Ironi Dugaan Kasus Korupsi Menara BTS dan Kesenjangan Digital Indonesia
Kasus korupsi menara BTS 4G mencederai mimpi transformasi digital yang dilaksanakan secara masif di Indonesia. Namun, kasus ini diharapkan tidak menghentikan proyek yang sudah berjalan demi kemajuan wilayah Nusantara.
Dugaan korupsi pembangunan menara BTS mencederai upaya percepatan transformasi digital di Indonesia. Jika dilihat lebih dalam, kasus tersebut tidak hanya merugikan negara secara materi namun juga masyarakat di wilayah terpencil yang selama ini tertinggal dalam hal akses digital.
Ditetapkannya Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate sebagai tersangka dugaan korupsi pembangunan menara base transreceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1-5 program Badan Aksesibilitas Komunikasi dan Informasi (Bakti) Kemenkominfo tahun 2020-2022 menjadi puncak dari perjalanan kasus ini. Selain Johnny, terdapat lima tersangka lainnya yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Kasus tersebut ditaksir menyebabkan kerugian negara hingga Rp 8,032 triliun.
Kerugian dari kasus itu sejatinya tidak hanya dilihat secara materi, tetapi juga merugikan bagi penerima manfaat dari program tersebut, yakni masyarakat di wilayah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal). Sebab, pembangunan menara BTS 4G tersebut ditujukan untuk mempersempit kesenjangan transformasi digital di wilayah 3T.
Melansir dari majalah Kominfo Next edisi Mei 2019, pembangunan menara BTS 4G merupakan implementasi dari arahan Presiden Joko Widodo pada 2020 tentang percepatan transformasi digital. Salah satu dari lima arahan presiden itu berisi tentang percepatan pembangunan infrastruktur digital, termasuk penyiapan atau penyediaan sinyal. Atas dasar tersebut, pemerintah melalui Kemenkominfo menargetkan 83.820 desa/kelurahan di Indonesia harus terhubung dengan layanan sinyal 4G dalam waktu yang lebih cepat.
Konektivitas sinyal 4G tersebut dapat tercapai secara akseletarif salah satunya dengan pembangunan menara BTS 4G, terutama di wilayah 3T. Oleh sebab itu, dilaksanakanlah pembangunan menara BTS 4G di 7.904 lokasi wilayah 3T yang belum mendapatkan layanan internet 4G. Pembangunan tersebut dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pertama pada 2021 dengan membangun 4.200 BTS di 4.200 desa dan tahap ke-2 dengan 3.700 BTS pada tahun 2022.
Pembangunan infrastruktur komunikasi beserta pendukungnya itu dilakukan melalui lima program BAKTI yang setiap paket dibagi beradasarkan wilayah. Paket 1 mencakup wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Paket 2 meliputi Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Paket 3 direncanakan untuk Papua Barat dan sebagian Papua. Paket 4 dan 5 menjangkau Papua Bagian Tengah dan Bagian Timur.
Baca juga: Pembangunan Menara BTS dan Jejak Korupsi Menteri Johnny G Plate
Kesenjangan
Program pembangunan tersebut memang terkesan ambisius. Sebab, awalnya proyek ini ditargetkan selesai pada 2032. Artinya, dengan perubahan rencana seperti yang dilakukan Kemenkominfo melalui Bakti itu, pembangunan menara BTS yang menjangkau seluruh pelosok negeri direncanakan selesai sepuluh tahun lebih cepat, yaitu pada 2022.
Namun, hingga Maret 2022 menara BTS yang sudah dibangun baru 985 menara. Jumlah tersebut jauh dari target tahap 1, yakni 4.200 menara. Selain itu, pembangunan juga mundur dari target yang awalnya selesai pada 2021 (Kompas, 19/5/2023).
Pembangunan menara BTS di daerah 3T memang menghadapi banyak kendala. Letak geografis daerah 3T yang sulit dijangkau menjadikan pembangunan menara terhambat. Belum lagi ditambah faktor keamanan di beberapa daerah yang rawan konflik menambah sulit pemerataan infrastruktur internet ini. Misalnya di Papua, pembangunan terkendala karena alat-alat proyek beserta infrastruktur yang akan dibangun sulit untuk didistribusikan karena medan yang sulit dilewati.
Di sisi lain, risiko terhambatnya pembangunan menara BTS juga muncul dari faktor internal lembaga Kemenkominfo sendiri. Dugaan kasus korupsi yang melibatkan enam orang tersangka, termasuk Menkominfo Johnny G Plate dikhawatirkan akan menghambat pembangunan infrastruktur internet itu.
Berdasarkan keterangan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, dugaan kasus korupsi tersebut semakin menguat lantaran jumlah dan kesesuaian menara BTS yang dibangun berbeda dengan rencana. Secara jumlah, menara yang sudah dibangun kurang dari target. Secara kualitas, menara yang sudah selesai pembangunannya ternyata tidak terdapat jaringan internetnya.
Ini artinya, masyarakat di wilayah 3T yang berdasarkan rencananya sudah dapat mengakses layanan internet 4G masih harus menunggu lebih lama lagi karena jaringan belum terhubung. Dengan demikian, selama proyek ini terkendala dan besar kemungkinan akan terhenti karena kasus korupsi maka masyarakat di kawasan 3T akan tetap tertinggal dan sulit memulai transformasi digital.
