Udara Jakarta yang Membahayakan Jiwa
Polusi udara mampu mengurangi usia harapan hidup manusia hingga 2,9 tahun akibat menghirup polutan berbahaya.
Masyarakat Jakarta dan sekitarnya hidup dalam risiko ancaman kesehatan yang berpotensi menurunkan kualitas kehidupan. Tingginya tingkat polusi udara di wilayah metropolitan ini membuat masyarakat rentan terpapar berbagai penyakit yang membahayakan jiwa.
Arsip Kompas tahun 1971 yang berjudul ”Penduduk Djakarta djarang melihat pagi jang tjerah” tampaknya masih sangat relevan menggambarkan kondisi yang dialami penduduk Jakarta pada tahun 2023 ini. Udara berkabut abu-abu sering kali menyelimuti langit Jakarta setiap paginya.
Seminggu terakhir, kabut abu-abu itu tampak lebih pekat dari biasanya sehingga kian mengaburkan jarak pandang. Gedung-gedung perkantoran yang biasanya terlihat jelas menjadi tampak seperti bayang-bayang. Kabut yang menyelimuti gedung-gedung itu bukanlah embun pagi yang menyegarkan, melainkan udara yang terkontaminasi partikel polutan.
Fenomena ini sangat berisiko mengancam kesehatan masyarakat yang bermukim ataupun beraktivitas di wilayah tersebut. Polusi udara adalah salah satu faktor utama penyebab munculnya berbagai penyakit pada tubuh manusia. Batuk, nyeri tenggorokan, hidung berair, dan sesak napas adalah tanda tubuh telah terpapar polusi udara. Dampak lanjutannya adalah sakit kepala, lemas, hingga mual. Apabila dibiarkan, hal itu akan berpotensi besar menyebabkan penyakit asma, pneumonia, tuberculosis, hingga kanker.
Partikel polutan yang berukuran amat mikro mampu menyusup hingga bagian alveoli organ paru-paru yang merupakan tempat pertukaran oksigen dengan karbon dioksida. Pada tingkatan tertentu, polutan juga masuk ke sistem peredaran darah manusia. Hal tersebut berimbas pada rendahnya kemampuan darah (hemoglobin) dalam mengikat oksigen.
Bahkan, pada level lebih tinggi, polusi udara ternyata mampu mengurangi usia harapan hidup manusia. Sebuah studi yang berjudul ”Loss of life expectancy from air pollution compared to other risk factors: a worldwide perspective” tahun 2020 menyebutkan bahwa usia manusia dapat berkurang hingga 2,9 tahun karena menghirup udara berpolusi.
Dilansir dari The Guardian, usia harapan hidup yang hilang 2,9 tahun karena polusi udara adalah angka tertinggi dibandingkan penyakit lain. Usia harapan hidup seorang perokok akan berkurang sedikitnya 2,2 tahun, penyakit HIV/AIDS sebanyak 0,7 tahun atau sekitar 8 bulan, tindak kekerasan sebanyak 0,3 tahun atau 4 bulan, serta wabah penyakit karena parasit dan vektor lainnya mencapai 0,6 tahun atau 7 bulan.
Baca juga: Mencegah Susutnya Usia akibat Polusi Udara
Apabila didetailkan per wilayah, Indonesia yang terletak di sisi timur benua Asia adalah wilayah dengan pengurangan usia harapan hidup terbesar akibat polusi, yakni susut hingga 3,9 tahun. Estimasi tingkat kematian karena polusi udara di Indonesia diperkirakan mencapai 3,1 juta jiwa per tahunnya.
Jakarta menjadi salah satu kota paling berpolusi di Indonesia, bahkan termasuk yang polutif di seluruh dunia. Hasil analisis Air Quality Life Index menunjukkan usia harapan hidup warga Jakarta yang dapat diselamatkan apabila permasalahan polusi udara teratasi adalah 2,7 tahun. Untuk wilayah sekitarnya, seperti di Tangerang mencapai 2,2 tahun dan Bogor sebesar 2,5 tahun.
Udara tidak sehat
Laporan World Air Quality 2022: Region & City PM 2.5 Ranking menempatkan Jakarta di urutan ke-20 sebagai negara dengan tingkat polusi udara terburuk di seluruh dunia. Kadar PM 2,5 yang tercatat sebesar 36,2 mikrogram per meter kubik atau tujuh kali lebih tinggi dari standar WHO.
Pengukuran kualitas udara itu kian menunjukkan bahwa polusi merupakan permasalahan laten yang terus berulang dan terus terjadi di Jakarta sejak era 70-an. Berbagai upaya telah dilakukan, tetapi belum mampu menahan laju pencemaran udara yang terus diemisi oleh sektor transportasi, industri, dan aktivitas manusia lainnya.
