi tantangan yang tidak mudah bagi partai politik Islam.
Penurunan ini bisa dilihat dari tren perolehan total suara yang diraih dari gabungan partai-partai politik berbasis pemilih Islam. Kita lihat saja dari peristiwa yang terjadi pada Pemilu 1955.
Pemilu pertama yang digelar di Indonesia ini dikenal sebagai pemilu yang menjadi tonggak pesta demokrasi. Apalagi ketika itu wacana ideologi begitu kental mewarnai kontestasi politik. Tidak heran jika kemudian pada pemilu awal ini, partai-partai berbasis Islam tercatat meraih dukungan suara yang relatif tinggi.
Litbang Kompas mencatat, pada Pemilu 1955 tersebut, total dari gabungan suara partai politik Islam, baik yang asasnya memang mencantumkan Islam maupun basis pemilihnya dari pemilih Muslim, mencapai 43,5 persen.
Hal ini tidak lepas dari hasil pemilu yang merekam, dari tiga besar partai politik peraih suara terbanyak, dua di antaranya adalah partai berbasis pemilih Islam.

Kedua partai politik tersebut adalah Partai Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menempati urutan kedua dengan 20,9 persen suara. Kemudian disusul Partai Nahdlatul Ulama (NU) yang menempati urutan ketiga dengan 18,4 persen suara.
Sementara di urutan pertama adalah Partai Nasional Indonesia (PSI) dengan 22,3 persen suara. Tentu, di luar Masyumi dan NU, partai-partai berbasis pemilih Islam lainnya turut menyumbang total elektoral dari kelompok partai Islam ini.
Perolehan suara dari total partai-partai Islam ini kemudian menurun drastis pada Pemilu 1971, pemilu awal era Orde Baru, yang hanya meraih 27,1 persen suara atau anjlok hampir separuh dari yang pernah diraih pada Pemilu 1955.
Kondisi ini tidak lepas dari konstelasi politik di mana Partai Masyumi tidak lagi bisa menjadi peserta pemilu karena sudah dibubarkan Presiden Soekarno pada tahun 1960. Praktis, tumpuan pemilih ideologis Islam hanya pada Partai NU yang meraih posisi kedua di pemilu setelah Golkar dengan 18,6 persen suara.
Pascakebijakan fusi partai politik tahun 1973, praktis aspirasi politik dari pemilih ideologis Islam lebih banyak mengarahkan ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai politik hasil fusi dari sejumlah partai politik berbasis Islam.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F29%2F6de1e620-fad4-4271-ab26-fff8a7aff0b0_jpg.jpg)
Ribuan kader dan pengurus PKB dari sejumlah daerah menghadiri apel kebangkitan Indonesia dan pelatihan Dewan Pengurus Anak Cabang PKB se-Jawa Tengah di GOR Samapta, Kota Magelang, Rabu (29/6/2022).
Sayangnya, kebijakan fusi ini juga diikuti dengan kebijakan massa mengambang (floating mass) yang cenderung membatasi ekspresi dan aspirasi politik dari pemilih.
Tak heran jika kemudian sepanjang tiga dekade lebih sepanjang pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, perolehan suara PPP cenderung stagnan di posisi kedua dan hampir tidak pernah melewati sepertiga dari total pemilih yang ada.
Sejumlah literatur sejarah pemilu menyebutkan, pemilu yang terjadi di ere Orde Baru ini lebih bertumpu pada mobilisasi dibandingkan partisipasi.
Kekuasaan Golkar yang dominan yang ditopang oleh rezim dengan dukungan ABRI dan birokrasi menjadikan kelompok ini (saat itu tidak disebut sebagai partai politik) sebagai kekuatan yang hegemonik. Betapa tidak, setidaknya dari tujuh kali pemilu, kemenangan Golkar selalu hampir menguasai mayoritas dukungan pemilih.
Baca juga : Memahami Identitas Kepartaian dan Pemilih Partai
Reformasi
Memasuki era Reformasi dengan iklim demokrasi yang lebih terbuka dan partisipatif, potensi elektoral partai-partai politik berbasis pemilih Islam juga mulai merangkak naik. Pada Pemilu 1999, daya elektoralnya mencapai 36,7 persen.
