Pemerintah memastikan pengawasan terhadap pemanfaatan dan peruntukan pasir laut. Sejumlah kalangan mendesak aturan yang membuka keran ekspor laut dibatalkan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penolakan terhadap PP No 26 Tahun 2023 terus mengalir. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut PP No 26 Tahun 2023 serta melakukan moratorium permanen penambangan pasir laut dan reklamasi pantai di seluruh Indonesia.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin mengemukakan, kebijakan itu akan memperparah dampak buruk krisis iklim. Masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan, akan semakin miskin karena ruang hidupnya dihancurkan.
Dibukanya pemanfaatan dan ekspor pasir laut akan berdampak pada krisis ekologis di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang semakin parah. Banyak pesisir akan terkena abrasi, desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil terancam tenggelam.
”Regulasi ini wajib ditolak oleh masyarakat Indonesia karena akan melegalkan tambang pasir laut di semua tempat di Indonesia. Kebijakan ini bertentangan dengan fitrah Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya dengan keanekaragaman hayati,” kata Parid, dalam keterangan pers, Selasa.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Mohammad Abdi Suhufan mengemukakan, pengendalian dampak negatif pasir laut terhadap penurunan daya dukung lingkungan seharusnya dilakukan dengan mengatasi sumber penyebab sedimentasi, yakni aktivitas hulu di darat, dan bukan membuka pengaturan untuk keran pemanfaatan dan ekspor pasir laut.
Pengawasan diperketat
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan pengelolaan pasir laut akan diawasi melalui kapal-kapal patroli pengawasan yang dimiliki kementerian. Lokasi pengambilan pasir laut akan diatur dan hanya pasir laut yang bersumber dari hasil sedimentasi laut yang boleh dimanfaatkan. Namun, sejumlah kalangan mendesak moratorium penambangan pasir laut.
Pengelolaan dan ekspor pasir laut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Terbitnya PP No 26/2023 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Mei lalu mencabut Keputusan Presiden No 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, yang bertujuan mengendalikan bisnis ekspor pasir laut yang merugikan Indonesia.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin mengemukakan, pihaknya akan mengerahkan seluruh kapal pengawasan perikanan untuk mengawasi pengambilan dan peruntukan pasir laut. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26/2023 bertujuan menata ulang pengambilan pasir laut, yakni bersumber dari hasil sedimentasi laut.
Hingga saat ini, jumlah kapal patroli pengawasan PSDKP-KKP sebanyak 31 kapal. Pada tahun 2023, KKP merencanakan penambahan dua kapal pengawas yang merupakan hibah dari pemerintah Jepang, serta pembangunan dua kapal pengawas baru.
Pada masa lalu, eksploitasi tambang pasir laut di wilayah perairan hampir tidak mampu membedakan pasir laut dari hasil sedimentasi, hasil alur laut ataupun di pinggir pulau. Akibatnya, ada pulau kecil yang nyaris hilang akibat pengerukan pasir laut yang tidak terkendali. KKP ingin memilah dan memastikan pengambilan pasir laut agar memperhatikan ekologi laut, terumbu karang, padang lamun dan pesisir yang harus dijaga.
”Dulu, izin usaha penambangan pasir laut memang merusak karena tidak dikawal. Penambangan pasir laut dilakukan di dekat pulau, biaya operasional tidak berat dan lokasi (pengambilan pasir laut) dekat dengan Singapura. Dengan PP No 26/2023, lokasi pengambilan sedimentasi laut tidak sembarangan dilakukan karena didasarkan kajian yang melibatkan kementerian/lembaga terkait,” kata Adin, saat ditemui Kompas, di Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Adin menambahkan, pengawasan terhadap pengambilan pasir laut dilakukan oleh kapal-kapal patroli PSDKP-KKP guna memastikan pengambilan atau pengisapan pasir laut oleh pelaku usaha sesuai dengan perizinan, lokasi pengambilan dan kuota pasir laut yang diterbitkan KKP. ”Selain itu, pengecekan terhadap peruntukan pemanfaatan sedimentasi laut, yakni keperluan dalam negeri atau diekspor,” katanya.
Penentuan lokasi penambangan pasir laut kini tidak bisa lagi ditentukan oleh pelaku usaha, tetapi mengacu pada sebaran lokasi yang ditetapkan pemerintah. Saat ini, sebaran lokasi pemanfaatan sedimentasi laut sedang dikaji.
Pihaknya mendorong sistem pengawasan pemanfaatan pasir laut berbasis satelit, melalui kewajiban kapal isap pasir laut untuk memasang perangkat pemancar (transmitter) agar pergerakan kapal dan pemanfaatan pasir laut dapat dipantau. Dengan demikian, ada sistem deteksi dini terhadap kapal isap yang beroperasi melebihi koordinat lokasi pengambilan pasir laut.
Sebelumnya, Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi mengemukakan, PP No 26/2023 tidak menjadikan ekspor pasir laut sebagai tujuan utama. Pemanfaatan sedimentasi di laut lebih menekankan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, seperti reklamasi, pembangunan infrastruktur, serta prasarana.