Banyaknya penduduk yang telah melek huruf, lebih dari 98 persen, belum mendorong budaya literasi di masyarakat. Perlu peran serta semua pihak untuk membangun budaya literasi di masyarakat.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Tingkat literasi masyarakat akan menentukan kemajuan sebuah bangsa. Survei oleh Central State University, Amerika Serikat, pada 2016 menunjukkan negara-negara dengan tingkat literasi tinggi merupakan negara-negara maju.
Dalam survei tersebut, Indonesia, meski lebih dari 98 persen penduduknya telah melek huruf, merupakan negara dengan tingkat literasi terendah kedua di dunia dari 61 negara yang terukur. Posisi Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Bostwana, sebuah negara pedalaman di Afrika Selatan.
Riset Kemendikbud (kini Kemendikbudristek) di 34 provinsi pada 2019 pun menunjukkan, aktivitas literasi baca-tulis masyarakat masih rendah. Demikian pula data Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2012, skor minat baca di Indonesia hanya 0,001, atau dari 1.000 penduduk hanya satu orang yang memiliki minat baca tinggi.
Hasilnya, seperti tergambar pada hasil tes PISA pada 2018, sekitar 70 persen siswa Indonesia belum menguasai kemampuan membaca level dua atau masih berada di bawah kompetensi minimum. Siswa Indonesia memang bagus dalam memahami teks tunggal (single text), tetapi lemah untuk memahami banyak teks (multiple text). Siswa Indonesia pandai dalam mencari, mengevaluasi, dan merefleksikan informasi, tetapi lemah dalam memahami informasi.
Bahkan, skor kemampuan membaca pada siswa Indonesia tersebut setara dengan capaian tahun 2000. Ini juga menunjukkan daya saing siswa Indonesia rendah karena kemampuan literasi membaca terkait dengan kemampuan memahami teks bacaan dengan analitis, kritis, dan reflektif yang sangat menentukan untuk berkompetisi dalam persaingan global.
Berbagai kegiatan literasi digalakkan sejak beberapa tahun terakhir, baik oleh masyarakat maupun melalui lembaga pendidikan, belum membuahkan hasil yang baik. Keberadaan rumah-rumah baca di sejumlah daerah, perpustakaan keliling, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sejak 2015, hingga gerakan nasional orangtua untuk membacakan buku bagi anak-anaknya (Gernas Buku) mulai 2018 belum mampu membentuk budaya literasi di masyarakat.
Perlu peran serta semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, untuk membangun budaya literasi di masyarakat. Belajar dari negara-negara maju yang tingkat literasinya tinggi, Finlandia yang berada di peringkat pertama, misalnya, membangun budaya literasi melalui sistem pendidikan yang baik, membangun perpustakaan di banyak tempat dan dioptimalkan, serta berdasarkan survei oleh Central State University, juga melalui surat kabar.
Akses terhadap buku, menyangkut ketersediaan buku dan harga buku, juga mempunyai andil dalam membangun budaya literasi. Ketersediaan buku belum merata, harganya pun masih tergolong mahal sehingga membeli buku belum menjadi kebutuhan utama pada sebagian masyarakat. Dibutuhkan campur tangan pemerintah agar tersedia buku bermutu, murah, dan merata, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Perbukuan Nomor 3 Tahun 2017 bisa terwujud.