Penambangan Pasir Laut Mengancam Kelestarian Lingkungan
Indonesia memiliki catatan suram terkait penambangan pasir laut. Selain terjadi degradasi lingkungan, Indonesia juga pernah kehilangan belasan pulau kecil yang menjadi citra kedaulatan sebuah negara.
Pasir laut memiliki peran strategis dalam memberikan jasa ekosistem dan ruang hidup bagi komunitas di wilayah pesisir. Aktivitas penambangan pasir dapat merusak lingkungan dan mengakibatkan dampak berkelanjutan di masa depan.
Setelah lebih dari dua dekade dihentikan, ekspor pasir laut kembali dibuka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Selain untuk ekspor, pemanfaatan lainnya meliputi reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, dan pembangunan prasarana oleh pelaku usaha.
PP No 26/2023 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 mencabut Keputusan Presiden No 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Regulasi ini menitikberatkan pada substansi sedimentasi sebagai hal yang dapat dikelola atau dieskspor. Harapannya, pengelolaan sedimentasi tidak akan menganggu ekosistem Laut.
Di luar sedimentasi, latar belakang regulasi ini juga melihat meski ada aturan yang melarang, kekayaan laut berupa pasir laut Indonesia terus dieksploitasi secara bebas dan ilegal, termasuk yang bukan dalam ekosistem sedimentasi. Praktik ilegal tersebut menimbulkan kerugian yang tidak hanya kerusakan lingkungan, tetapi juga pendapatan negara hingga miliaran dollar AS.
Kebijakan baru era Presiden Joko Widodo tersebut menuai polemik di tengah masyarakat. Bagaimanapun, terlepas dari ekosistem sedimentasi, legal ataupun ilegal, pertambangan pasir laut akan membuat ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil makin terancam. Sebelumnya, banyak penelitian telah mengonfirmasi bahwa wilayah kepesisiran sangat rawan mengalami kerusakan masif terdampak krisis iklim.
Pemanasan global menyebabkan muka air laut meningkat. Selain risiko tenggelam, pulau-pulau kecil juga rawan terdampak cuaca ekstrem dan bencana yang makin sering terjadi. Laporan IPPC Climate Change 2023 menyebutkan bahwa 3,3-3,6 miliar orang hidup di wilayah rawan perubahan iklim dan kelompok masyarakat yang paling terdampak adalah mereka yang tinggal di kawasan pulau kecil dan pesisir.
Dampak pemanasan global yang begitu besar ternyata diperparah dengan praktik penambangan pasir laut. Pasir notabene adalah proses alam yang terjadi secara dinamis selama jutaan tahun. Formasi pasir laut ikut menyusun lantai laut dangkal atau continental shelf yang memiliki kedalaman 0-200 meter. Zona ini juga dikenal dengan nama zona eufotik, yaitu area konsentrasi perikanan komersial dan biota laut lain.
Zona eufotik menjadi rumah bagi ribuan spesies biota laut, dimulai dari hutan bakau, padang lamun, terumbu karang, hingga banyak spesies ikan dan penyu. Zona ini menerima sinar matahari secara utuh sehingga menjadi pusat siklus karbon, nitrogen, dan oksigen oleh plankton. Artinya, disrupsi terhadap zona eufotik akan menyebabkan kerusakan sistem ekologis perairan secara menyeluruh.
Baca Juga: Rencana Ekspor Pasir Laut Rawan Mengulang Mimpi Buruk Nelayan Kepri
Aktivitas penambangan pasir laut jelas merusak lingkungan pesisir. Pemberitaan Kompas (17/2/2022) menjelaskan lanskap pesisir di wilayah Kepulauan Karimun yang rusak parah. Air laut menjadi sangat keruh, pohon-pohon bakau yang dulu rimbun mulai hilang dan terendam sepenuhnya oleh air laut. Padahal, ekosistem bakau adalah air payau, yaitu pencampuran antara air laut dan tawar.
Pasir laut yang terus diambil akan mengubah morfologi dasar laut dangkal di sekitar pulau. Akibatnya, ada pergeseran massa dari material penyusun yang lebih dekat daratan. Material dekat permukaan laut akan tergerus sehingga pohon bakau dan padang lamun turut bergeser masuk ke air laut yang lebih dalam. Fungsi pohon bakau untuk menahan abrasi dan intrusi air laut menjadi hilang.
Selain itu, tak sedikit pulau-pulau kecil tak berpenghuni mulai tenggelam ditelan air laut karena dataran pasir penyangganya disedot habis oleh kapal-kapal pengeruk pasir. Rusaknya ekosistem pesisir mengakibatkan nelayan makin sulit mencari ikan. Ruang hidup desa nelayan turut ditelan habis. Akibat pengerukan pasir, dataran pasir pembatas permukiman dengan air laut hilang sehingga rawan terdampak abrasi dan gelombang pasang air laut.
Pengelolaan pasir laut
Laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) berjudul ”Sand and Sustainability: 10 strategic recommendations to avert a crisis (2022)” menyebutkan bahwa pasir adalah sumber daya alam yang paling banyak dieksploitasi di dunia setelah air. Hanya saja, manajemen pemanfaatan pasir sebagian besar tidak diatur sehingga eksploitasi yang dilakukan lebih cepat daripada proses pembentukannya secara geologi atau ribuan tahun.
