Survei Litbang ”Kompas”: Modal Sosial Menopang Elektoral Parpol
Hasil survei Litbang ”Kompas” mengindikasikan relatif kokohnya partai politik yang memiliki modal sosial untuk menjadi penopang elektoral pada Pemilihan Umum 2024. Apa saja modal sosial tersebut?
- Sembilan parpol parlemen menguasai 77 persen suara dari responden Survei Kompas pada Januari 2023.
- Ada tiga modal sosial parpol, yakni tingkat popularitas dan akseptabilitas dari publik, basis pemilih yang relatif sudah terbangun, dan sosok pemimpin parpol.
- Hasil survei mengindikasikan sejumlah parpol parlemen relatif memiliki tiga modal tersebut.
Partai-partai politik yang sudah membangun basis sosial dan cukup mengakar di masyarakat cenderung memiliki potensi elektoral lebih menjanjikan. Pamor partai yang sudah menyatu dengan rakyat serta basis pemilih tetap dan loyal, ditopang pula oleh kekuatan sosok, menjadi modal sosial yang berharga bagi partai dalam berkompetisi pada pemilu nanti.
Hasil survei Kompas periode Januari 2023 menangkap gejala semakin kokohnya partai-partai yang memiliki modal sosial. Hal ini terutama dialami partai-partai politik yang selama ini berada di parlemen.
Jika ditotal, tingkat elektabilitas dari sembilan partai parlemen pada survei Kompas kali ini sudah menguasai 77 persen dari suara responden. Artinya, hampir mayoritas pemilih lebih tertarik memberikan dukungan kepada partai-partai yang selama ini ada di parlemen, yang relatif sudah memiliki basis sosial dan dukungan di masyarakat.
Praktis, jika mengacu pada kecenderungan hasil survei ini, partai-partai yang saat ini memiliki kursi di DPR lebih berpeluang bertahan meraih dukungan pada Pemilu 2024. Apalagi, gejala ini tidak saja terekam dari hasil survei Kompas periode Januari 2023. Pada survei-survei Kompas sebelumnya, parpol yang menduduki kursi DPR saat ini juga menguasai mayoritas pilihan responden dalam survei.
Jika merujuk pada sembilan kali survei yang dilakukan Litbang Kompas sejak Oktober 2019, rata-rata parpol parlemen menguasai 68,9 persen dukungan responden. Sementara rata-rata parpol nonparlemen, termasuk partai pendatang baru, hanya mampu menguasai dukungan tak sampai 5 persen. Sisanya ialah kelompok responden yang tak bersedia memberitahukan pilihan politiknya atau belum menentukan pilihan (undecided voters).
Tren proporsi penguasaan sembilan parpol parlemen ini sebenarnya juga sudah tampak dari hasil Pemilu 2019. Total penguasaan suara dari sembilan partai ini sudah mencapai 90,2 persen dari suara pemilih. Kisaran angka ini sebenarnya juga terekam pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Pada Pemilu 2014, sembilan partai yang kini meraih kursi DPR menguasai 92,2 persen suara. Bahkan, dibandingkan dua pemilu terakhir (2014 dan 2019), proporsi penguasaan partai-partai parlemen cenderung meningkat karena pada pemilu-pemilu sebelumnya, yakni 1999, 2004, dan 2009, rata-rata penguasaan suaranya 80 persen dari total suara pemilih.
Mengapa partai-partai parlemen cenderung lebih berpeluang bertahan pada Pemilu 2024? Di sisi inilah kemudian betapa modal sosial pemilih yang sudah dimiliki partai-partai parlemen turut memberikan insentif sekaligus menjadi penopang elektoral di pemilu. Seperti ulasan Eric M Uslaner dalam ”Political Parties and Social Capital, Political Parties or Social Capital” dalam Handbook of Party Politics (2006), parpol dan modal sosial saling berkelindan, keduanya seperti mitra alami.
Setidaknya hasil survei Kompas merekam ada tiga modal sosial yang dimiliki partai parlemen yang menjadi penopang mereka untuk bertahan.
Pertama, modal tingkat popularitas yang relatif lebih tinggi dibandingkan partai nonparlemen, apalagi dibandingkan dengan parpol baru. Popularitas parpol parlemen rata-rata sudah berada di atas 50 persen.
Kedua, modal basis pemilih yang relatif loyal atau pemilih tetap.
Adapun yang ketiga adalah topangan dari kekuatan sosok ketua umum yang menjadi personifikasi dari parpol itu sendiri yang berpotensi memberikan insentif elektoral bagi partai.
Tantangan
Meski demikian, sejumlah modal sosial di atas juga memiliki tantangan tersendiri. Tingkat popularitas, misalnya, tidak menjadi jaminan akan berkorelasi langsung dengan tingkat elektoral. Ada variabel lain yang juga menentukan, yakni tingkat kesukaan atau akseptabilitas.
Semakin tinggi tingkat akseptabilitas partai di mata pemilih, semakin besar peluangnya mendapat insentif elektoral. Hasil survei merekam, partai-partai parlemen relatif lebih tinggi tingkat akseptabilitasnya dibandingkan partai nonparlemen atau partai baru.