Angka ini kembali naik tipis pada Pemilu 2004 dengan 28,3 persen. Namun, tren selanjutnya, potensi elektoralnya kembali menyusut. Pada Pemilu 2009 total suara yang diraih partai berbasis pemilih Muslim ini mencapai 29,2 persen, kemudian bertahan di angka 30 persen pada Pemilu 2014 dan 2019.
Tentu, volatilitas elektoral partai Islam ini tidak lepas dari semakin ketatnya persaingan politik antarpartai dalam memperebutkan suara pemilih.
Jika dirunut dari Pemilu 1999 dengan jumlah peserta pemilu sebanyak 48 sampai kemudian terakhir pada Pemilu 2019 dengan jumlah peserta pemilu mencapai 16 partai politik nasional, setidaknya ada empat partai politik berbasis massa Islam yang relatif bertahan hingga saat ini.

Infografik Perolehan Suara Parpol Berbasis Pemilih Islam
Keempat partai politik tersebut adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan PPP sebagai partai lama hasil fusi di era Orde Baru. Keempat partai ini tentu memiliki karakter yang berbeda meskipun sama-sama lebih dekat secara emosional dengan pemilih Islam.
PKB, misalnya, adalah partai politik yang dideklarasikan oleh tokoh-tokoh NU, termasuk Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid. Secara kultural, basis massa PKB memang tidak bisa lepas dari pemilih kalangan Nahdliyin.
Survei Litbang Kompas periode Mei 2023 dan periode-periode sebelumnya juga merekam bagaimana porsi terbesar dari kelompok pemilih PKB ini memang dari warga NU.
Sementara PAN, yang secara historis di awal pendiriannya juga tidak bisa dilepaskan dari tokoh-tokoh Muhammadiyah dan sejumlah aktivis, menjadikan partai ini lebih dekat secara kultural dan emosional dengan warga Muhammadiyah. Meskipun tidak sekental PKB dan NU, posisi PAN di mata warga persyarikatan relatif lebih dekat sebagai jalur afiliasi politiknya.
Kedua partai yang memiliki basis massa khusus ini juga tak sepi dari pesaing politik. Dari jalur yang relatif sama, PKB, misalnya, juga pernah dihadapkan pada lahirnya sejumlah partai politik berbasis warga NU, seperti Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKU) dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI).

Simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bersorak dalam Puncak Milad Ke-21 PKS di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (20/5/2023).
Meskipun pada perjalanannya partai-partai ini gagal bertahan, sejarah membuktikan PKB tidak mudah untuk bersaing dengan ceruk yang sama dengan partai-partai tersebut.
Hal yang sama juga dialami PAN. Sebut saja dengan kehadiran Partai Matahari Bangsa (PMB) pada Pemilu 2009 yang kemudian juga pada Pemilu 2024 ini hadir Partai Ummat yang dimotori oleh mantan Ketua Umum PAN Amien Rais.
Sebelumnya, saat tahapan verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024, sempat muncul juga Partai Pelita yang dimotori mantan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin, tetapi gagal lolos menjadi peserta pemilu.
Selain PKB dan PAN, PKS dan PPP juga bertahan menjadi barisan partai yang selama ini dekat dengan ceruk pemilih Islam. PKS dengan dinamika elektoralnya sejak mengikuti Pemilu 1999 bisa dikatakan relatif tumbuh bertahan di tengah gejolak politik yang menyertainya.
Salah satu bukti kesuksesan partai yang embrio kelahirannya dari aktivis-aktivis mahasiswa Muslim di kampus ini adalah sukses melewati ujian politik ketika sang presidennya terjerat kasus korupsi. Kasus korupsi tersebut tak serta-merta membuat partai ini anjlok. PKS bertahan meskipun sulit untuk mendongkrak elektoralnya hingga mencapai dua digit.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F31%2F325cb156-8cb3-4d4e-a711-f663b969e9b7_jpg.jpg)
Simpatisan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berkumpul di Gedung Jogja Expo Center, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (31/1/2022), dalam acara peringatan Harlah Ke-49 PPP.
Sementara PPP memiliki pemilih loyal meskipun ceruknya makin berkurang. Salah satu indikasinya dari perolehan suara dan kursi yang makin menurun dari pemilu ke pemilu.
Hasil survei Kompas juga menempatkan partai ini masuk kategori kelompok partai politik yang harus memasukkan potensi penambahan sampling error untuk bisa masuk dalam kelompok partai yang lolos ambang batas parlemen empat persen.