Baca juga: Tersangka Baru Kasus Menara BTS, Diduga Berperan sebagai Perantara Suap
Hal itu tentu saja ironi bagi sebuah negara yang ingin memulai proses digitalisasi secara masif. Dalam lingkup nasional saja, ada kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa untuk pembangunan teknologi informasi dan komunikasi. Apalagi, untuk wilayah 3T tentu saja tingkat kesenjangannya jauh lebih dalam lagi dibandingkan daerah lainnya di Indonesia.
Menurut Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) 2021, skor indeks di Jawa lebih tinggi dibandingkan pulau lain. Semakin timur wilayahnya, semakin menurun skor indeksnya. Indeks Pembangunan TIK di Jawa mencapai 6,4. Skor indeks di pulau lain berada di bawah enam, seperti Sumatera (5,8), Bali-Nusa Tenggara (5,6), Kalimantan (5,9), Sulawesi (5,7), Maluku (5,3), dan Papua (4,4).
Sejumlah faktor yang berpengaruh besar terhadap kesenjangan indeks itu adalah variabel akses dan infrastruktur. Jawa memiliki akses dan infrastruktur yang lebih baik dibandingkan pulau-pulau lain sehingga skor subindeksnya relatif tinggi hingga 6,9. Nilai ini cukup jauh meninggalkan pulau-pulau lainnya, di mana skor tertingginya hanya pada poin enam. Jawa lebih baik dibandingkan daerah lainnya di indonesia.
Relatif tingginya ketimpangan tersebut salah satunya karena daerah 3T yang belum mendapat layanan 4G semuanya berada di luar Jawa. Mayoritas sekitar 82 persen berada di kawasan Indonesia timur yang meliputi Sulawesi, Maluku, dan Papua. Ini artinya bahwa pembangunan infrastruktur internet khususnya 4G benar-benar dibutuhkan di wilayah-wilayah di luar Jawa, khususnya wilayah Indonesia timur.
Manfaat
Oleh sebab itu, akselerasi pembangunan menara BTS 4G yang rencananya memang lebih cepat itu sejatinya memang sangat diharapkan untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Tanpa ada infrastruktur telekomunikasi itu, penggunaan dan akses internet di luar Jawa terutama Indonesia timur akan terus tertinggal.
Keberadaan infrastruktur seperti menara BTS 4G itu sangatlah penting karena menjadi langkah awal untuk memulai transformasi digital. Dengan dukungan layanan internet yang mumpuni, maka masyarakat di kawasan 3T dapat meningkatkan taraf hidupnya lewat teknologi. Proses digitalisasi dapat berjalan merata dan mampu mengurangi jarak ketertinggalan dalam hal apapun dengan daerah lainnya yang lebih maju.
Baca juga: Johnny G Plate dan Korupsi yang Tak Kunjung Sirna
Contohnya, masyarakat di Desa Selong Belanak, Kabupaten Lombok Tengah, NTB, merasa kehadiran menara BTS 4G yang dibangun di desanya memudahkan kegiatan komunikasi di tiga dusun di sekitar infrastruktur tersebut. Sebelumnya, komunikasi hanya mengandalkan pertemuan langsung karena minimnya jaringan yang tersambung di wilayah itu.
Selain itu, menurut laporan penelitian Center For Digital Society (CfDS) UGM, keberadaan jaringan seluler cukup membantu masyarakat di wilayah 3T untuk meningkatkan perekonomiannya meskipun belum signifikan. Di tiga lokasi penelitian, yaitu Pulau Cawan (Indragiri Hilir), Banawa (Donggala), dan Tangnga-Tangnga (Polewali Mandar), keberadaan menara BTS membantu mereka untuk memasarkan hasil perikanan.
Hanya saja, perlu menjadi catatan bahwa keberadaan menara BTS belum dapat dimanfaatkan optimal karena beberapa kendala. Enggannya masyarakat memanfaatkan internet untuk meningkatkan perekonomiannya disebabkan oleh kualitas dan jangkauan sinyal yang kurang maksimal. Selain itu, mereka kesulitan untuk memanfaatkan internet karena belum adanya pelatihan dan pendampingan penggunaan internet untuk usaha rumah tangganya.
Namun, sebelum jauh mengulas tentang manfaat berinternet yang baik dan produktif bagi segenap masyarakat di kawasan remote area itu, ketersediaan infrastruktur BTS sangatlah penting dan menjadi prioritas utama untuk segera direalisasikan. Dengan hadirnya BTS, maka komunikasi lebih lancar, akses informasi lebih mudah, hingga perekonomian rumah tangga dapat meningkat. Jadi, sudah seharusnya pemerataan pembangunan infrastruktur di bidang teknologi dan informasi perlu dituntaskan dengan segera.
Terkuaknya kasus korupsi pembangunan menara BTS 4G mencederai angan-angan transformasi digital yang dikebut dalam tempo singkat ini. Namun, mengingat pentingnya program tersebut bagi kemajuan wilayah, ada baiknya kasus korupsi ini tidak menghentikan proyek yang sudah berjalan. Malah sebaliknya, terungkapnya kasus bisa menjadi momentum untuk membenahi perkembangan proyek yang selama ini melenceng.
Peluang ini juga dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kualitas pembangunan infrastruktur telekomunikasi agar benar-benar bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya sekadar alat untuk memenuhi target program pemerintah saja. (LITBANG KOMPAS)