Optimalnya Peran Perpustakaan untuk Menumbuhkan Literasi
Indeks Aktivitas Literasi Membaca di Indonesia masih tergolong rendah. Perlu didorong peningkatannya dengan mengoptimalkan peran perpustakaan dengan koleksi buku-buku yang beragam dan bermutu.
Dilihat dari sejarahnya, peringatan Hari Buku Nasional setiap tanggal 17 Mei merujuk pada pendirian Perpustakaan Nasional atau Perpusnas pada 17 Mei 1980, yang menjadi simbol penting bagi perkembangan literasi dan budaya membaca di Indonesia.
Namun, sejak peringatan pertama tahun 2002 hingga peringatan ke-21 tahun ini, bangsa Indonesia masih menghadapi tantangan belum berkembangnya literasi dan budaya membaca yang memuaskan.
Terkait literasi, capaian kompetensi literasi dalam rapor pendidikan tahun 2021 pun masih memprihatinkan. Hasil Asesmen Nasional (AN) 2021 yang melibatkan lebih dari 6,5 juta peserta didik menunjukkan itu, 1 dari 2 peserta didik dari jenjang SD/sederajat hingga SMA/sederajat belum mencapai kompetensi minimum literasi.
Bangsa Indonesia masih menghadapi tantangan belum berkembangnya literasi dan budaya membaca yang memuaskan.
Terlebih di jenjang SD dan SMP, masih banyak yang memerlukan intervensi khusus. Artinya, kurang dari 50 persen siswa yang telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca.
Demikian pula dengan budaya membaca masyarakat Indonesia yang masih rendah. Budaya membaca yang tumbuh dari minat membaca ini masih menghadapi tantangan minat baca yang sangat rendah pula.
Menurut UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen, artinya dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca. Hal itu menyebabkan, Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara soal minat baca.
Baca juga: Hari Buku Nasional
Budaya dan perpustakaan
Masih rendahnya budaya membaca tersebut juga terpotret pada hasil Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) yang disusun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2019. Secara nasional, Indeks Alibaca masyarakat Indonesia sebesar 37,32 yang diukur dari empat dimensi juga masih tergolong kategori rendah.
Dari empat dimensi yang membentuk Indeks Alibaca tersebut, capaian dua dimensi masih rendah. Dimensi budaya dengan poin 28,5 dan dimensi akses dengan poin 23,09.
Rendahnya angka indeks pada dimensi akses dan dimensi budaya menunjukkan perlunya perhatian terhadap dua dimensi ini untuk ditingkatkan. Perpustakaan dan buku atau bahan bacaan menjadi fokus kedua dimensi tersebut.
Jika dilihat dari indikator pembentuk dimensi budaya, tampak ada tiga indikator yang capaiannya termasuk kategori rendah dan sangat rendah, yaitu membaca berita/artikel media elektronik (22,05/rendah), mengunjungi perpustakaan (22,77/rendah), dan memanfaatkan taman bacaan (1,03/sangat rendah). Sementara indikator membaca koran atau majalah (43,52) dan membaca buku cetak (53,10) sudah masuk kategori sedang.
Rendahnya aktivitas mengunjungi perpustakaan khususnya perpustakaan sekolah sebagai fasilitas yang menyediakan beragam buku bacaan urgen untuk mendapat perhatian lebih. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan sudah mengamanatkan agar keberadaan perpustakaan benar-benar menjadi wahana pembelajaran sepanjang hayat dan wahana rekreasi ilmiah.
Namun, hasil Susenas Modul Sosial, Budaya, dan Pendidikan (MSBP) 2021 menemukan, hanya sebagian kecil (12,15 persen) siswa/mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan dalam tiga bulan terakhir. Baru 7,3 persen siswa SD dan 12,9 persen siswa SMP yang mengunjungi perpustakaan.
Sangat disayangkan, keberadaan perpustakaan yang didominasi perpustakaan sekolah (80,24 persen) dari perpustakaan terakreditasi tahun 2021 belum dimanfaatkan secara optimal sehingga minat membaca buku-buku di perpustakaan masih minim.