Sejumlah upaya juga dilakukan PPP untuk bertahan di tengah potensi ujian ambang batas parlemen ini, salah satunya dengan bergabung kembali bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden pada 2024. Tentu, efek elektoral diharapkan PPP dengan posisinya tersebut.
Baca juga : Membaca Arah Pilihan Politik Warga NU di Pemilu 2024
Dua kondisi
Terlepas dari volatilitas yang terjadi dan dialami oleh kelompok partai politik berbasis pemilih Muslim, setidaknya ada dua kondisi yang bisa menjelaskan mengapa partai-partai Islam tersebut tidak mudah bertengger di papan atas perolehan elektoral secara nasional.
Pertama, karakter partai politik menuju pada wajah partai dengan pandangan yang sangat inklusif dan terbuka untuk berbagai elemen masyarakat.
Konsep catch-all party lebih banyak dimainkan untuk meraup dukungan pemilih dari berbagai latar belakang dan orientasi politik. Partai seperti ini memang berupaya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan harapan masyarakat.
Untuk itu, partai politik akan cenderung lebih inklusif, terbuka, dan mudah beradaptasi dengan situasi dan perubahan yang terjadi. Orientasi utamanya adalah melebarkan dukungan dari pemilih di Indonesia yang relatif heterogen.
Karena itu, partai politik yang cenderung eksklusif dan lebih banyak dimaknai melekat di partai-partai berbasis pemilih Islam akan sulit mendapatkan dukungan yang lebih lebar dari pemilih.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F12%2F023879c8-0da5-4a76-b934-0409e126b213_jpeg.jpeg)
Iring-iringan simpatisan Partai Amanat Nasional (PAN) saat para pengurus DPP PAN mendaftarkan bakal caleg DPR RI ke kantor Komisi Pemilihan Umum), Jakarta, Jumat (12/5/2023).
Kedua, kondisi di internal kekuatan politik Islam sendiri yang cenderung tidak tunggal. Hal ini menjawab mengapa pada Pemilu 1955 suara dukungan lebih tinggi karena jumlah orientasi politik dari pemilih Islam lebih banyak ke Masyumi dan Partai NU saat itu. Dengan makin banyaknya jumlah partai berbasis pemilih Islam, tentu sulit akan mendapatkan kristalisasi dukungan pemilih Muslim.
Akibatnya, eksistensi partai Islam menjadi diperdebatkan. Jika merunut rekam jejak, hal ini pernah dilontarkan oleh cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid. Cak Nur, demikian ia biasa dipanggil, pernah melontarkan kalimat yang sangat fenomenal pada tahun 1970-an. Ia menyatakan, ”Islam Yes, Partai Islam No.”
Mengutip wawancara di Kompas edisi 12 Oktober 1997 yang menyinggung soal pernyataannya tersebut, Cak Nur mengaku berupaya melakukan otokritik soal pikiran-pikiran yang mengeklaim soal Islam oleh partai politik.
Orientasi politik dari partai politik Islam memang harus diletakkan pada upaya menekankan bahwa kehadirannya harus menjadi solusi bagi penyelesaian persoalan kebangsaan dan keumatan.
”Ungkapan itu sebenarnya saya taruh dalam tanda tanya. Waktu itu saya sinyalir adanya pikiran-pikiran yang kuat sekali Islam diklaim oleh partai dan menjadi partisan. Sampai-sampai ada satu anggapan linier, kalau orang itu Islam harus menjadi anggota partai ini, sebaliknya bila tidak menjadi anggota ini, bukan Islam,” ungkap Cak Nur.
Dari wawancara tersebut, Cak Nur menjelaskan, dirinya berkeinginan untuk melepaskan Islam dari partisanship, dari klaim oleh salah satu kelompok tertentu.
Dari dua kondisi di atas tampak bahwa orientasi politik dari partai politik Islam memang harus diletakkan pada upaya menekankan bahwa kehadirannya harus menjadi solusi bagi penyelesaian persoalan kebangsaan dan keumatan.
Sejumlah partai politik berbasis pemilih Islam, seperti PKB, PKS, PAN, dan PPP, sebenarnya sudah berorientasi ke sana, dengan relatif lebih terbuka dan mendekati semua kelompok pemilih. Sejarah politik di masa depan akan menguji apakah ini akan sukses memberikan efek elektoral bagi partai-partai berbasis pemilih Islam. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Survei Litbang ”Kompas”: Modal Sosial Menopang Elektoral Parpol