Secara global, pengerukan pasir terbukti menyebabkan degradasi lingkungan sangat besar. Di Sungai Mekong, China, ekstraksi pasir menyebabkan delta-delta tenggelam dan tanah-tanah sekitarnya tersalinasi. Sementara di Sungai Sri Lanka, pengambilan pasir telah membalikkan aliran air laut menuju daratan sehingga terjadi intrusi air asin secara masif.
Dampak degradasi lingkungan dari pengerukan pasir juga terjadi di Indonesia. Pemberitaan Kompas pada Mei 2002 melaporkan bahwa penambangan pasir laut menyebabkan sedikitnya 10 pulau kecil tenggelam di sekitar Pulau Durian dan Pulau Combol di Provinsi Riau. Kawasan Kepulauan Seribu turut terdampak akibat penambangan pasir laut. Ada enam pulau di gugusan Kepulauan Seribu hilang dan tidak kelihatan bentuknya lagi. Pulau-pulau yang tenggelam adalah Pulau Dapur, Pulau Ubi Besar, Pulau Ubi Kecil, Pulau Air Kecil, Pulau Payung Kecil, dan Pulau Gosong Pabelokan (Kompas, 24/4/2002).
Baca Juga: Pemerintah Buka Lagi Ekspor Pasir Laut, Ekosistem Pulau Kecil Terancam
Sebagai langkah pengelolaan sumber daya pasir secara berkelanjutan, ada sejumlah rekomendasi dari UNEP yang dapat diimplementasi di level kebijakan nasional sebuah negara. Rekomendasi pertama adalah menyadari bahwa pasir adalah sumber daya strategis sehingga pemanfaatannya harus sangat hati-hati dan didasarkan penghitungan secara cermat dampak ekologi dan ekonominya.
Rekomendasi kedua ialah melihat sumber daya pasir sebagai simpul pengikat geografis tertentu. Artinya, setiap pasir yang diambil memiliki lingkungan unik secara ekologi, sosial, politik, dan ekonomi sehingga perlu dipikirkan keberlanjutannya. Pasir tidak sekadar benda mati, tetapi memiliki nilai tinggi dalam transformasi pembangunan di suatu wilayah.
Paradigma tentang pengelolaan berkelanjutan sumber daya pasir memang menjadi kunci mitigasi kerusakan lingkungan akibat penambangan. Oleh sebab itu, rekomendasi ketiga bicara tentang pergeseran paradigma yang berorientasi terhadap masa depan, yaitu menjaga lingkungan untuk memberikan ruang hidup bagi generasi selanjutnya.
Sementara rekomendasi keempat dan kelima membahas tentang kebijakan dan skema kepemilikan sumber daya pasir yang dikelola secara strategis dan terpadu. Ada penilaian keuntungan dan kerugian, serta alternatif jalan keluar saat dijumpai sejumlah permasalahan. Hal tersebut perlu ditindaklanjuti melalui pemetaan, pengawasan, dan laporan rutin terkait pengelolaan pasir.
Ketegasan
Selain perencanaan secara nasional, UNEP memberikan rekomendasi lanjutan di tingkat global, yaitu merancang metode paling efisien dalam pemanfaatan sumber daya pasir yang disesuaikan dengan tujuan global dalam poin-poin Sustainable Development Goals.
Terkait rekomendasi tersebut, Indonesia sebenarnya pernah melakukan pembatasan penambangan sebanyak 15 persen dari luasan kawasan tambang pasir laut (Kompas, 3/9/2002). Kala itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa praktik tambang pasir laut harus diatur secara ketat dengan membatasi luasan area dan volume pasir yang ditambang.
Baca Juga: Tambang Pasir Laut Diminta Dihentikan Permanen
Sementara tiga rekomendasi UNEP lainnya menekankan tentang efisiensi, sirkulasi, tanggung jawab, serta skema kompensasi bagi kerusakan ekologi kepesisiran akibat tambang pasir laut. Langkah untuk meninjau kembali kebijakan penambangan pasir laut yang juga diekspor perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Pasir laut memainkan peran strategis dalam memberikan jasa ekosistem dan pembangunan ekonomi kepesisiran.
Indonesia sebenarnya memiliki catatan suram terkait penambangan pasir laut di masa lampau. Hilangnya belasan pulau kecil yang menjadi citra kedaulatan sebuah negara, apalagi Indonesia dikenal dengan negara maritim. Sudah sewajarnya menjaga setiap mil wilayah kemaritiman, termasuk pulau-pulau kecil yang menjadi pasak batas negara.
Praktik penambangan pasir laut secara langsung merusak lingkungan dan ruang hidup masyarakat. Dampaknya akan langsung dirasakan saat dimulai penambangan dan akan makin parah ke depannya, apalagi di tengah kondisi krisis iklim. Terlebih, pemerintah juga belum tegas mengatur kebijakan tambang pasir laut. Sanksi yang diberikan hanya sebatas sanksi administrasi. Regulasi hukum dan kebijakan yang kurang tegas akan mengulang kembali perdebatan dua dekade silam tentang kerusakan lingkungan saat pintu ekspor pasir dibuka. (LITBANG KOMPAS)