Gambaran budaya membaca yang masih rendah juga terlihat jika dibedah menurut provinsi. Dimensi budaya yang merepresentasikan perilaku atau kebiasaan mengakses bahan literasi ini pun belum tampak menggembirakan.
Pasalnya hanya tiga provinsi yang budaya aktivitas literasi membacanya tergolong sedang, yakni Provinsi Kepulauan Riau (46,27), DI Yogyakarta (45,13), dan DKI Jakarta (40,81).
Mayoritas (29 provinsi) capaian dimensi budayanya tergolong rendah, bahkan dua provinsi, yaitu Lampung (19,43) dan Papua (13,72), masih tergolong sangat rendah.
Yang juga perlu mendapat perhatian, dalam dimensi budaya ini, provinsi di Jawa yang memiliki fasilitas lebih baik untuk menunjang minat baca, seperti keberadaan perpustakaan dan taman bacaan serta koleksi buku yang lebih lengkap, juga masih rendah budaya literasi membacanya. Bahkan Provinsi Jawa Tengah dengan skor 22,73 dan Jawa Timur 24,32 masuk 10 besar provinsi dengan capaian dimensi budaya terendah.
Baca juga: Membangun Budaya Literasi
Akses dan buku
Rendahnya kunjungan ke perpustakaan bisa jadi karena faktor kondisi perpustakaan sekolah dan pengelolaannya yang kurang baik. Hal ini terkait dengan capaian dimensi akses dalam pengukuran Indeks Alibaca.
Beberapa indikator yang menyumbang rendahnya skor dimensi akses antara lain perpustakaan sekolah dalam kondisi baik hanya mendapat skor 24,06 (rendah) dan pengelola perpustakaan sekolah dengan skor 14,34 (sangat rendah). Bahkan perpustakaan komunitas lebih rendah lagi di angka 8,34.
Gambaran dimensi akses di level provinsi lebih buruk lagi dibandingkan dengan dimensi budaya. Sebanyak 15 provinsi masuk kategori sangat rendah, termasuk Jawa Tengah dan Jawa Timur. Rendahnya Dimensi Akses menyiratkan pesan perlunya perhatian berbagai pihak untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap bahan-bahan literasi.
Masalahnya tidak semua daerah memiliki perpustakaan dan koleksi buku yang variatif yang dapat diakses untuk menumbuhkan minat dan budaya baca.
Mengutip dari perpusnas.go.id, jumlah capaian koleksi di perpustakaan daerah, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia, rasionya adalah 1 : 90. Artinya 1 buku ditunggu oleh 90 orang. Jumlah koleksi ini masih sangat kurang jika dibandingkan antara rasio kebutuhan dan penduduk di Indonesia.
Data tahun 2022 menunjukkan bahwa capaian perhimpunan serah simpan karya cetak dan karya rekam (SSKCKR) jumlahnya mencapai 2.939.008 eksemplar bahan perpustakaan atau buku yang ada di Perpusnas dan perpustakaan di daerah.
Sementara data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 dan kajian penerbitan menunjukkan angka yang masih minim. Secara nasional, jumlah terbitan sejak 2015-2020 sebanyak 404.037 judul buku dengan jumlah penerbit aktif secara nasional sebanyak 8.969 penerbit.
Oleh karena itu, peringatan Hari Buku Nasional selalu menjadi pengingat bahwa problem literasi membaca masih menjadi ”pekerjaan rumah” bagi semua pihak untuk bersama-sama berupaya mengikis ketertinggalan dalam kemampuan literasi, terutama dengan mempermudah akses agar budaya membaca juga turut meningkat.
Sebab, pada dasarnya, kecakapan atau kemampuan literasi sangat penting sebagai fondasi untuk membangun sumber daya manusia yang unggul. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Meningkatkan Minat Baca Buku melalui Bacaan Inspiratif