Sebut saja tiga parpol parlemen yang dalam survei ini berada di tiga teratas dari sisi tingkat elektabilitas. PDI-P, misalnya, memiliki tingkat popularitas di angka 86,2 persen dengan angka akseptabilitas 49,1 persen. Sementara itu, tingkat elektabilitas PDI-P pada survei Januari 2023 sebesar 22,9 persen atau paling tinggi dibandingkan parpol lainnya.
Partai Gerindra, dengan popularitas 79 persen yang ditopang juga dengan akseptabilitas di angka 51,4 persen, berhasil mendulang tingkat keterpilihan sebesar 14,3 persen pada survei Januari 2023.
Hal yang sama juga terjadi pada Partai Golkar. Tingkat popularitas Golkar di mata publik 86,3 persen dengan tingkat akseptabilitas di angka 54,7 persen. Kondisi ini yang memberikan kontribusi terhadap tingkat keterpilihan Golkar pada survei Januari 2023 yang sebesar 9 persen.
Partai parlemen di luar ketiga partai teratas dari sisi elektabilitas itu juga menunjukkan posisi yang relatif sama. Partai Amanat Nasional (PAN), misalnya, meski dalam survei kali ini tingkat elektabilitasnya paling rendah dibandingkan delapan partai parlemen lainnya, tingkat popularitas dan akseptabilitas partai ini relatif masih terjaga di atas partai nonparlemen dan partai baru.
Sementara partai-partai nonparlemen dan partai baru cenderung belum menunjukkan posisi yang bisa mendekati raihan partai parlemen. Salah satu partai nonparlemen yang kelihatan lebih menonjol dari sisi popularitas adalah Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Partai ini memiliki tingkat popularitas 69,5 persen dengan akseptabilitasnya berada di angka 45,7 persen. Dari sisi elektabilitas, Perindo juga relatif menonjol dibandingkan partai nonparlemen lain dengan angka 4,1 persen.
Pemilih tetap
Selain tingkat popularitas dan akseptabilitas dari publik, partai politik parlemen juga memiliki modal sosial kedua, yakni basis pemilih yang relatif sudah terbangun.
Dari tingkat keterpilihan partai parlemen, rata-rata dari sembilan partai tersebut ada 33 persen bagian dari pemilih mereka yang masuk kategori pemilih tetap atau pemilih yang sudah memastikan diri tidak akan mengubah pilihannya. Artinya, pilihan terhadap partai politik dalam survei ini relatif akan sama dengan pilihan mereka saat pemungutan suara pemilu pada 14 Februari 2024.
Hal ini berbeda dibandingkan dengan partai nonparlemen ataupun partai baru yang relatif belum memiliki pemilih tetap pada survei kali ini karena potensi elektabilitas mereka yang relatif masih rendah. Meski demikian, fenomena Partai Perindo, yang mulai menunjukkan potensi elektoral di atas rata-rata partai nonparlemen, memberikan sinyal konfigurasi partai parlemen yang selama ini mendominasi proporsi elektoral partai bisa saja berubah dengan potensi masuknya Perindo dalam proporsi tersebut.
Baca juga: Kepuasan Publik Meningkat, Begini Respons Parpol Koalisi dan ”Oposisi”
Apalagi jika mengacu pada tren elektoral, dari sembilan parpol parlemen, beberapa di antaranya mengalami tren penurunan elektoral. Meski demikian, modal sosial yang cukup kuat mengakar dari partai parlemen yang saat ini menduduki kursi DPR tetap bisa menjadi penopang mereka untuk bertahan di parlemen.
Pada poin inilah, selain modal popularitas dan akseptabilitas, kemudian ditambah dengan potensi pemilih tetap yang loyal, hadir modal sosial ketiga, yakni kekuatan sosok tokoh partai, terutama sang ketua umum. Sosok tokoh ini berpotensi memberikan efek elektoral kepada partai. Jika ketiga modal sosial ini dimiliki partai, potensi bertahan sebagai partai papan atas terbuka lebar.
Survei Kompas merekam, tidak semua parpol berhasil menyatukan ketiga modal sosial tersebut. Hanya PDI-P dan Gerindra yang cenderung mampu memiliki ketiganya. Selain tingkat popularitas-akseptabilitas dan pemilih tetap, kedua partai ini juga ditopang pengaruh sosok ketua umum.
Popularitas Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berada di atas 94 persen. Tingkat akseptabilitas Prabowo lebih tinggi, yakni 72,2 persen, dibandingkan Megawati yang sebesar 51,8 persen. Sementara itu, ketua umum parpol lain relatif jauh lebih rendah tingkat popularitas-akseptabilitasnya.
Pada akhirnya, popularitas dan akseptabilitas, yang kemudian diperkuat dengan basis pemilih tetap yang kuat dan loyal, lalu ditopang juga dengan kekuatan sosok tokoh ataupun ketua umum partai, membuat potensi elektabilitas partai terbuka lebar untuk lebih berkembang. Ketiganya menjadi modal sosial yang mampu menopang elektoral partai pada pemilu.