Mencegah Susutnya Usia akibat Polusi Udara
WHO menetapkan polusi udara menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan. Sebutan ”silent killer” tersematkan pada polutan ini. Tak terasa oleh tubuh dalam tempo sekejap, tapi berakibat fatal dalam jangka panjang.
Kualitas udara yang buruk meningkatkan risiko hilangnya beberapa tahun usia harapan hidup. Sejumlah penyakit hingga kematian akibat polusi udara akan semakin meningkat jika tidak ada tindakan nyata untuk mengatasinya. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam memperbaiki kualitas udara sangat diperlukan demi menjamin kesehatan masyarakat.
Buruknya kualitas udara yang ditandai dengan fenomena langit berkabut dan tampak keruh dalam beberapa minggu terakhir di Jakarta memang patut diwaspadai. Pasalnya, kualitas udara yang buruk dapat berdampak serius pada kesehatan masyarakat. Dari memicu penyakit hingga menyebabkan kematian.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan polusi udara menjadi salah satu ancaman lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia. Sebutan silent killer atau pembunuh senyap pun tersematkan pada polutan ini karena tidak terasa oleh tubuh dalam tempo sekejap. Namun, bisa berakibat fatal dalam jangka panjang. Ironisnya, polusi udara ini tidak dapat dihindari sehingga ”memaksa” semua orang untuk menerima efek negatifnya.
Di dalam udara yang polutif itu terdapat partikel-partikel mikro berbahaya yang melayang-layang sehingga dapat terhirup manusia tanpa bisa tersaring oleh organ pernapasan. Bahkan, masker yang dikenakan pun terkadang masih dapat tertembus karena kecilnya ukuran partikel polutan itu. Akibatnya, timbul endapan di dalam tubuh sehingga memicu munculnya sejumlah penyakit yang dapat menyebabkan kematian.
Menurut WHO, pada tahun 2016 ada sekitar 7 juta kematian karena menderita penyakit yang disebabkan polusi udara. Mayoritas kematian sekitar 34 persen dipicu oleh penyakit jantung iskemik; 21 persen akibat infeksi saluran pernapasan bawah akut; dan 20 persen berasal dari penyakit stroke. Sisanya, sekitar 25 persen kematian disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik dan kanker paru-paru.
Fatalnya sejumlah penyakit tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa polusi udara berperan dalam ”mencuri waktu” atau mengurangi usia harapan hidup seseorang. Menurut data Air Quality Life Index (AQLI) dengan pengukuran partikel polusi udara PM 2,5 berpotensi mengurangi usia harapan hidup seseorang selama 2,2 tahun. PM 2,5 adalah salah satu polutan berbahaya dengan ukuran sangat kecil, yaitu kurang dari 2,5 mikrogram sehingga mudah masuk ke dalam sistem pernapasan.
Risiko yang disebabkan polutan udara itu setara dengan risiko yang ditimbulkan oleh perilaku merokok. Bahkan, risikonya lebih tinggi tiga kali lipat dari konsumsi alkohol dan air kotor serta enam kali lebih tinggi dari HIV/AIDS.
Usia harapan hidup
Secara spesifik, AQLI membuat permodelan usia harapan hidup yang hilang akibat polusi udara di Indonesia. Rata-rata usia harapan hidup yang berkurang akibat polusi udara di Indonesia sebesar 2,5 tahun. Angka ini lebih besar dari risiko kehilangan usia harapan hidup akibat perilaku merokok yang susut sebesar 1,9 tahun. Jauh lebih besar lagi daripada kasus gizi buruk yang mengurangi usia harapan hidup sebanyak satu tahun.
Bila dilihat berdasarkan wilayah, ternyata risiko berkurangnya usia harapan hidup berbeda-beda setiap daerah. Hal ini bergantung pada tingkat keparahan polusi udara di daerah bersangkutan. Jika kandungan polutan lebih tinggi, risiko berkurangnya usia harapan hidup juga akan lebih besar. Begitu juga sebaliknya.
Menurut data citra satelit wilayah Indonesia menunjukkan bahwa polusi udara lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Wilayah DKI Jakarta menjadi salah satu yang terparah. Pada tahun 2019, rata-rata konsentrasi PM 2,5 di ibu kota mencapai 65,8 mikrogram per meter kubik. Akibatnya, rata-rata usia harapan hidup di wilayah DKI Jakarta berkurang sebesar 5,5 tahun.
Setelah Jawa, secara berurutan wilayah yang memiliki efek polutan besar bagi lingkungan di Indonesia adalah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun, yang kategorinya termasuk paling parah sementara ini ada dua, yakni Jawa dan Sumatera. Hal ini tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi kedua wilayah ini yang merupakan sentra perekonomian terbesar di Indonesia. Pulau Jawa memberikan kontribusi sekitar 58 persen bagi produk domestik bruto (PBD) Indonesia dan Sumatera menyumbang sekitar 21 persen bagi perekonomian nasional. Sentra-sentra industri dan ekonomi terbesar terkumpul di kedua wilayah ini.