Dengan kualitas udara yang belum juga membaik, sepertinya status Jakarta sebagai kota paling polutif akan sulit dihindari. Berdasarkan pantauan kualitas udara Jakarta oleh IQAir, tingkat polusi seminggu terakhir berkisar antara 136-152 yang menandakan masuk dalam kategori tidak sehat. Salah satu ukuran utama menentukan tingkat polusi adalah kadar PM 2,5. Rata-rata kadar polutan PM 2,5 sepekan terakhir di Jakarta mencapai 54 mikrogram per meter kubik atau hampir 11 kali lipat lebih tinggi dari batasan WHO yang sebesar 5 mikrogram per meter kubik.
PM 2,5 merupakan partikel padat dengan ukuran 2,5 mikron yang mengambang di udara. Peningkatan kadar polutan tersebut perlu diwaspadai karena mampu masuk ke sistem pernapasan manusia dan menyebabkan banyak penyakit. Ukurannya yang puluhan kali lebih kecil dari diameter rambut manusia menyebabkan PM 2,5 dikatakan sebagai pembunuh senyap yang sangat membahayakan.
Baca juga: Mengurai Masalah Polusi Udara Ibu Kota
WHO mengestimasi polusi udara menyebabkan kematian hingga 4,2 juta orang per tahunnya secara global. Apabila digabung dengan pencemaran udara di skala domestik, maka mortalitasnya meningkat hingga mencapai 6,7 juta jiwa per tahun.
Khusus wilayah Jakarta, hasil perhitungan IQAir menyebutkan bahwa polusi udara diperkirakan menyebabkan 4.700 kasus kematian sepanjang tahun 2023. Kerugian ekonomi karena polusi udara ditaksir mencapai 1,2 miliar dollar AS. Estimasi kematian dan kerugian valuasi ekonomi ini diperkirakan akan terus bertambah seiring minimnya penanganan polusi udara di kawasan ibu kota.
Aksi agresif
Dengan kondisi kualitas udara yang tak kunjung membaik, Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dan daerah sekitarnya perlu segera menerapkan upaya lebih agresif. Misalnya, menambah alat pemantau kualitas udara sebagai langkah preventif dan menegakkan aturan atau sanksi uji emisi untuk upaya kuratifnya.
Dilansir dari pemberitaan Kompas (5/6/2023), Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta telah menambah tiga alat pemantau kualitas udara baru serta pemutakhiran alat serupa di empat stasiun monitoring kualitas udara. Alat pemantau baru ini digunakan untuk memberikan data yang lebih akurat terkait sumber polusi udara lokal.
Selain upaya tersebut, Pemda DKI Jakarta perlu juga menerapkan aturan uji emisi secara lebih tegas. Ada sanksi yang akan dikenakan terhadap pemilik kendaraan yang tidak lolos uji emisi atau belum melakukan pengujian tersebut. Misalnya saja dengan menerapkan tarif parkir tertinggi bagi kendaraan atau denda tambahan saat hendak memperpanjang masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
Baca juga: Mengatasi Polusi Udara Kendaraan Pribadi di Ibu Kota
Pengendalian polusi dari sektor transportasi itu menjadi salah satu langkah strategis untuk mengurangi kadar polusi di Jakarta. Hal ini disebabkan jumlah kendaraan pribadi di wilayah ibu kota sangat banyak dan terus meningkat populasinya. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta, sepanjang periode 2018-2022, jumlah kendaraan bermotor tumbuh hingga 4,1 persen setiap tahun.
Berdasarkan pemberitaan Kompas (23/3/2023), pada tahun 2022 saja tercatat ada 26,4 juta kendaraan bermotor di Jakarta. Terdiri dari sepeda motor sebanyak 17,3 juta, mobil penumpang 3,8 juta, serta sisanya sekitar 5 juta unit terdiri dari bus dan truk. Kepadatan kendaraan di jalanan Jakarta juga terlihat dari indeks kemacetan yang sudah melebihi 50 persen.
Aksi agresif pemerintah daerah dalam mengatasi pencemaran udara di Jakarta harus dilakukan secara konsisten dengan menyasar lebih banyak faktor penyebab polusi. Jaminan lingkungan yang sehat dan nyaman adalah hak setiap individu. Hal tersebut telah dijamin di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Jadi, sudah selayaknya apabila pemerintah baik di tingkat pusat ataupun daerah memberi prioritas khusus pada upaya peningkatan kualitas lingkungan. Polusi udara menjadi salah satu prioritas yang harus segera diatasi di negeri ini. (LITBANG KOMPAS)