Akibatnya, berdasarkan tingkat keparahan konsentrasi PM 2,5, Jawa dan Sumatera menjadi wilayah yang paling rentan terhadap bahaya partikel polutan itu. Tingginya konsentrasi PM 2,5 ini berimbas negatif dengan hilangnya usia harapan hidup yang lebih banyak di kedua wilayah tersebut. Ironisnya, Jawa dan Sumatera merupakan pulau-pulau yang dihuni sekitar 78 persen penduduk Indonesia. Artinya, risiko terpaparanya sangat tinggi sehingga potensi masyarakat yang berkurang usianya juga semakin banyak.
Oleh sebab itu, pengurangan konsentrasi PM 2,5 sangat penting artinya bagi kedua wilayah itu. Dengan berkurangnya kadar polutan ini, risiko hilangnya usia harapan hidup masyarakatnya menjadi semakin minim. Ada sejumlah upaya yang relatif berhasil dalam mereduksi polutan PM 2,5 itu. Misalnya, di Jakarta Timur yang mampu menekan konsentrasi PM 2,5 hingga 30 persen. Reduksi polutan ini mengurangi risiko kehilangan usia harapan hidup hingga 2,1 tahun.
Akan semakin besar lagi dampak positifnya apabila mampu mereduksi sesuai standar WHO, yakni membatasi PM 2,5 maksimal sebesar 10 mikrogram per meter kubik. Bila tercapai, usia harapan hidup yang berhasil dipertahankan semakin membesar. Mengacu pada contoh di Jakarta Timur itu, apabila pemerintah berhasil mereduksi kadar PM 2,5 per meter kubik dari 70 mikrogram menjadi 10 mikrogram, hal itu dapat mengurangi risiko kehilangan usia harapan hidup hingga 5,8 tahun.
Kasus di Jakarta Timur itu tidak bisa digeneralisasi di wilayah lain yang tingkat polutannya berbeda. Semakin rendah kadar polusinya, wilayah bersangkutan relatif sehat sehingga usia harapan hidupnya relatif tetap tinggi. Jadi, upaya pengurangan polutan PM 2,5 hanya berefek kecil pada penyusutan usia.
Di Makassar, Sulawesi Selatan, misalnya, pengurangan konsentrasi PM 2,5 sebesar 30 persen hanya akan berdampak pada pengurangan risiko kehilangan usia sebesar 0,4 persen. Jika mengikuti standar WHO, durasi usia yang dapat dipertahankan mencapai 0,5 tahun. Perbedaan angka yang relatif kecil ini mengidikasikan bahwa kondisi polusi udara di Makassar relatif masih ”terkontrol”.
Perbaikan kualitas udara
Eratnya keterkaitan antara kualitas udara dengan usia harapan hidup tersebut patut menjadi perhatian bersama bahwa kadar polutan harus di kontrol seminimal mungkin. Setidaknya ada dua hal penting yang dapat digunakan sebagai acuan perbaikan kualitas udara di Indonesia.
Pertama, pemerintah menerapkan aturan yang ketat terkait kualitas udara beserta implementasi kebijakannya. Langkah demikian sudah banyak terbukti di negara-negara kawasan Eropa. Menurut penelitian berjudul Health Impacts of Air Pollution Exposure from 1990 to 2019 In 43 European Countries menyebutkan kebijakan yang kuat dan proaktif dalam membatasi dan mencegah polusi udara berdampak terhadap pengurangan konsentrasi PM 2,5. Rata-rata paparan konsentrasi PM 2,5 tahunan pada tahun 2019 di Eropa berkurang 34 persen dibanding tahun 1990.
Kadar PM 2,5 menyusut dari 20,8 mikrogram per meter kubik menjadi 13,8 mikrogram per meter kubik dalam kurun hampir 30 tahun itu. Penurunan ini turut menekan angka kematian akibat polusi udara di Eropa sebesar 42 persen pada rentang waktu yang sama.
Kedua, menuntut kolaborasi kebijakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sehingga langka preventif dan kuratifnya dapat berjalan lebih maksimal. Jadi, tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah pusat semata. Pemda justru memiliki peranan sangat penting dalam menangani kualitas udara di daerahnya masing-masing. Penerapan kebijakan disesuaikan dengan karakteristik polutannya.
Misalnya, di Jakarta sumber polusi terbanyak disebabkan oleh sektor transportasi, maka kebijakan yang lebih digencarkan adalah berkaitan dengan transportasi. Berbeda halnya dengan daerah Riau yang polusi udaranya sering kali dipicu kebakaran hutan sehingga pengendalian kebarakan hutan lebih diutamakan.
Beragamnya sumber polutan di berbagai wilayah di Indonesia tersebut mengindikasikan bahwa permasalahan kualitas udara menjadi persoalan yang harus dihadapi bersama-sama. Perlu adanya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah guna mitigasi ancaman bahaya kesehatan itu. Kebijakan pemerintah pusat diselaraskan dengan kebijakan pemda yang mengacu pada karakteristik masing-masing wilayah. Dengan demikian, antisipasi ancaman dari polusi udara ini dapat ditekan seminimal mungkin sehingga kualitas kehidupan masyarakat terutama dari sisi kesehatan dapat terus ditingkatkan. Tidak ada lagi ancaman bahaya yang mengambil usia harapan hidup masyarakat secara ”senyap”. (LITBANG KOMPAS)